Oleh: Amelda Salim S.IP
Nasionalisme sering dikonotasikan dengan aspek emosional,
kolektif dan idola serta memori historis. Nasionalisme selalu melibatkan
dimensi emosi, rasa, seperti perasaan sepenanggungan, seperantauan dan senasib.
Faktor memoris historis adalah faktor kecenderungan yang di bangun untuk
menumbuhkan perasaan bersatu dalam sebuah konsep kebangsaan. Sebagai upaya
menumbuhkan rasa nasionalisme di Indonesia di awali dengan pembentukan
identitas nasional yaitu, dengan adanya penggunaan istilah Indonesia untuk
menyebut negara kita.
Dimana selanjutnya istilah Indonesia dipandang sebagai
identitas nasional, lambang mempersatukan bangsa dalam menentang penjajahan.
Kata yang mampu mempersatukan bangsa dalam melakukan perjuangan dan pergerakan
melawan penjajah, sehingga segala bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan
Indonesia bukan atas nama daerah.
Proses
menuju revolusi Indonesia sosok Ibrahim Datuk Tan Malaka, atau di kenal Tan
Malaka, mungkin terlupakan atau bahkan asing
bagi generasi masa kini. Sosok yang
kaya gagasan filosofis, dan lincah berorganisasi telah melukis Indonesia
dengan bergelora.
Di sepanjang hidupnya, Tan Malaka telah memenempuh berbagai
royan, dari masa akhir Perang Dunia I, Revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II.
Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia TanMalaka merupakan tokoh pertama
yang mengagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de
Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih
dahulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije 1928, dan
Soekarno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka pada tahun 1933. Dalam
buku Naar de Republiek dan Massa Actice(1926) yang ditulis dari
tanah pelarian telah menginspirasi tokoh pergerakan di Indonesia. W.R.Supratman
yang kemudian memasukan kalimat “Indonesia tanah tumpah darah ku” dalam lagu
Indonesia Raya. Oleh sebab itu Muhammad
Yamin menjulukinya sebagai Bapak Republik Indonesia dan Soekarno menyebutnya
Seorang yang mahir dalam revolusi.
Di seputar Proklamasi Tan Malaka
menorehkan perannya yang penting. Ia
menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada, 19 September 1945.
Inilah rapat yang menunjukan dukungan massa pertama terhadap proklamasi
kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan masih sebatas catatan di
atas kertas. Pada 17 Agustus 1945 telah terjadi keruntuhan.
Keruntuhan itu
bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tidak ada, otoritas
pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah, yang runtuh adalah
sebuah wacana. Wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tetapi yang berfungsi
disini sekedar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang
kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Agustus itu
memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah Menjebol
dan Membangun, maka wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang
disebut Hindia Belanda telah jebol, berantakan. Dan kami, bangsa Indonesia kian
menegaskan diri.
Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang
nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer
Belanda yang hendak membuat negeri ini kembali menjadi Hindia Belanda.
Dari
medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam sebuah tulisan Di Tepi Kali Bekasi-
sebuah revolusi besar sedang terjadi, revolusi jiwa dari jajahan hamba menjadi
jajahan jiwa merdeka. Hasil dari perjuangan tersebut adalah sebuah subjek jiwa
merdeka, makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi tulang yang
berserakan. Sebab subjek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan
seorang hero. Dalam hal ini Tan Malaka benar: “Revolusi bukanlah suatu pendapat
otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas
perintah seorang manusia yang luar biasa”. Tan Malaka menulis kalimat itu dalam
Massa Actie yang terbit 1926.
Dua puluh tahun kemudian memang benar terbukti
bahwa, seperti dikatakannya, Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil
dari berbagai keadaan. Itulah Revolusi Agustus. Tetapi kemudian terlihat betapa
tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heorik dari penguasa yang berbuat, yang
terkadang disambut sebagai hero. Sebab revolusi digerakan oleh sebuah pilihan
dan keputusan, dan setiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih.
Dan ketika revolusi hendak menjadi perubahan yang berkelanjutan, ia membutuhkan
suatu agenda sebagai penentu dan satu pusat yang mengarahkan proses pelaksanaan
agenda itu.
Bagi Soekarno, Indonesia harus mempunyai arah atau teori, yakni
sosialisme dan arah itu ditentukan oleh pemimpin, yakni pemimpin besar
revolusi. Tan Malaka tidak memiliki rumus seperti itu. Tetapi ia yakin akan
perlunya satu partai yang revolusioner, yang mampu berhubungan baik dengan
rakyat akan mempunyai peran sebagai
pimpinan.
Dalam hal ini Tan Malaka juga mengagumi secara
khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, DR. Sun Yat Sen, yang di kalangan pengikut
bawah tanah dipanggil Sun Man. Setelah ia membaca buku San Min Chu I dan
memberi kesimpulan bahwa DR. Sun bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuhnya
seorang nasionalis. Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logika. Di
sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang Marxis fundamentalis, karena dia
dapat menghargai DR.Sun Yat-sen, nasionalis pengkritik Marxisme, dan mengagumi
Dr Rizal, seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap
satria sebagai pejuang kemerdekaan.
Dalam bukunya Mandilog yang dianggap sebagai
opus magnum, ia menguraikan tiga pemikiran yaitu: Materialisme, Dialektika, dan
Logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi gai dasar
terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi
berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradisi. Dialektika menunjukan
peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Dan sejak masa muda Tan Malaka
sudah terpesona oleh Marxisme-Leninisme, sehingga paham inilah yang menyebabkan
dia dipenjarakan berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan
penjara dan pembuangan itu yang menjadikan Tan Malaka seorang Marxis, melainkan
sikap dan pendiriannya yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan
dibuang.
Selain itu, dia tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh
dunia, tetapi untuk kemerdekaan tanah airnya. Paradoksnya dia seorang Marxis
tulen dalam pemikiran, tetapi Nasionalis dalam semua tindakannya. Sebelum Tan
Malaka di buang oleh pemerintahan Belanda ia mengatakan Strom Ahead- ada
topan menanti di depan. Dont lose your head! Ini sebuah language game
yang mempunyai arti ganda: jangan kehilangan akal dan jangan kehilangan kepala.
Tragisnya, dia yang tak pernah kehilangan akal di berbagai negara tempatnya
melarikan diri, namun akhirnya kehilangan kepala di tanah air tercinta.
0 komentar:
Post a Comment