Rantepao, Kompastimur.com
Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) dan masyarakat Toraja Utara, memperingati Hari Pahlawan
Pongtiku, Jumat (10/7/2020).
Peringatan Hari
Pahlawan Nasional Pongtiku ini menjadi momentum untuk mengingat bahwa
kemerdekaan yang dinikmati saat ini tidak datang begitu saja namun memerlukan
perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa dari para pendahulu negeri.
Semangat yang
ditunjukkan Pongtiku tersebut hendaknya perlu terus ditumbuh kembangkan di
dalam hati sanubari setiap Insan Masyarakat Toraja.
"Selain itu
peringatan Hari Pahlawan Pongtiku kita bangkitkan semangat berinovasi bagi anak
Toraja untuk menjadi pahlawan masa kini ," ujar Wakil Bupati Toraja Utara,
Yosia Rinto Kadang.
Wabup Rinto juga
menyampaikan Pongtiku adalah pejuang kebangaan Toraja.
"Kita juga
menumbuhkan semangat kepahlawanan dengan cara menorehkan prestasi di berbagai
bidang kehidupan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat dan membawa nama harum
Toraja," lanjut Rinto.
Ia berharap
jangan sampai tangan-tangan jahil atau pihak tidak bertanggung jawab merusak
keharmonisan dan kedamaian hidup di Toraja.
"Jangan
biarkan daerah kita terkoyak tercerai-berai terprovokasi untuk saling menghasut
dan berkonflik satu sama lain. Mari kita maknai Hari Pahlawan Pongtiku dengan
nyata bekerja dan bekerja membangun Toraja khususnya Toraja Utara,"
pesannya.
Ada beberapa
cara kita dalam ambil bagian menjadi pahlawan bagi daerah kita dalam bentuk
aksi aksi nyata seperti; menolong sesama yang terkena musibah, tidak melakukan
provokasi yang dapat mengganggu ketertiban umum, tidak menyebarkan berita hoax,
tidak melakukan perbuatan anarkis atau merugikan orang lain dan lainnya.
Tahun ini hari
pahlawan Pongtiku memgangkat tema "Kita kobarkan Semangat juang Pongtiku
Dengan Inovatif Dan Kreatif Dimasa Pandemi Covid-19".
Pong Tiku, Pahlawan Nasional Dari Tana
Toraja
Sungai Saddang
dekat Bukit Singki menjadi saksi bisu gugurnya Pong Tiku, pahlawan nasional
asal Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Nama Pong Tiku
barangkali terdengar asing bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Mungkin tidak
banyak pula yang tahu bahwa pada 8 November 2002 Presiden kelima RI Megawati
Soekarnoputri menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Pong Tiku. Namun,
tidak demikian halnya dengan masyarakat Toraja, yang sejak lama memperjuangkan
gelar tersebut. Bagi mereka, Pong Tiku memang pahlawan dan simbol perjuangan
terhadap kolonial Belanda.
Pong Tiku alias
Ne Baso lahir di Pangala’, kawasan dataran tinggi Sulawesi yang sekarang
termasuk Kecamatan Rindingallo, Kabupaten Toraja Utara, pada tahun 1846. Ia
anak dari penguasa Pangala’, Siambo’ Karaeng dan istrinya, Leb’ok.
Kala itu,
Sulawesi Selatan sedang mengalami booming perdagangan kopi.
Perdagangan dikontrol oleh para penguasa lokal, termasuk Siambo’ Karaeng.
Setelah ayahnya
wafat, Pong Tiku naik menggantikan sebagai penguasa Pangala’. Ia memperkuat
perekonomian setempat melalui perdagangan kopi dan menjalin hubungan dengan
suku-suku Bugis di dataran rendah. Ketegangan yang terjadi di antara
negara-negara di utara dan selatan Pangala’ memicu meletusnya Perang Kopi pada
1889 hingga 1890. Ibu Kota Tondon sempat dikuasai lawan sebelum direbut kembali
oleh Tiku. Setelah itu, ia memperkuat pertahanan dengan membangun sejumlah
benteng.
Awal abad ke-20,
Belanda mulai menyerang Sulawesi Selatan. Para penguasa lokal berhenti
berperang satu sama lain dan memusatkan perhatian pada Belanda yang memiliki
kemampuan jauh lebih unggul. Namun, satu per satu kerajaan di Sulawesi Selatan
runtuh dan ditaklukkan Belanda, hingga menyisakan Tiku sebagai penguasa
terakhir Toraja.
Pada 1906,
Belanda sudah menguasai hingga sejauh Rantepao. Utusan dikirim ke Tondon,
tetapi Tiku menolak untuk menyerah. Ia malah menyerang pasukan Belanda. Namun, dengan
persenjataan lebih lengkap, Belanda mampu menaklukkan benteng Tiku di
Lali’Londong. Menjelang akhir tahun, dua benteng lain akhirnya berhasil
ditaklukkan Belanda, setelah gagal berulang kali.
Sepak terjang
Tiku membuat Gubernur Jenderal Belanda JB Van Heutsz memerintahkan Gubernur
Sulawesi Swart untuk memimpin langsung penyerangan pada pasukan Tiku. Pasalnya,
peperangan melawan Tiku memakan waktu lebih lama dibandingkan pendudukan
tempat-tempat lain. Hal itu dianggap mencoreng muka Van Heutsz.
Setelah
pengepungan sekian lama dan negosiasi dengan mantan anak buahnya yang kemudian
bekerja untuk Belanda, Tiku setuju untuk gencatan senjata. Awalnya ia enggan,
tetapi karena diingatkan bahwa ibunya yang gugur dalam pengepungan harus
dimakamkan, ia pun setuju dan dipaksa pergi ke Tondon.
Mencium gelagat
bahwa ia akan ditangkap, malam sebelum pemakaman ibunya pada Januari 1907, Tiku
melarikan diri bersama 300 pengikutnya ke arah selatan. Meski harus terus
mundur menyusul jatuhnya bentengnya satu per satu, Tiku tidak mau menyerah pada
Belanda.
Persembunyian
Tiku di hutan mulai terlacak Belanda dan pada 30 Juni 1907, ia dan dua
pasukannya ditangkap oleh pasukan Belanda. Tiku menjadi pemimpin gerilya
terakhir yang ditangkap. Setelah beberapa hari ditahan, pada 10 Juli 1907 Tiku
gugur ditembak pasukan Belanda di Sungai Saddang. Ia dimakamkan di pemakaman
keluarga di Tondol.
Meski telah
tiada, semangat Tiku justru menjadi inspirasi dan simbol perjuangan masyarakat
di sejumlah wilayah Sulawesi. Untuk menghormati jasa-jasanya,
Pemerintah Kabupaten Tana Toraja mengangkat Tiku sebagai pahlawan
nasional pada tahun 1964. Pada 1970, tugu penghormatan Tiku didirikan di tepi
Sungai Sa’dan. Namanya juga dijadikan nama bandara di Tana Toraja. Dan,
akhirnya, pada 2002 pemerintah RI mengakui Tiku sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia. (KT/Febriani)
0 komentar:
Post a Comment