"Berdasarkan kebiasaan orang Buru dalam melakukan pengangkatan adat itu, maka hari ini Beta Sami Latbual orang pertama yang menyatakan Beta tidak mengakui Sdr Yonathan Lesnussa sebagai Raja Masarete," kata anak adat sekaligus masyarakat adat Buru, Sami Latbual kepada media ini, Selasa (23/01/2023).
Menurut Latbual, beberapa hari ini publik termasuk dirinya sendiri dihebohkan dengan postingan-postingan media sosial maupun yang dikirim melalui WhatsApp-WhatsApp terkait dengan proses pelantikan seseorang sebagai raja Rehenscap Masarete yang dilakukan oleh Majelis Latupati Maluku di Ambon.
"Ini membuat sedikit kegelisahan bagi Beta sebagai anak adat yang notabene sebagai masyarakat adat bahwa baiknya Majelis Latupati Maluku dapat menjelaskan apa tugas dan fungsi Majelis Latupati ini sehingga diketahui publik maupun Beta juga secara pribadi. Apakah salah satu tugas dan fungsinya adalah melantik raja-raja Rehenscap di Maluku inikah ataukah tidak memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan hal ini ataukah hanya sebagai wadah atau organisasi berhimpun. Ini harus dijelaskan agar juga diketahui, kalau memang juga menjadi tugas, fungsi dan peran dari Majelis Latupati Maluku, maka perlu dijelaskan raja-raja mana saja kah di Maluku yang telah dilantik oleh Majelis Latupati Maluku," pinta Latbual.
Karena, lanjutnya, beberapa waktu terakhir ini sesuai dengan pengamatannya melalui media sosial sepertinya Majelis Latupati Maluku juga pernah melantik Raja Tagalisa selain Raja Masarete yang baru dilantik.
Dimana, Raja Tagalisa yang diangkat atas kesepakatan dalam forum musyawarah adat setelah dilantik, ternyata lahir lagi raja baru yang dilantik oleh Majelis Latupati Maluku.
"Ini terjadi lagi di Rehenscap Masarete terhadap seseorang yang dalam postingan itu beredar sepertinya seseorang yang diduga bernama Yonathan Lesnussa dilantik sebagai Raja Masarete oleh Majelis Latupati Maluku," pungkasnya.
Ini menunjukkan pertanyaan bagi pihaknya bahwa sejak kapan Raja Masarete itu bisa dilantik oleh Latupati Maluku sehingga diketahui oleh masyarakat adat Buru dan Buru Selatan, secara khusus yang berada di wilayah Rehenscap Masarete ini.
"Karena dalam hemat kami, proses pemilihan, pengangkatan dan pelantikan Raja Rehenscap itu sudah diatur dan itu menjadi tanggung jawab dan wewenang dari pada tua-tua adat atau tokoh-tokoh adat yang berada dalam wilayah Rehenscap Masarete itu setelah mereka bermusyawarah siapa yang nanti ditetapkan sebagai Raja dengan wajib melibatkan keluarga Behuku sebagai marga yang berhak terhadap pemerintahan adat Rehenscap Masarete ini," jelasnya.
Karena Raja Masarete ini sesungguhnya pemerintahan yang sudah dibentuk sejak pemerintahan kolonial Belanda itu ada, dengan Raja Masarete yang pertama adalah raja Paul Behuku dari Gewagit Mata Rumah Waekabo Tama pa, yang kedua adalah Raja Corneles Behuku dan ketiga adalah raja Wempi Behuku.
Nah, lanjutnya, di tengah pemerintahan raja Wempi Behuku itu baru terjadi persoalan pribadinya sehingga yang bersangkutan mengundurkan diri dari jabatan Raja Masarete.
Setelah terjadi kekosongan itu, lanjutnya lagi, terjadilah kesepakatan atau musyawarah bersama antara tokoh adat yang entah apa pembicaraannya dan entah apa komunikasinya karena ini ada beberapa versi yang timbul dari masyarakat sehingga disepakati dijabat oleh Raja Anthon Lesnussa.
Kini, lanjut Latbual, sistem pemerintahan ini harus didudukan dan dikembalikan pada asalnya agar sistem pemerintahannya dapat berjalan dengan baik. Baik itu, dalam kaitan siapa yang harus memerintah sesuai pemerintahan awal, kedudukan rajanya dimana dan siapa yang harus melakukan pengangkatan dan pengukuhan.
Sebab, orang Buru dalam pengangkatan sistem pemerintahan itu sudah terbagi, siapa yang menyerahkan tongkatnya, siapa yang menyematkan ifutinnya di kepala, lalu siapa yang menyematkan ikatan pinggang atau ikat poro itu di pinggang, itu sudah diatur mekanismenya, termasuk siapa yang menggunakan ini.
"Tapi kalau pelantikannya di tempat lain, diduga amburadul. Sebab, mekanisme dan caranya bagaimana kalau pelantikannya dilakukan di tempat lain, pertanyaannya dia mendapat legitimasi dari rakyat atau tidak," paparnya.
Oleh karena itu, patut dipertanyakan keabsahan dan legalitas dari Raja itu, karena menurut hemat pihaknya belum pernah ada Raja Masarete yang diangkat oleh Latupati Maluku.
"Kami ingin agar Majelis Latupati Maluku menjelaskan apa tugas dan fungsinya," paparnya.
Lalu, kata Latbual, Yonathan Lesnussa yang membawa dirinya ke Kantor Latupati Maluku untuk dikukuhkan, ini juga menjadi pertanyaan besar bagi pihaknya, karena semestinya terjadi musyawarah atau kesepakatan para tokoh-tokoh adat yang ada dalam Rehenscap ini dan secara khususnya melibatkan keluarga Behuku.
Sebab, hal ini masih menjadi pertanyaan, yang bersangkutan yang dilantik ini mendapat legitimasi dari masyarakat adat dan tokoh adat secara keseluruhan atau tidak, tanpa terkecuali. Sebab, Raja ini memerintah tidak hanya memerintah terhadap marga tertentu saja, tetapi terhadap seluruh masyarakat adat yang ada di wilayah Rehenscap Masarete ini.
Selanjutnya dalam postingan-postingan media sosial maupun pesan-pesqn WhatsApp, pihaknya juga melihat ada seseorang yang diduga kuat mirip dengan Yohanis Lesnussa atau yang disebut Semi Lesnussa, entah kapasitasnya apa, pihaknya tidak tahu. Dan seseorang juga yang diduga kuat mirip dengan Bernard Lesnussa atau biasa disapa Ber mendampingi orang yang diduga Yonathan Lesnussa dalam proses pelantikan itu.
"Kami juga sebagai anak adat dan sekaligus masyarakat, patut mempertanyakan keberadaan dan legalitas dua orang ini dalam mendampingi proses pelantikan ini di Ambon," tanyanya.
Karena sebagai tokoh adat mestinya punya muatan dan pengetahuan tentang adat dan sejarah Buru secara umum maupun dalam Rehenscap itu secara khusus.
"Kalau menurut mereka apa yang mereka lakukan itu benar, maka Beta menduga kuat mereka tidak punya muatan apa-apa dan orang-orang seperti ini menurut Beta tidak bisa diharapkan lebih untuk bicara adat dan sejarah Buru," tandasnya.
Jangan sampai, lanjutnya, karena ulah oknum-oknum dan kelompok tertentu lalu terjadi pengkaburan sejarah di Buru secara umum, maupun di Rehenscap Masarete secara khusus.
Semi Lesnussa dan Ber Lesnussa harusnya sadar diri bahwa mereka berdua harus sadar diri bahwa mereka berdua yang hadir entah dalam kapasitas tokoh adat atau masyarakat adat itu tidak berdomisili di wilayah Masarete, melainkan berdomisili saat ini di Labuang yang merupakan wilayah Rehenscap Waesama.
"Kan lucu, masyarakat adat yang berdiam di wilayah Rehenscap Waesama lalu dia mendampingi proses pelantikan Raja di tempat lain. Raja yang menurut kami pelantikannya diduga kuat tidak sesuai dengan mekanismenya," ucap Latbual.
Mari, tambah Latbual, jika berkenan kita berdiskusi, apa itu Masarete, mengapa diberi nama Masarete atau kampung Masarete disini dimana, sebab orang memberikan satu nama karena ada latar belakangnya, ada ceritanya. Ini harus didudukan secara bersama atau kita diskusikan secara terbuka agar bisa tahu kemampuan dan muatan dari seorang tokoh adat sehingga tidak serta merta bilang saya tokoh adat.
Karena kebiasaan disini, tambahnya lagi, kalau anak muda berbicara sesuatu, bilang nanti kita tanya tokoh adat, tokoh adat punya urusan. Padahal, maaf tokoh adat ini juga ternyata tidak punya muatan dan pengetahuan tentang adat dan sejarah itu. Ini yang mesti didudukan sehingga tidak terjadi pengkabutan sejarah.
"Kalau ini menurut mereka benar, maka jika berkenan oleh mereka yang diduga mirip dengan Pak Ber Lesnussa dan Pak Semi Lesnussa serta Pak Yonathan Lesnussa, mari kita lakukan diskusi terbuka dan menghadirkan siapa saja untuk kita membicarakan tentang adat dan sejarah Buru ini dan secara khusus menyambut sistem pemerintahan di dalam wilayah petuanan Masarete. Termasuk kita bicara tentang batas-batas wilayahnya, siapa yang lebih dulu menjadi raja, mekanisme pengangkatannya, tata caranya bagaimana sehingga semua orang juga bisa tahu terkait dengan muatan dan pengetahuan seseorang tentang adat dan sejarah itu," ujarnya.
Sebab, kata Latbual, tokoh adat harusnya punya memiliki muatan dan pengetahuan tentang adat dan sejarah Buru dan bukan berdasarkan jenggot dan rambut putih.
"Sebab jika punya jenggot putih dan rambut putih tetapi kalau diduga kuat tidak punya muatan dan pengetahuan tentang adat dan sejarah, khususnya tentang mekanisme pengangkatan araja ini, maka diduga kuat ada upaya pengkaburan sejarah. Padahal ini tidak di harapkan," paparnya.
Apalagi, kata Latbual, berbicara sedikit-sedikit ketika moment tertentu, libatkan Si A dan Si B dalam kapasitas sebagai tokoh adat, padahal tokoh ini ternyata kosong.
Menurut Latbul, ini harus didudukan secara baik dengan melibatkan semua keluarga masyarakat adat yang ada di dalam wilayah Rehenscap Masarete dan secara khusus melibatkan orang yang punya keturunan Masarete awal yakni keluarga Behuku.
Sebab, tinggal dimusyawarahkan siapa yang mesti diangkat, apakah dari keluarga Behuku lagi atau mereka memberikan kesempatan yang lain untuk menjabat Raja Masarete, silahkan. Tapi ini mesti dikomunikasikan, karena Raja ini milik bersama masyarakat adat yang ada dalam Rehenscap Masarete, bukan raja per orang, raja kelompok atau raja milik suku atau marga tertentu, itu tidak.
Menurut Latbual, dalam proses membicarakan Raja Masarete ini, tidak boleh mengabaikan marga Behuku secara umum dan secara khusus marga Behuku yang ada di Tifu sebagai orang-orang yang memegang hak pemerintahan adat ini sejak pertama kali.
"Karena Raja Rehenscap Masarete ini kedudukannya di Tifu, bukan di tempat lain, sehingga siapa pun yang menjadi raja atas kesepakatan musyawarah itu baiknya akan berkediaman di Tifu," paparnya.
Perlu diketahui juga, lanjut Latbual, bahwa dalam wilayah Rehenscap Masarete ada dua sistem pemerintahan yang hampir terabaikan, yakni Raja Masarete yang berkedudukan di Tifu dan Pati Waeturen yang berkedudukan di Waeturen.
Untuk Raja Masarete, jelas Latbual, awalnya dijabat oleh Raja Paul Behuku yang berkedudukan di Tifu, selanjutnya di jabat oleh Raja Corneles berkedudukan di Tifu, dan dijabat oleh Raja Wempi berkedudukan di Tifu. Setelah itu, Raja keempatnya sudah tidak lagi berkedudukan di Tifu.
Begitu juga dengan Pati Waeturen, beberapa Pati terdahulu berkedudukan di Waeturen dan sekitarnya. Sampai masuk kepada Pati Haja Tasane berkedudukan di Waeturen, Selanjutnya dijabat oleh Pasti Sander Tasane juga berkedudukan di Waeturen.
"Sistem pemerintahan ini juga perlu diketahui oleh semua orang dan perlu ditata secara baik, termasuk juga batas-batas pemerintahannya," terang Latbual.
Menurut Latbual, kalau ada pikiran atau gagasan untuk membentuk Raja Masarete dan Pati Waeturen ini, Latbual menyarankan agar keluarga besar Behuku (Gewagit) secara umum dan secara khusus yang ada di Tifu serta keluarga besar Tasane secara umum dan secara khusus yang ada di Waeturen sudah harus menggagas ini dengan tokoh-tokoh adat yang ada di Tifu maupun Waeturen, dengan masyarakat adat yang ada di Tifu dan Waeturen maupun secara keseluruhan yang ada di wilayah Rehenscap Masarete maupun dalam wilayah pemerintahan Pasti Waeturen untuk membicarakan pengangkatan dan pengukuhan Raja Masarete dan Pati Waeturen sehingga sistem pemerintahannya dia tertata dengan baik.
"Saudara-saudara yang telah disebutkan dapat menggelar rapat adat di Tifu maupun Waeturen untuk musyawarahkan Raja Masarete maupun Pati Waeturen. Keduanya ini harus dihidupkan secara bersamaan," ucapnya.
Menurut Latbual, hal inii mesti disampaikan ke publik agar dapat diketahui, walaupun disadari memang apa yang disampaikan ini memang pasti menimbulkan suka dan tidak suka atau pro dan kontra.
"Tapi bagi Beta, sebagai anak yang dididik dan dibesarkan dengan adat, budaya dan sejarah Buru, maka sesuatu yang dianggap bengkok itu wajib untuk diluruskan. Jadi, sesuatu yang diduga itu salah wajib untuk kita benarkan, sekali pun resikonya adalah tidak disukai, tidak diterima pernyataannya, tapi itu konsekuensi dari sebuah pernyataan, pikiran dan koreksi. Bagi Beta ini koreksi yang tidak dapat dibenarkan," paparnya.
Olehnya itu, tambahnya lagi, kami menyampaikan ini kepada publik agar diketahui oleh masyarakat secara menyeluruh sehingga kalau ketika itu terjadi kesalahan prosedural dan mekanisme pengangkatan, maka secara mutlak dia berpengaruh terhadap keabsahan dan legalitas dari pada Raja yang diangkat itu.
"Bagi Beta, siapa mau berpendapat diluar, itu pikirannya, tapi bagi Beta adalah apa yang dilakukan saat ini tidak sesuai prosedur dan mekanisme. Oleh karena itu, proses pelantikan ini secara hukum adat tidak dapat dibenarkan," pungkasnya. (KT-01)
0 komentar:
Post a Comment