• Headline News

    Thursday, December 29, 2022

    Inkonsistensi Langkah Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Rekonsiliasi Konflik Pelauw - Kariu

    Ambon, Kompastimur.com
    Ketua DPW KPKI Maluku, Yanter Latumahina, dalam rilis yang diterima media ini, Kamis (29/12/2022) menilai bahwa aktualisasi sumber konflik Pelauw-Kariu yang menjadi tanggungjawab pemerintah dalam rangka penyelesaian konflik, secara teknis praktis atau sistematis diantaranya adalah akibat dari sengketa batas wilayah desa Pelauw – Kariuw.


    Secara perspektif, menurut Latumahina, futuristic sumber konflik juga diakibatkan karena diantaranya berkaitan dengan jelang masa tahun politik, unsur ekonomis dalam rangka penyelesaian konflik akibat kerugian yang timbul pasca konflik belum diselesaikan, belum selaras dengan kerugian pasca konflik, dan sosial budaya dalam hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah bersama elemen masyarakat dalam rangka upaya pendamaian Pasca konflik.


    Dimana penanganan konflik merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik.


    Disisi lain, disinyalir sumber konflik dimungkinkan berpotensi melebar pada kepentingan perseteruan antar umat beragama, antarsuku, dan antar etnis.


    "Ketiga hal dimaksud, apabila dibiarkan berlarut-larut oleh pemerintah tanpa arah penyelesaian konflik yang tepat maka akan berdampak luas pada pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan terhadap kemanusian," ucapnya.


    Dimana kejahatan atau pelanggaran HAM itu meliputi Tindakan pembunuhan;  Pemusnahan Suku/ Ras/ Agama tertentu (berdasarkan kajian lokasi/wilayah konflik); dan Pengusiran dan/atau pemindahan penduduk secara paksa pada area konflik sebagai solusi penyelesaian konflik dan Kejahatan Apartheid (berdasarkan Konvensi Internasional 1973 tentang Penindasan dan Hukuman Kejahatan Apartheid, didefinisikan sebagai sebagai tindakan tidak manusiawi yang dilakukan demi membangun dan melanggengkan dominasi oleh satu kelompok rasial terhadap kelompok rasial lainnya, dan secara sistematis bersifat menindas).


    "Namun apabila kebijakan  pengusiran atau pemindahan ini ditempuh oleh pemerintah maka akan bertentangan dengan Hak Asal Usul Negeri Adat sebagai HAK-HAK Konstitusional," ujar Latumahina.


    Maka dalam rangka penyelesaian konflik Pelauw-Kariu, lanjut Latumahina, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melakukan pemulihan pasca konflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Het Plan penyelesaian konflik (strategi perencanaan penyelesaian konflik) sebagai bentuk tindakan pemerintah dan pemerintah daerah yang berakibat hukum. Bahwa tahapan Het Plan pemulihan pasca konflik meliputi, Rekonsiliasi; Rehabilitasi; dan Rekontruksi. 


    "Hal ini tentu dengan memperhatikan wewenang kelembagaan public negara, sehingga seyogianya merupakan tindakan kesinambungan program dan bentuk komitmen pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka penyelesaian konflik Pelauw-Kariu yang berkepanjangan dan berlarut, sehingga Tindakan pemerintah bersifat Konsisten," paparnya.



    Dikatakan bahwa pentahapan sistematis Het Plan penyelesaian konflik Pelauw-Kariu oleh pemerintah, tahap rekonsiliasi para pihak, pemerintah haruslah melakukan Perundingan secara damai; Pemberian restitusi; Pemaafan unsur penyelesaian ini Dengan melibatkan pranata adat, pranata sosial, dan satuan tugas penyelesaian konflik social (meliputi Polri dan TNI). 


    "Maka dengan demikian pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan rekonsiliasi penyelesaian konflik tidak terhenti hanya pada kesepakatan damai semata namun seharusnya menetapkan skala prioritas langkah penyelesaian lebih lanjut dalam tindakan konkrit pemerintah daerah sebagai komitmen dan tanggungjawab pemerintah dalam melindungi masyarakat dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat," imbuhnya.


    Kata Latumahina, pada tahap rekonsiliasi, seharusnya pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Maluku Tengah dan Gubernur Provinsi Maluku dapat mengambilkan tindakan konkrit penyelesaian berdasarkan skala prioritas, ratsio Freies Ermessen  dan sasaran pemerintah dalam penyelesaian berdasarkan asas umum pemerintah yang baik.


    Sehingga bukan malah pemerintah daerah melalui kewenangan absolut Bupati dan Gubernur dalam rangka rekonsiliasi dilaksanakan/ diambil alih oleh Deputi 1 Kepresiden dalam pelaksanaannya.


    "Karena hal ini tentu menimbulkan kerancuan baik secara legalitas, aspek wewenang maupun unsur pentahapan/ eskalasi penyelesaian konflik sesuai Vide Instrument Juridis Pasal 58 Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2015," terangnya.


    Sebab menurutnya, sasaran akhir dan tujuan tindakan hukum pemerintah dan pemerintah daerah adalah perlindungan hukum, penegakan HAM dan kepastian hukum. 


    Konkritisasinya adalah urgensitas langkah kebijakan dan kewajiban rekonstruksi oleh Pemerintah Daerah melalui Bupati dan Gubernur dan secara komprehensif meliputi tanggungjawab pemerintah meliputi keterlibatan pemerintah pusat melalui kementerian negara terkait diantaranya yaitu koordinasi pemerintah daerah dengan Mendagri dan Menteri sosial dan Menteri keuangan, yang berkaitan dengan kewajiban pemerintah dalam pendanaan, penangan dan penyelesaian daerah konflik sebagai bentuk tindakan rekonstruksi pemerintah secara substansi.  


    Sebab dalam instrument sumber pendanaan penanganan konflik sebagai Langkah lebih lanjut dari kebijakan rekonsiliasi Pemerintah berasal dari APBN; APBD; dan  Masyarakat. 


    Pendanaan yang dimaksud berdasarkan skala prioritas dan rumusan usulan pemerintah daerah (vide Pasal 78 ayat (2) Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2015).


    "Keterlibatan deputi 1 Staf Kepresiden tidaklah tepat dan juga tidak sesuai dengan rumusan wewenang kelembagaan negara kaitan dengan mekanisme sarana eskalasi penyelesaian konflik social di NKRI," sentil Latumahina.


    Namun, Latumahina mengutarakan bahwa tindakan pemerintah dari segi keamanan yang dilaksanakan oleh Polri dan TNI telah tepat. 


    Pada sisi lain, rekonstruksi pemulihan daerah konflik adalah tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah bersama DPRD yang merupakan instrument perwakilan rakyat sebagai tindakan kesinambungan.


    "Ini merupakan PR yang harus dijawab oleh pemerintah daerah bersama DPRD sebagai bentuk konsistensi konkrit pemerintah dan DPRD dalam kinerja atau prestasi public yang harus dinilai dan dievaluasi oleh public dalam hal ini oleh masyarakat Maluku dalam mengawasi tindakan atau kebijakan public pemerintah Provinsi sebagai esensi pemerintah daerah," tandasnya. (Rls/AJP)

    Jangan Lewatkan...

    Baca Juga

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Inkonsistensi Langkah Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Rekonsiliasi Konflik Pelauw - Kariu Rating: 5 Reviewed By: Redaksi
    Scroll to Top