Keterangan Foto: Rumah adat marga Leipary, suku Nuaulu di Dusun Hahualan, Negeri Sepa, Kabupaten Maluku Tengah.(Foto: Muhammad Jaya/ kompastimur.com) |
Ambon, Kompastimur.com
Suara Retanusa Leipary mendadak terbata-bata saat bercerita tentang rusaknya Hutan Negeri Lama. Ingatannya mundur ke 2016, saat ia mendengar hutan yang dikeramatkan Suku Nuaulu tersebut dibongkar. Dia dan empat kerabat langsung naik menuju rimba yang berjarak 40 kilo meter dari rumahnya.
Benar saja. Begitu tiba di lokasi, dia menyaksikan bekas rumah tua marga Leipary telah digusur alat berat PT Bintang Lima Makmur (BLM) untuk dijadikan jalan pengangkutan kayu. Pohon di sekitar batu pamali juga ditebang, hanya tersisa tunggul.
”Saya sempat melakukan perlawanan. Memukul dua karyawan perusahan karena jengkel,” kata Retanusa Leipary mengenang. Namun perlawanannya sia-sia, karena tak imbang dengan sejumlah aparat TNI-Polri yang berjaga dengan senjata laras panjang.
Retanusa Leipary adalah kepala marga Leipary, Dusun Hahualan, Negeri Sepa, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Kala saya temui di rumahnya pada 21 Desember 2021, ia memakai sarung, baju berwarna cokelat tua dengan kepala terikat kain berang atau karnunu, ciri khas lelaki suku Nuaulu.
Keterangan Foto: Kepala Pemuda Dusun Rohua, Wata Perissa.(Foto: Muhammad Jaya/ kompastimur.com) |
Kehidupan Suku Nuaulu tak bisa dipisahkan dari Hutan Negeri Lama dengan luas sekitar 24.550 hektare (ha), meski mereka telah menetap dan mendiami Pulau Seram Tengah bagian selatan. Di hutan itu, selain dijadikan lokasi berburu, juga untuk memenuhi keperluan ritual adat.
Namun kelestarian Hutan Negeri Lama terkoyak setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada PT Bintang Lima Makmur (BLM) seluas 24.550 hektare melalui SK.537/ Menhut-II/ 2012 pada 26 September 2012.
Konsesi PT BLM yang terbagi menjadi tiga blok penebangan, membentang di hutan Kecamatan Amahai hingga Kecamatan Teluk Elpaputih. Luas masing-masing blok yakni blok satu mencapai 19.500 ha, blok dua seluas 1.435 ha dan blok tiga 3.615 ha.
Blok satu ternyata tumpah tindih dengan hutan negeri lama 10 marga Suku Nuaulu, yakni marga Soumawe Aepura, Kamama, Hury, Pia, Leipary, Rumalait, Soumory, Sopalani, Perissa dan Nahatue. Kecuali Matoke dan Sounawe Aenakahata, Hutan Negeri Lama marga ini berada di kawasan hutan lindung.
Keterangan foto: Seorang lelaki suku Nuaulu di Dusun Rohua, Negeri Sepa, Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah, sementara mengupas kelapa.(Foto: Muhammad Jaya/ kompastimur.com) |
Jumlah suku Nuaulu pada 2015, menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku, mencapai 3.417 jiwa. Rinciannya: laki-laki 1.704 jiwa, perempuan 1.713 jiwa dan anak-anak 315 jiwa.
Selain PT BLM yang memegang konsesi HPH di Maluku Tengah, masih ada PT Albasi Priangan Lestari dengan luas konsesi 64.690 ha dan PT Talisan Emas yang menguasai 54.750 ha. Beroperasinya HPH makin mempercepat laju kerusakan hutan di Kabupaten Maluku Tengah.
Data Indonesia Forest Watch (IFW) menyebutkan, deforestasi pada konsesi HPH sejak 2000-2019 mencapai 47.948 ha. Ditambah dengan deforestasi yang diakibatkan karena perkebunan kelapa sawit seluas 142 ha, pertambangan 9.353 ha, area tumpah tindih izin 162 hektar, dan di luar areal izin 100.924 hektar.
Sehingga, deforestasi hutan di Maluku Tengah dalam dua dekade terakhir telah mencapai 158.529 ha.
Keterangan foto: suasana perkampungan suku Nuaulu di Dusun Hahualan, Negeri Sepa, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah.(Foto: Muhammad Jaya/ kompastimur.com) |
Kerusakan hutan di Kabupaten Maluku Tengah telah berdampak pada keberlanjutan hidup Suku Nuaulu. Kepala marga Leipary Retanusa Leipary, menjelaskan, kebutuhan untuk menjalankan berbagai ritual yang harus diambil dari hutan, saat ini makin sulit ditemukan.
“Di antaranya, kuskus, babi, rusa, burung dan kayu. Sebab Hutan Negeri Lama marga Leipary, seluas 20 hektare lebih juga dijadikan tempat berburu,” tuturnya.
Raja Negeri Administratif Nuanea, Sahune Matoke juga menyatakan, pembalakan hutan sangat merusak kelestarian hutan dan menyusutkan habitat binatang yang digunakan dalam ritual adat.
Salah satu ritual mereka adalah Pataheri yakni ritual para lelaki suku Nuaulu yang dianggap telah dewasa serta pemasangan kain berang dan cidaku atau ayunte. Ritual Pinamou dilakukan saat perempuan menstruasi pertama. Selain itu, ada juga ritual pernikahan adat yang disebut Mau sahae dan pemakaman tradisi adat atau Autotu nimoe.
Pada masa lalu, hampir semua upacara adat mengharuskan pemotongan kepala manusia. Tapi sejak tahun 1970, ritual diganti dengan hewan kuskus. Masalahnya saat ini, populasi kuskus telah berkurang dan sulit ditemukan. Ini menyebabkan ritual adat seperti Pataheri dan lainnya sering tertunda.
“Jika berburu tak dapat kuskus, harus ditunda sebab kita tak bisa lagi gunakan kepala manusia untuk menjalankan ritual adat,” kata Sahune, Minggu, 27 Desember 2020.
Keluhan serupa juga disampaikan Sahiane Matoke. Warga Dusun Rohua, Negeri Sepa itu menyatakan untuk menemukan kuskus, mereka harus berburu hingga ke negeri atau desa tetangga. Bahkan membutuhkan waktu dua hingga tiga hari.
“Dulu, cepat saja kita menemukan kuskus saat hendak melakukan ritual Pataheri. Tetapi sekarang sulit semenjak ada pembalakan hutan,” katanya.
Keterangan Foto: Prosesi ritual pataheri di Dusun Rohua, Negeri Sepa, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah.(Foto: Dodie Tiwery/ Balai Nilai Budaya Maluku) |
Dia bilang, dulu sebelum penetapan ritual Pataheri atau pembuatan rumah adat, biasanya melakukan sasi hutan yakni bentuk larangan adat yang berlaku dalam kurun waktu tertentu agar kondisi hutan tetap lestari. Dengan sasi hutan, mereka menjaga populasi kuskus termasuk ketersediaan pohon. ”Tapi sekarang, apalagi yang mau kita sasi? Pohon besar sudah tidak ada lagi,” katanya mengeluh.
Khusus rumah adat, tidak semua kayu yang bisa dipakai, tetapi hanya Gofasa dan Nani. Begitu juga dengan kuskus, hanya jenis tertentu yang diburu untuk ritual Pataheri maupun untuk dimakan. Sebab tiap-tiap marga memiliki pamali.
Lusia Junita Wurlianty, pembuat film dokumenter Pinamou suku Nuaulu mengatakan, rusaknya hutan tidak hanya mengganggu ritual bagi pria, tapi juga memengaruhi berbagai ritual bagi perempuan. Sebab seluruh perkakas ritual bagi perempuan bergantung pada hutan.
Dalam prosesi Pinamou, misalnya, tubuh perempuan harus dilumuri kunyit lalu dibersihkan ke sungai. Proses berikutnya yakni mengambil air minum dari batang bambu dengan wadah juga dari bambu. Sedangkan rumah pengasingan saat haid pertama terbuat dari atap rumbia berukuran kecil, sekitar 2x3 meter. Di dalamnya, terdapat tungku untuk masak dan peralatan makan.
“Karena segala sesuatu, baik dia punya makanan, semua diambil di alam. Misalnya sagu, damar dan lainnya,” kata Lusia. “Jika hutan rusak, artinya, akan mengganggu seluruh proses kehidupan.”
Sementara itu, M. Aziz Tunny, penulis buku Beta Agama Noaulu khawatir, kerusakan hutan dapat mengganggu kehidupan suku Nuaulu. Sebab mereka masih memegang teguh tradisi ritus dan ritual yang dalam praktiknya, tidak bisa terpisahkan dengan hutan.
Misalnya, tradisi pemakaman adat disebut Autotu nimoe atau kampung orang mati harus dilakukan dalam hutan. Mereka akan membuat para-para di tanah lapang yang harus kelilingi rumpung bambu. Kemudian jasad diletakkan dan secara alami akan terurai oleh alam.
“Tanpa hutan, beta (saya) kira, apa yang menjadi tradisi, kekayaan khazanah, budaya lokal yang unik ini, menjadi hilang akibat upaya penghancuran hutan-hutan,” kata Agil, sapaan akrab mantan koresponden koran The Jakarta Post ini.
Dia meminta agar pemerintah menghentikan proses penghancuran suku Nuaulu dengan mengevaluasi ulang izin HPH.
Meski empat hutan negeri marga suku Nuaulu telah gundul, PT BLM mengklaim tidak melakukan penebangan di tempat magis. Melalui Kepala Bina Hutan, Reffi menyatakan, PT BLM sangat menghargai tempat pamali. “Jadi, kalau mengenai tempat pamali, kita tidak melakukan penebangan maupun merusak. Kita sangat mengerti,” katanya di kantor PT BLM di Negeri Sepa, Kamis, 24 Desember 2020.
Bersamaan dengan pandemi Covid-19, Reffi mengatakan, bahwa perusahaannya tidak lagi beroperasi sejak pertengahan tahun 2020 hingga 2021. “Kalau aktivitas untuk produksi kayu, sih tidak ada. Tahun 2020 ini, nggak ada sama sekali,” ujar Reffi, tanpa menjelaskan alasan lebih lanjut.
Berjuang Pertahankan Hutan Leluhur
Suku Nuaulu tak berpangku tangan menyaksikan Hutan Negeri Lama terancam. Kepala Pemuda Dusun Rohua, Wata Perissa mengatakan, mereka telah berjuang sejak 2015 menolak pemberian konsesi terhadap PT BLM. Pemicunya, kata dia, karena perusahaan melakukan penebangan pada Hutan Negeri Lama, hutan adat milik 14 marga suku Nuaulu yang masuk wilayah konsesi.
Dibantu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku, mereka pernah dua kali ke DPRD Maluku Tengah yang memfasilitasi pertemuan dengan PT BLM.
“Tetapi, yah, begitu. Berbicara masalah pasal dan ayat hukum, kita kurang tahu. Jadi, yah, begitu,” katanya. Pertemuan itu tak membuahkan hasil karena perusahaan masih tetap beroperasi. Buntu di tingkat lokal, mereka pernah menemui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta pada 2015.
Karena aspirasi tak kunjung dipenuhi pemerintah, Raja Negeri Administrasi Nuanua, Sahune mengatakan, mereka memilih berunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Maluku di Ambon, Ibu Kota Provinsi Maluku, pada 2018.
Saat itu, dihadiri perwakilan 12 marga suku Nuaulu, yakni Kamama, Hury, Pia, Leipary, Rumalait, Soumory, Sopalani, Perissa dan Nahatue, Matoke dan Sounawe Aenakahata. Lagi-lagi, suku Nuaulu pulang dengan kecewa.
Ketua AMAN Wilayah Maluku, Lenny Patty, mengatakan, mereka sedang mendorong adanya peraturan daerah (perda) tentang masyarakat hukum adat. Prosesnya saat ini masih dalam pemetaan wilayah adat secara partisipatif, sebagai salah satu syarat pengakuan wilayah adat. Dengan begitu, masyarakat adat dapat menunjukan kepemilikan atas wilayah adat mereka. “Agar sebagai hak ulayat mereka bisa dilindungi,” ujarnya.
Menurut Lenny Patty, pengukuhan hutan adat menjadi salah satu dari lima skema perhutanan sosial yang bisa diajukan oleh masyarakat adat. Dalam Pasal 6 Peraturan Menteri KLHK terbaru Nomor: P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, menyebutkan pengukuhan dan penetapan hak ulayat adat harus dilakukan berdasarkan perda dalam kawasan hutan. Sedangkan di luar kawasan hutan, hanya perlu surat keputusan (SK) gubernur, bupati atau wali kota.
Pengakuan hutan adat melalui perhutanan sosial tersebut terjadi setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menetapkan hutan yang berada di wilayah adat bukan lagi hutan negara. Putusan itu mengoreksi UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara.
Adanya perda masyarakat hukum adat (MHA), kata Lenny, dapat mengurangi masalah yang selama ini terjadi. Misalnya tidak terjadi tumpang tindih dengan konsesi HPH seperti yang menimpa suku Nuaulu.
Tanpa perda atau SK kepala daerah, Lenny khawatir, hutan adat di Maluku Tengah semakin tergerus setelah terbitnya UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Sebab undang-undang tersebut mempermudah izin bagi investor untuk menguasai kawasan hutan.
Kepala Bagian Hukum, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, Masuhadji Tuakia menyatakan, sebenarnya Maluku Tengah memiliki Perda Nomor: 01 tahun 2006 tentang Negeri. Tetapi perda tersebut, tidak secara detail berkaitan dengan pengakuan masyarakat hukum adat, namun cuma mengatur pemilihan raja.
Oleh karena itu, di 2020 Pemkab Maluku Tengah telah menyiapkan dua Rancangan Peraturan Daerah (Ranpenda) tentang Penetapan Negeri Adat sebagai ranperda induk, dan Ranperda tentang Negeri sebagai ranperda pendamping.
”Ranperda induk ini, sudah disampaikan kepada bapak bupati. Saat ini ranperda dibahas oleh anggota DPRD. Selanjutnya, berkonsultasi ke Biro Hukum Pemerintah Provinsi Maluku,” katanya menjelaskan.
Kepala Biro Hukum dan HAM Setda Provinsi Maluku, Alawiyah Alaydrus mengakui, dari 11 kabupaten/kota hanya Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan Kota Tual yang sementara berkonsultasi mengenai Ranpeda maupun Perda tentang Penetapan Negeri.
“Kalau Tual sudah menjadi Perda tentang Penetapan Ratschap, Ohoi atau Fenua. Sedangkan Kabupaten SBB, masih Ranperda tentang Penetapan Negeri,” katanya.
Menanggapi hal itu, Ketua Badan Pembuat Peraturan Daerah (Bamperda) DPRD Maluku Tengah, Syafii Boeng mengatakan, Ranperda tentang Penetapan Negeri Adat yang diusulkan eksekutif, masih dalam pembahasan.
Dia berjanji, akan dikebut dan ditetapkan menjadi perda dalam masa sidang pertama 2021 ini. ”Ada beberapa item saja dalam ranperda yang perlu dibahas. Nanti dipercepat, agar secepatnya ditetapkan menjadi perda,” kata Syafii berjanji.
Usulan ranperda ini, kata dia, sangat disambut baik karena mengurangi masalah yang timbul akibat belum terlindunginya hak ulayat negeri-negeri di Kabupaten Maluku Tengah. Di sisi lain juga memperjelas status negeri.
Sedangkan dari 11 kabupaten/kota di Maluku, baru masyarakat adat di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Kepulauan Aru yang tercatat pada Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Di Kabupaten Maluku Tengah, ada dua negeri dengan status teregistrasi dan satu negeri telah terverifikasi di BRWA. Dua negeri yang telah teregistrasi yakni Negeri Paperu dengan luas wilayah adat 749 ha dan Negeri Tananahu seluas 12.376 ha. Sedangkan yang telah terverifikasi adalah Negeri Haruku dengan luas wilayah adat 2.930 ha.
Demikian juga di Kabupaten Kepulauan Aru, terdapat dua desa teregistrasi dan satu terverifikasi. Masing-masing yakni Desa Ferinbotam dengan luas wilayah adat 18.388 ha, dan Desa Rebi seluas 31.883 ha. Terakhir, Desa Ngaiguli seluas 6.377 ha.
Sementara, Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Wilayah Maluku Papua, Yusup menjelaskan, daerah-daerah yang telah memproses pengakuan hutan adat, baru Kabupaten Maluku Tengah, Maluku Tenggara dan Kota Ambon.
Namun hingga awal 2021, baru Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Ambon yang memiliki Perda Negeri Adat. Bahkan Kota Ambon telah mengajukan usulan pengakuan hutan adat ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ada dua hutan adat miliki dua negeri yang diusulkan yakni Negeri Hukurila 150,314 ha dan Hutumuri 6,37 ha.
Sedangkan untuk Kabupaten Maluku Tengah masih dalam tahapan memfasilitasi karena belum ada perda atau SK bupati.
*
Meski perjuangan suku Nuaulu belum membuahkan hasil, harapan Raja Negeri Administrasi Nuanua, Sahune, belum pupus untuk mempertahankan Hutan Negeri Lama. Perjuangan tersebut, kata dia, demi mempertahankan warisan budaya pada anak-anak suku Nuaulu kelak.
Ia pun yakin perjuangan mereka direstui Upu Ama dan Anahata.
Dalam “agama asli” yang dipeluk suku Nuaulu, Anahata adalah Tuhan dan Upu Ama adalah perantara sebagai roh para leluhur. (Muhammad Jaya)
Liputan ini didukung oleh The Society Of Indonesia Environmental Journalist (SIEJ)/ Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment