Oleh : Kaimudin Laitupa
Mengingat status
tahun 2020 ini tetap tahun pilkada, karena pelaksanaan pemilihan di 270 daerah
yang terdiri 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota tetap dilaksanakan
berdasarkan hasil rapat dengar pendapat yang diikuti komisi II DPR, Mentri Dalam
Negeri, Bawaslu, KPU dan DKPP pada hari Rabu tanggal 27 Mei telah memutuskan
tanggal 09 Desember 2020 sebagai hari pelaksana pemungutan suara Pilkada.
Olehnya itu Pilkada
tahun 2020 ini dimaknai sebagai kompetisi ide dan prestasi untuk menjaga mutu Pilkada
sebagai perwujudan hak politik rakyat. Subtansinya Pilkada bukan semata
mengganti orang atau kepemimpinan, Pilkada bukan lahan bisnis partai politik
dan pilkada bukan nilai tukar tamba rupiah tapi Pilkada adalah instrumen
suksesi kekuasaan melalui pemilihan umum untuk peralihan kekuasaan secara
periodik dan tertib, agar memobilisasi pendapat publik menjadi sarana bagi
rakyat menyalurkan aspirasinya.
Sesungguhnya
kata David Mendell dalam Bukunya From Promise to Power (2007) bahwa berpolitik
tanpa ide dan gagasan sama artinya dengan memangku jabatan tanpa tanggung
jawab. Olehnya itu memilih pemimpin itu harus dilihat pada visi, program dan
rekam jejak berkarya dari kepala daerah yang dimiliki. Maka agenda uji publik
menjadi syarat tersendiri bagi publik untuk menilai kualitas isi kepala daerah
yang terbaik dan bermutu. Bukan memaksa publik untuk memilih kepala daerah yang
krisis ide atau gagasan pada akhirnya makin menggeser makna politik dari tujuan
Asasinya, karena politik hanya menjadi ruang adu jotos bukan adu ide atau
gagasan.
Artinya Pilkada
2020 adalah Pilkada ide atau gagasan bukan sekedar obral janji yang kosong
subtansi, karena pengalaman disetiap momentum Pilkada pelbagai baliho dan
spanduk dengan tampilan beragam oleh para kontestan yang akan bertarung hidup
mati untuk memperebutkan tahta kekuasaan selama 5 tahun kedepan, berbagai
strategi pencitraan dibalut dalam pesan politik yang manis dengan asal dapat
meraup simpati serta mendulang suara pemilih disetiap hari H pencoblosan
seperti dukun kami untuk perubahan yang lebih baik atau dengan tawaran visi
misi lain kesehatan gratis, pendidikan gratis, membuka lapangan kerja,
pengantasan kemiskinan dan lain sebagainya.
Tujuannya untuk
memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai
politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan lewat
proses Pilkada.
Publik harus
tahu bahwa tujuan pelbagai baliho, spanduk dengan tampilan beragam. Seperti, dukung
kami untuk perubahan dan tawaran visi misi lain kesehatan gratis, pendidikan
gratis, membuka lapangan kerja, pengantasan kemiskinan semua itu adalah
strategi partai politik untuk mendapat simpati publik terhadap kandidat kepala
daerah yang diusung oleh partai politik, agar rakyat memilihnya. Sehingga akhir
dari kontestasi pilkada semua visi misi dan program itu lenyap atau hilang
tanpa sebab, dan ini sering terjadi disetiap momentum pilkada. Setidaknya
partai politik harus tahu dan sadar diri bahwa rakyat itu adalah segalahnya di
alam demokrasi. Seperti ungkapan Abraham Lincoln, Government Of The People, By The People, And For The People artinya
pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat,dan untuk rakyat, bukan sebaliknya Buy The
People (Membeli Rakyat), Dan Force The People (Menekan Rakyat) dengan segalah
cara untuk meraih status Quo.
Kata Yudi Latif
dalam tulisannya "Tersesat dalam Pesta Demokrasi" yang dimuat di Media Indonesia,
17 Maret 2014 ketika uang menjadi bahasa politik, Suara bisa dibeli dan
dimanipulasi, Idealisme pemilih dirobohkan, otoritas Komisi Pemilihan Umum
dihancurkan, ketika nilai-nilai idealisme publik tidak memiliki saluran
efektif, nilai-nilai kepentingan investor mendikte kebijakan politik. Maka
nilai integritas Negara yang demokratis mengalami degradasi karena karakter
politisi dengan cara menghalalkan segala cara disetiap pemilu masih terlihat
aktif. Sehingga output dari Pilkada tidak ada daulat rakyatnya tapi daulat
partai, sehingga cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat jauh dari harapan.
Harapan Penulis
bahwa, kesadaran kritis di tubuh partai politik harus ada dan aktif untuk
mencari pola startegi yang ideal dalam rangka mengkampanyekan pendidikan
politik kepada publik, bahwa bagaimana memilih kepalah daerah yang ideal. Tentunya
strategi itu tidak hanya dilakukan saat menjelang Pilkada tetapi sudah harus
dilakukan secara reguler jauh sebelum pelaksanaan Pilkada dimulai. Baca pikiran
Surbakti (2015:11) untuk mewujudkan Pemilu demokratis,terdapat beberapa
parameter yaitu: Kesatu Kesetaraan antar warga negara, Kedua; Kepastian hukum
yang dirumuskan berdasarkan asas pemilu demokratis. Ketiga; Persaingan bebas
dan adil antar kontestan pemilu. Keempat; Partisipasi seluruh pemangku
kepentingan dalam seluruh rangkaian penyelenggaraan tahapan pemilu. Kelima;
Badan penyelenggara Pemilu yang profe-sional, independen dan imparsial. Keenam;
Integritas pemungutan, penghitungan, tabu-lasi dan pelaporan suara pemilu. Ketuju;
Penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu.
Tentunya tuju
Poin pikiran yang di tawarkan oleh Surbakti (2015:11) diatas harus
dimaknai dan dipraktekkan dalam kerja-kerja Pilkada. Agar mewujudkan kualitas
pemilu demokrasi. Maka sukses dan tidaknya untuk mewujudkan kualitas pilkada
demokrasi tergantung partisipasi publik. Sebaliknya partisipasi publik aktif
dan tidaknya tergantung cara kerja KPU, Bawaslu dan Partai Politik teristimewa
Partai Politik. Karena kenyataannya disetiap momentum Pilkada Partai politik
lebih banyak titik fokusnya pada basis pemilih atau partisipasi penggunaan hak
pilih ketimbang partisipasi politik masyarakat.
Sehingga untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah tidak sesuai harapan.Karena titik fokus
partai politik selama ini berada pada partisipasi penggunaan hak pilih dari
pada partisipasi politik.Lihat ungkapan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson
mendefinisikan partisipasi sebagai esensi penting dalam partisipasi
politik,dimana ukuran utamanya adalah kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam
mempengaruhi kebijakan.
Olehnya itu
partai politik harus memahaminya.Pilkada tahun 2020 ini utamakan partisipasi
Politik masyarakat.Karena semakin banyak partisipasi politik Masyarakat untuk
memberikan hak politiknya.Maka semakin berkualitas sistem Demokrasi kita. Sehingga
akhir dari proses Pilkada untuk menghasilkan kualitas pemimpin transformasional
dan mampu bertindak sebagai problem solver di masa mendatang bisa
tercita-citakan. (Opini)
0 komentar:
Post a Comment