Rapindo Hutagalung
(Pemerhati sosial - aktifis relawan: Gerakan Alumni UI for NKRI; Alumni PL BerSATU)
Masalah mendasar dari pemerintah saat ini adalah pola komunikasi pemerintah yang tidak efektif. Komunikasi dimaksud tentu tidak terlepas dari tiga komponen komunikasi terkait, agar bisa berlangsung dengan efektif, yaitu masalah konten, masalah subyek yang mengkomunikasikan, dan sarana/media komunikasi.
Setiap kebijakan pemerintah yang ingin disampaikan ke publik selalu menjadi blundered umumnya diakibatkan oleh penyampaian/sosialisasi yang terlambat, atau membingungkan. Ini diakibatkan pernyataan dari para mentri berbeda satu dan lainnya, padahal, atas kebijakan yang sama.
Apakah konten yang ingin disampaikan belum ada arahan yang jelas sehingga terjadi mispersepsi antar menteri? Atau, memang para menteri tersebut punya persepsi berbeda yang ingin dia sampaikan sebagai preferensinya?
Jika demikian hal nya, Apakah kebijakan tersebut merupakan agenda sang mentri atau agenda pemerintah? Contoh kasus, pernyataan soal mudik, pernyataan soal PSBB, pernyataan soal vaksin, dan masih banyak lagi.
Para menteri sepertinya saling berebut panggung untuk menyampaikan isu.
Mereka sepertinya merasa perlu untuk menjadi yang pertama bicara ke publik atas suatu isu kebijakan, sekalipun hal tersebut mungkin masih berupa wacana dan mungkin juga bukan bagian kewenangan dari menteri tersebut untuk menyampaikannya.
Namun, fenomena untuk menjadi yang pertama menyampaikan ke publik sepertinya itu menjadi hal yang perlu menjadi sesuatu banget, untuk mereka yang haus mencari panggung, tentunya.
Atau seringkali, seorang mentri mengomentari isu dan menganulir apa yang dikatakan rekan menteri lain sebelumnya atas isu yang sama. Apakah ada rivalitas di antara mentri? atau karena menteri yang pertama menyampaikan bukanlah menteri yang kompeten utk menyampaikan sehingga perlu dianulir?
Alhasil, publik melihat hal ini menilai bahwa sepertinya tidak ada koordinasi dan komunikasi yang baik di antara para mentri atas masalah terkait. Terlalu banyak masalah terjadi akibat perbedaan statemen atas masalah yang sama dari beberapa menteri. Blunder yang terjadi di publik lebih sering diakibatkan dari polemik atas perbedaan statement yg disampaikan para menteri. Seakan-akan masing-masing menteri punya agendanya masing-masing. Padahal selayaknya, semua menteri melakukan agenda yang sama sesuai dengan arahan presiden.
Jadi, seharusnya, tidak ada itu agenda menteri. Subyek si menteri yang menyampaikan pun harusnya menjadi tidak penting. Karena, siapapun yang menyampaikan, harusnya menjadi agenda yg sama yaitu agenda presiden - karena esensi dari kebijakan yang perlu disampaikan ke publik adalah sesuai dengan arahan Presiden.
Subjek mentri yang menyampaikan menjadi penting apabila disampaikan oleh Menteri bidang terkait, ini untuk menunjukkan otoritas dan tanggungjawab kewenangan menteri tersebut atas kebijakan yang disampaikan terkait bidangnya.
Makanya, perlu menteri atas masalah terkait yang menyampaikan.
Kebijakan yang krusial, seperti kebijakan Omnibus Law /UU Cipta Kerja, harusnya bisa disosialisasikan jauh-jauh hari sebelum undang-undang tersebut difinalkan dan disahkan oleh DPR. Pemerintah harusnya bisa menyampaikan narasi-narasi rasional untuk menjelaskan ke publik (bisa berupa infografis), alasan perlunya Omnibus Law ini dilakukan.
Faktanya, narasi penjelasan yang sederhana dan mudah dimengerti publik tidak dilakukan. Karena tidak dilakukan, alhasil, pihak oposisi melayangkan hoaks untuk menggagalkan omnibus law dan mendiskreditkan pemerintah, mereka lakukan dengan massif, propaganda mereka lebih nyaring dan lebih dulu diterima di publik, disrupt info ini menjadi blunder di publik dan tentu akan sangat mudah untuk mereka memprovokasi publik menghasilkan demo-demo.
Baru setelah kerusakan massif terjadi, narasi penjelasan atas sosialisasi point2 pentingnya Omnibus law/UUCK disampaikan, tentu ini jadi terkesan terlambat.
Dimana KSP dan jubir kepresidenan yang harusnya berperan menjadi public relation-nya pemerintah???
Harusnya mereka menjadi “corong” pemerintah untuk mensosialisasikan program pemerintah sebelum hal itu difinalkan di DPR, untuk mencegah info hoax. Tapi itu tidak dilakukan sebelumnya, kan. Selalu terlambat.
Saya membayangkan, bahwa fungsi KSP itu adalah seperti “West Wing” yang ada di White House, namun sepertinya tidak demikian adanya, masih sangat jauh dari yang diharapkan.
Saran saya untuk Presiden, sebaiknya perlu ditegakkan kembali siapa Menteri yang berhak bicara ke publik atas kebijakan baru pemerintah yang ingin disampaikan ke publik - tentunya Menteri terkait atas kebijakan baru tersebut yang paling relevan untuk menyampaikan bukan Menteri lain - misal, jika masalah keuangan negara, ya sebaiknya Menteri keuangan lah yang menyampaikan dan bukan Menteri BUMN.
Atau, jika harus disampaikan oleh level mentri setingkat Menko, maka sebaiknya menko bidang terkait yang menyampaikan bukan menko bidang lainnya - misal masalah keuangan ya Menko Perekonomian yang menyampaikan bukan Menko Maritim, misalnya.
Layaknya di White House, kewenangan penyampaian “suara Istana” juga harusnya disampaikan secara terhormat dan berwibawa oleh juru bicara Kepresidenan - wartawan diundang ke ruang prescon istana.
Bukan secara serampangan penyampaiannya dilakukan jubir istana di jalan atau di media talk show di TV. Sebaiknya, setiap suara istana yg ingin disampaikan oleh jubir presiden agar dilakukan di ruang prescon istana. Ini memberi kesan resmi dan wibawa pemerintah hadir. Sehingga apapun yang disampaikan di luar belum dianggap menjadi suara istana.
Disamping itu, jubir yang mantan aktifis relawan juga harus bisa menempatkan dirinya bahwa status dia saat ini adalah juru bicara Presiden, sehingga apapun yang dia sampaikan ke media di publik akan tetap dilihat sebagai suara istana.
Dia gak boleh lagi baperan, kebawa situasi dengan mengeluarkan statemen layaknya dia sebagai relawan. Ini malah akan memberi amunisi untuk oposisi mendiskreditkan pemerintah, dan hanya akan menambah kegaduhan baru yang gak perlu.
Jika keberadaan KSP dinilai tidak efektif, sebaiknya dibubarkan saja, karena hanya membuang biaya anggaran saja dan memberi peluang untuk masalah baru - semakin banyak overlapping kegiatan kerja maka akan semakin besar peluang masalah timbul.
Toh untuk masalah pengawasan sudah ada inspektorat kementrian yang melakukannya. Sebaiknya,menurut hemat saya bisa kembali mengoptimalkan peran sekneg dan atau sekab.
Mungkin, tim “west wing” yang diharapkan bisa dilakukan dengan mengoptimalkan tim yang ada di sekneg dan atau di sekab, atau dengan melebur Tim KSP masuk ke sekneg atau sekab. Rakyat tetap percaya dan berharap penuh terhadap visi Presiden bisa terwujud baik hingga tuntas, saat Periode kedua ini berakhir, sesuai konstutusi.
Masih 4 tahun lagi waktu yang tersisa untuk menyelesaikannya. Semoga masalah mendasar yang saya angkat ini sudah bisa teratasi sebelum tahun 2020 ini berakhir.
Semangat, Pak Presiden, untuk mewujudkan Indonesia Maju. (*)
0 komentar:
Post a Comment