Ambon, Kompastimur.com
Perusahaan perkebunan sawit di Maluku Tengah milik anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Sihar Sitorus, dianggap mengingkari perjanjian dengan masyarakat lokal yang menjadi pemilik tanah. Di tengah jalan, Sihar diduga mengubah kesepakatan bagi hasil kebun sawit secara sepihak. Berharap mendapat Rp 2 juta per bulan dari tiap hektare tanah yang dipercayakan kepada Sihar, para pemilik tanah hanya memperoleh Rp 70 ribu.
Berkerumun di rumah seorang warga Desa Kobi Mukti, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Maluku Tengah, seratusan orang mengakhiri diskusi selama satu jam pada Rabu pagi akhir April lalu. Mereka memutuskan menutup jalan menuju lokasi PT Nusaina Agro Huaulu Manise, salah satu perusahaan milik Sihar Hamonangan Sitorus, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Itu bukan pertama kalinya penduduk dari berbagai desa, seperti Kobi, Siliha, Kabohari, dan Maneo, menutup jalan. Dalam dua tahun terakhir, beberapa kali mereka menutup akses. Terakhir kali pemblokadean jalan dilakukan pada awal Mei lalu, yang nyaris berujung bentrok antara masyarakat dan petugas keamanan perusahaan.
Aksi tersebut dilakukan karena mereka menilai Nusaina Group, induk lima perusahaan pengelola sawit di kawasan itu yang dimiliki Sihar, tak membayar hak masyarakat atas tanah yang dikelola menjadi perkebunan sawit.
|
“Penutupan jalan akan terus kami lakukan sampai perusahaan melunasi hak-hak pemilik tanah,” kata Jakaria Fabanyo, koordinator masyarakat adat, April lalu.
Jakaria bercerita, sejak panen perdana pada 2013 hingga Mei tahun ini, perusahaan belum pernah membayar dana kemitraan untuk sekitar 4.000 hektare tanah masyarakat. Tanah kemitraan ini tersebar di Desa Kobi Mukti, Aketernate, Maneu, dan Kabuhari. Ia mengetahui angka itu karena sebagian pemilik tanah memberikan kuasa kepadanya untuk menuntut hak-hak dana kemitraan kepada perusahaan. Jakaria menduga masih banyak pemilik tanah yang juga belum menerima dana mitra dari Nusaina Group.
Menurut dia, perusahaan belum membayar dana tersebut dengan alasan tanah itu tumpang-tindih dan belum ditanami sawit.
“Alasan itu mengada-ada karena sebagian besar tanah-tanah tersebut sudah ditanami sawit dan telah dipanen,” ujarnya.
Akhir 2019, Tempo menyaksikan di Desa Kobi Mukti dan sekitarnya terhampar ribuan pohon sawit setinggi 3-5 meter yang tengah berbuah. Terlihat bekas panen pada pohon-pohon sawit tersebut.
Anggota staf pengukuran Nusaina Group, Soleman Datsun, juga membenarkan kabar bahwa sebagian pemilik tanah memang belum menerima dana kemitraan.
“Sebagian berada di Desa Siliha,” kata Soleman.
Dihubungi beberapa kali melalui pesan, telepon, dan telepon video WhatsApp, Sihar Sitorus enggan menanggapi masalah ini. Ia mengaku sudah membaca surat permohonan wawancara yang dikirimkan Tempo.
“Pertanyaan sudah saya baca dan tendensius. Saya berhak tidak menanggapi,” kata mantan calon Wakil Gubernur Sumatera Utara ini, akhir April lalu.
Berkebun sawit di Maluku Tengah, Nusaina Group menerapkan pola kemitraan dengan penduduk lokal. Pola kemitraan ini diikat melalui akta notaris. Perusahaan mendapat bagian keuntungan 70 persen per hektare tiap bulan. Sisanya untuk pemilik tanah sebesar 30 persen setiap hektare per bulan. Bagi hasil ini berlaku sejak perusahaan memanen kelapa sawit.
Syahdan, pada 2008, Sihar Sitorus—putra “Raja Sawit Medan” Darianus Lungguk Sitorus—mempromosikan kerja sama ini.
Koordinator masyarakat adat, Jakaria Fabanyo, mengatakan masyarakat ikut pola kemitraan ini secara bertahap, mulai 2009 hingga 2015.
“Masa kontrak kemitraan ini selama 30 tahun,” ucap Jakaria.
Sesuai dengan dokumen Nusaina Group, luas tanah masyarakat yang dimitrakan mencapai 15 ribu hektare. Tanah ini berada di luar area izin perkebunan sawit milik Nusaina Group, yang memiliki lima perusahaan perkebunan sawit di Maluku Tengah, yaitu PT Nusaina Aketernate Manise, PT Nusaina Agro Kobi Manise, PT Nusaina Agro Huaulu Manise, PT Nusaina Tanah Merah Manise, dan PT Nusaina Agro Manusela Manise. Saham perusahaan-perusahaan itu dimiliki oleh Sihar Sitorus. Area kebun sawit kelima perusahaan sesuai dengan izin mereka seluas 40.796 hektare.
Tanah mitra seluas 15 ribu hektare itu milik ratusan keluarga. Ada juga atas nama marga atau kelompok kekerabatan masyarakat, gereja, dan tanah adat. Tanah milik Gereja Protestan Maluku di Dusun Wahakaim, Aketernate, seluas 1.206 hektare menjadi yang paling awal dikelola Nusaina sebagai area pembibitan sawit. Di luar itu, ada lokasi transmigrasi seluas 705 hektare yang dimitrakan dengan perusahaan. Lahan transmigrasi tersebut tersebar di Desa Tanah Merah, Waiasih, Seti Sumah, Waimusi, Namton, Waimusal, Kobi Mukti, dan Marasahua.
Mantan Bupati Maluku Tengah, Abdullah Tuasikal, mengaku ikut bermitra dengan Nusaina. Ia memiliki tanah seluas 97 hektare di Kobi Mukti yang dikelola oleh Nusaina.
Menurut dia, tanah itu milik bersama dengan Zainuddin alias Obed, warga Kobi Mukti yang mengurus pembelian tanah dari pemilik awal, yakni Herman Kohunusa dan Ramli Tobaru, pada 2003.
“Itu lahan bersama dengan Pak Obed,” kata anggota DPR dari Partai NasDem ini.
Ketika Nusaina mulai memanen sawit pada 2013, masyarakat menagih bagi hasil sesuai dengan perjanjian. Tapi Nusaina tak kunjung membayar. Belakangan, perusahaan itu malah mengurangi persentase bagian yang seharusnya diterima pemilik tanah menjadi hanya Rp 70 ribu per hektare. Pemilik tanah mengetahui perubahan nilai bagi hasil ini setelah menerima surat Sihar Sitorus pada 14 Januari 2017.
Bersurat atas nama direktur utama kelima perusahaan Nusaina Group, Sihar memberi tahu bahwa Nusaina tak bisa memenuhi kesepakatan bagi hasil dana kemitraan sesuai dengan perjanjian awal. Alasannya, hasil penjualan tandan buah segar sawit tak mampu menutupi biaya investasi, produksi, dan pemeliharaan. Perusahaan pun membebankan sebagian biaya itu kepada pemilik tanah. Dalam suratnya, Sihar merujuk pada perjanjian akta notaris yang menyebutkan biaya investasi pengelolaan sawit ditanggung bersama.
Sihar juga mendasarkan keputusannya pada hasil audit kantor akuntan publik Doli, Bambang, Sulistiyanto, Dadang yang menyebutkan bahwa perusahaan mengeluarkan biaya investasi menanam sawit sebesar Rp 46 juta per hektare. Untuk menutupinya, 30 persen dari biaya atau Rp 13,8 juta dibebankan kepada pemilik tanah. Duit itu diambil perusahaan dari dana kemitraan yang seharusnya diterima pemilik tanah setiap bulan. Pemotongan biaya investasi ini dilakukan secara bertahap, selama 25 tahun.
Selain itu, Sihar merujuk pada hasil kajian Pusat Penelitian Kelapa Sawit yang menyebutkan bahwa perkebunan sawit dengan kualitas normal akan mengalami kerugian selama empat tahun setelah layak komersial. Nusaina lantas memutuskan masyarakat mendapat dana kemitraan senilai Rp 70 ribu per hektare selama empat tahun, sejak 2015 hingga 2019.
Koordinator masyarakat adat, Jakaria Fabanyo, mengatakan perubahan itu tidak pernah dibicarakan dengan masyarakat. Apalagi mereka memperkirakan bakal mendapat hingga Rp 2 juta per bulan.
“Ini bisa dikatakan telah menipu masyarakat,” tutur Jakaria.
Pengawas lahan Nusaina Group di Desa Kobi Mukti, Hadi Sumanto, mengatakan perubahan nilai dana kemitraan itu memang tidak melibatkan para pemilik tanah. Namun, kata dia, perubahan nilai bagi hasil itu sudah disetujui para kepala desa masing-masing.
“Informasi dari kantor, persetujuan dana mitra sebesar Rp 70 ribu itu ditandatangani oleh kepala desa,” ujar Hadi.
Tapi Jakaria mengatakan kepala desa pun tak pernah memberikan informasi perubahan tersebut.
Urusan kemitraan bertambah runyam karena ternyata tidak semua pemilik lahan menyetujui tanah mereka dikelola oleh perusahaan. Sebagian pemilik tanah mengaku tidak dilibatkan dalam pembuatan akta notaris perjanjian kerja sama kemitraan, mereka hanya diwakili oleh perangkat desa.
Notaris yang mengurus akta kerja sama Nusaina Group, Risa Nurliawati Soulisa, mengatakan proses pembuatan akta perjanjian kemitraan tersebut memang berbeda-beda. Ada pemilik tanah atau kuasanya mendatangi kantor notarisnya di Ambon. Terkadang notaris menemui pemilik tanah atau perwakilan masyarakat di desanya.
“Kan, tak apa-apa diwakili,” kata Risa.
Seorang warga di Desa Waiasih, Daniel Ilela, menuding perusahaan mencaplok sekitar 200 hektare lahan milik marga Masauna dan Halamury.
“Lahan adat kami ditanami sawit tanpa ada perjanjian kerja sama sebelumnya. Perusahaan beralasan lokasi itu masuk lahan transmigrasi,” ujar ahli waris marga Halamury ini.
Tanah marga Halamury dan Masauna memang berbatasan dengan lahan milik transmigran di Desa Waiasih.
Menurut Daniel, setelah sekitar 90 keluarga mengikat kerja sama dengan Nusaina pada 2009, PT Nusaina Agro Kobi Manise ikut mengelola tanah milik kedua marga tersebut. Masyarakat sempat melawan saat perusahaan akan membongkar tanaman kakao yang tumbuh di area tersebut. Tapi perusahaan tetap menerabasnya.
Beberapa tahun berselang, Nusaina seolah-olah mengakui bahwa tanah itu memang milik kedua marga. Daniel mengatakan pengakuan itu dibuktikan dengan kesepakatan jual-beli tanah antara ahli waris kedua marga dan Nusaina pada 20 Juni 2017. Isinya, tanah kedua marga sekitar 160 hektare akan dijual kepada Nusaina seharga Rp 6 juta per hektare. Perusahaan memberi uang muka Rp 100 juta.
Lima bulan berselang, kedua marga membatalkan kesepakatan dan bersedia mengembalikan uang panjar. Daniel mengatakan pembatalan itu dilakukan karena penjualan tanah justru merugikan mereka.
“Kami maunya perusahaan mengontrak saja biar generasi kami menikmati hasilnya,” kata Daniel.
Perselisihan antara Nusaina dan kedua marga kembali berlanjut. Badan Pertanahan Nasional Maluku Tengah ikut turun tangan menyelesaikan urusan ini atas permintaan Kepolisian Resor Maluku Tengah. BPN mengukur kembali tanah milik marga dan area transmigrasi serta berdiskusi dengan kedua pihak. Hasil tinjauan ini tertuang dalam surat Kepala BPN Maluku Tengah Ferdinand B. Soukotta kepada Kepala Polres Maluku Tengah tertanggal 30 Oktober 2019. Dalam surat itu, BPN menyimpulkan lahan transmigrasi di Waiasih dan tanah milik kedua marga berada di titik berbeda.
Pelaksana tugas Kepala Dinas Transmigrasi Maluku Tengah, Mezak Soakakone, mengakui adanya keputusan BPN tersebut. Mezak mengatakan, selain urusan penyerobotan lahan, proses kerja sama kemitraan antara Nusaina dan transmigran diduga menyalahi aturan. Sebab, lahan transmigrasi tidak boleh dijual ataupun dikontrakkan.
“Kalau sudah dikontrakkan, nanti transmigran mau bertanam di mana?” ujar Mezak.
Ia mengaku pernah menyampaikan dugaan pelanggaran ini kepada perusahaan dan masyarakat transmigrasi. Namun kerja sama itu terus berjalan. (KT/RP-MJB)
0 komentar:
Post a Comment