Namlea, Kompastimur.com
TIga penyidik KPK dikhabarkan mendatangi Proyek Bendungan Waeapo di Desa Wapsalit, Kecamatan Lolongquba Kabupaten Buru, m nyusul adanya dugaan tindak pidana korupsi di proyek tersebut yang menelan kerugian ratusan milyar rupiah.
Wartawan media ini melaporkan, Informasi kalau KPK membidik dugaan tindak pidana korupsi di Proyek Bendungan Waeapo itu diberitakan m dia online MalukuNews.com yang dirilis Sabtu (13/02/2021) dengan judul KPK Datangi Lokasi Proyek Bandungan Waeapo Rp. 2.223 T di Buru.
Dikutip dari MalukuNews.com, diberitakan Tiga petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangi lokasi proyek bendungan Waeapo yang ada di Kabupaten Buru, Maluku, yang saat ini diduga mandek. Proyek ini bernilai total Rp. 2.223 triliun.
Kehadiran tiga petugas KPK ke bendungan Waeapo, Kamis (11/02), dua hari lalu itu, dalam rangka melakukan penyelidikan langsung atas laporan dugaan proyek bermasalah tersebut.
Proyek yang sudah dikerjakan sekitar tiga tahun lalu itu bertujuan untuk mengairi 10.000 hektar sawah yang ada di kabupatan Buru. Sayangnya, proyek bernilai dua triliun lebih itu kini diduga mandek," demikian MalukuNews.com.
Sebagaimana diberitakan media ini, sudah umum rasanya jika dalam pelaksanaan lelang proyek-proyek pemerintah terdapat ‘Tender Arisan’, dimana paket yang tersedia dibagi-bagi diantara peserta lelang.
Praktek ini menjadi sumber korupsi yang mengganggu hajat hidup orang banyak. ‘Tender Arisan’ ini diduga juga terjadi pada proyek Pembangunan Bendungan Waeapo di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
Padahal, salah satu fokus Pemerintah Jokowi pada periode lalu adalah pembangunan infrastruktur terutama pada pengelolaan sumber daya air. Maluku juga kebagian kue pembangunan tersebut dengan biaya jumbo yakni sebesar Rp.2,1 triliun. Nilai itu setara dengan 62,2% APBD Maluku 2020 yang nilainya mencapai Rp. 3,3 Triliun lebih.
Dugaan ini disampaikan Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS), Sutikno melalui emailnya, Senin (3/8/2020) yang menyebutkan mega Proyek Pembangunan Bendungan Waeapo terancam mangkrak.
“Proyek ini sejak awal Janurai 2018 sewaktu dilakukan penandatangan kontrak, sampai saat ini progres pekerjaan tidak sampai 10%. Sudah 2,5 tahun baru segitu pekerjaan jelas ada masalah pada proyek ini,” ujarnya.
Lebih jauh aktivis yang pernah 2 tahun tinggal di bumi Bupolo ini menyatakan bahwa pembangunan bendungan dilakukan untuk pengelolaan sumber daya air, terdapat 4 tahapan pembangunan.
“Pertama-tama dilakukan persiapan pembangunan, perencanaan pembangunan, pelaksanaan kontruksi dan yang terakhir pengisisan awal waduk. Saat ini untuk Bendungan Waeapo masuk dalam tahapan kontruksi waduk,” urainya.
FKMS mengklaim bahwa data yang mereka miliki menjelaskan terdapat perbedaan antara tahapan perencanaan dengan tahapan kontruksi dimana ini berakibat fatal.
Dalam perencaaan yang dilakukan oleh PT ABCO Consultan yang dikutip oleh sebagai tugas akhir redesain Bendungan Waeapo, karya Ahmad Dwi Cahyadi,Cs. Jurusan S1 Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyatakan, bahwa dari perhitungan yang telah dilakukan diperoleh curah hujan rencana sebesar 895.76 mm.
Debit rencana periode ulang PMF sebesar 5959,9 m3 /detik, dengan kapasitas tampungan efektif sebesar 10,241,211.48 m3 dan dengan debit andalan rata-rata sebesar 10,05 m3 /detik.
Kebutuhan air baku sebesar 0,2162 m3 /detik , kebutuhan PLTA sebesar 0,4 m3 /detik dan kebutuhan irigasi dengan luas sawah yang terairi sebesar 7600 ha telah terpenuhi atau tercukupi.
Mercu bangunan pelimpah menggunakan mercu tipe Ogee pada elevasi +123.50 dan elevasi muka air banjir pada elevasi +129.20.
Tubuh bendungan menggunakan urugan tanah dengan kemiringan hulu dan hilir adalah 1:2, elevasi puncak bendung pada elevasi +131.50 dengan dasar bendungan pada elevasi +107.50,dan panjang dasar tubuh bendungan adalah 103.00 m.
Perhitungan stabilitas tubuh bendungan dan spillway aman terhadap gaya-gaya yang terjadi baik dalam kondisi muka air banjir maupun dalam kondisi muka air normal.
Namun Haryono, Kepala BWS Maluku waktu itu pada pertengahan tahun 2018 menyatakan, bahwa bendungan tersebut akan memiliki volume tampung sampai dengan 50 juta meter kubik dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber air baku dengan debit sebesar 250 m/detik.
Keberadaan bendungan ini, lanjut Haryono, juga sangat signifikan untuk ketahanan pangan dan energi karena direncanakan mampu mengairi lahan irigasi seluas 10.000 ha serta didayagunakan sebagai PLTA dengan kapasitas sebesar 8 MW.
FKMS menilai dengan adanya perubahan ini tentunya mengakibatkan adanya perubahan biaya. Selama perubahan tersebut didasari alasan teknis yang jelas dan rasional tentu tidak masalah. Namun jika perubahan tersebut untuk tujuan menguntungkan pihak-pihak tertentu tentunya harus kita kejar. “Lantas perubahan tersebut untuk apa?” tanya Sutikno.
Untuk menjawab pertanyaan itu, FKMS menguraikan proses lelang yang terjadi 2,5 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 2017 Kementrian PUPR melaksanakan lelang Bendungan Waeapo yang terbagi menjadi tiga paket, dengan rincian 2 paket kontruksi dan satu paket pengawasan.
Dari pengamatan FKMS diketahui bahwa proses lelang dua paket kontruksi diduga ada persengkokolan lelang atau kongkalikong. Terlihat kedua paket ini ditawar oleh 4 perusahaan yakni PT Pembangunan Perumahan, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya dan PT Brantas Abhipraya.
Setelah dilakukan proses lelang untuk pekerjaan kontruksi didapat pemenang sebagai berikut, yakni paket 1 dengan pemenang PT Pembangunan Perumahan KSO PT Adhi Karya. Paket 2 dengan Pemenang PT Hutama Karya KSO PT Jaya Kontruksi.
Dugaan adanya kongkalikong ini semakin kentara mengingat nilai kontrak yang diumumkan oleh SNVT Pelaksana Jaringan Sumber Air Maluku Propinsi Maluku sebesar nilai kontrak paket 1 : Rp 1.069.480.985.000,00 dan nilai kontrak paket 2: Rp 1.013.417.167.000,00. Sehingga total nilai kontrak sebesar Rp.2.082.898.152.000,00
Ini berbeda dengan apa yang diumumkan oleh Komite Percepatan Penyedian Infrastruktur Prioritas (KPPIP) yang menyatakan, bahwa nilai investasi Bendungan Way Apu sebesar Rp.1,661 Trilyun. Terdapat selisih sebesar Rp.420 miliar.
Sebagaimana diatur dalam perpres 55 tahun 2010 jo perpres jo perpres 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang dan jasa. Semua proyek pemerintah diberikan uang muka yang besarnya 30 % untuk proyek kecil dan 20% untuk proyek besar atau multi year contrak (MYC).
Dengan nilai kontrak untuk kedua paket kontruksi hampir Rp.2,1 triliun , maka uang muka yang sudah dibayarkan mencapai Rp.420 miliar. (Nilai persis sama dengan uraian diatas.red).
“Jadi selama dua setengah tahun atau 30 bulan lebih kurang Rp. 210 miliar mengendap tidak terpakai, jika disimpan dideposito akan hasilkan uang sebesar Rp.24 miliar. Jadi akibat tersendatnya proyek negara berpotensi kehilangan pendapatan Rp.24 miliar,” beber Sutikno. (KT-10)
0 komentar:
Post a Comment