Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H |
Jakarta, Kompastimur.com
Sejumlah
profesor dan doktor dari dari sejumlah kampus tertentu menyampaikan pernyataan
penolakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi No.30 Tahun 2002.
Sebab, revisi UU KPK tersebut dianggap bakal melemahkan kewenangan KPK.
Menanggapi hal
itu, pakar hukum tata negara, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. mengatakan apakah
sikap profesor dan doktor yang menolak revisi UU KPK tersebut sudah menyertakan
hasil penelitian dan kajian mendalam secara akademik sesuai prinsip
keilmuan,?atau hanya akrobat belaka,? Menurut Fahri, jika tanpa penelitian dan
kajian, penolakan tersebut merupakan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip
keilmuan sebagai suatu entitas akademisi.
"Hal yang
demikian itu dapat dikualifisir sebagai sikap yang tendensius, prematur dan
ceroboh. Idealnya penolakan itu harus disertai dengan naskah kajian
komprehensif serta penelitian yang mendalam dan substantif, dan bukan berdasar
pada opini serta asumsi semata," ujar Fahri dalam keterangan persnya.
Menurut Fahri,
revisi UU KPK merupakan keniscayaan legislasi. Fahri meyakini rencana revisi UU
KPK sudah melalui pertimbangan filosofis, teleologis, yuridis, sosiologis dan
komparatif, serta telah memperhatikan kaidah-kaidah pembentukan UU sebagaimana
diatur dalam UU RI No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan.
Sehingga dengan
demikian, kata Fahri, revisi UU KPK nantinya legitimate, baik secara yuridis
maupun politis untuk kepentingan pemberantasan korupsi di masa yang akan datang
Diketahui, ada
enam pokok isu hukum utama dalam revisi UU KPK tersebut. misalnya soal
keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan SP3, status pegawai
KPK, kedudukan hukum KPK sebagai cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK
sebagai lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di
indonesia.
Menurut Fahri,
sebagai basis analisis dalam draf revisi UU KPK saat ini merupakan gabungan
serta evaluasi terhadap rezim pencegahan dan penindakan sebagai suatu instrumen
vital dan strategis KPK selama ini. Dan hal tersebut, menurut Fahri, merupakan
konsen politik hukum DPR dalam revisi terbatas atas UU nomor 30 tahun 2002
tentang KPK.
"Ada
semacam rencana penataan signifikan atas hal tersebut yang diorientasikan
kedepan tentunya," tegas Fahri yang juga Alumni program Doktor Hukum Tata
Negara pada kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar ini.
Fahri
menambahkan bahwa surat presiden (Surpres) yang dikirimkan kepada Ketua DPR
untuk pembahasan revisi UU KPK secara teknis ketatanegaraan sesuai ketentuan
pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945, dengan Surpres tersebut, lanjut
Fahri, maka maka pembahasan RUU tersebut segera dimulai. Fahri meminta beberapa
hal untuk diperhatikan jika revisi UU KPK tersebut sudah mulai dibahas.
Misalnya, soal pendalaman terhadap filosofi pencegahan dengan rehabilitasi yang
berorientasi pada keadilan restoratif dan serta sistem pemidanaan yang bertumpu
pada prinsip “deterrent effect”(efek jera),
"Konsep
penghukuman ini menjadi penting untuk didalami secara serius dan substantif
dalam rangka membangun sistem hukum Tipikor yang kuat dan kredible kedepan. Ini
merupakan momentum penting untuk diselesaikan," tambah Fahri.
Menurut Fahri,
dasar rencana revisi UU KPK adalah dalam rangka memperkuat kelembagaan serta
untuk memastikan independensi KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsi
pemberantasan korupsi, bukan untuk penataan yang bersifat destruktif.
"Dan
hendaknya semua kalangan dapat menyikapi semua ini dengan pikiran yang jernih
dan masukan serta argumentasi akademik yang lebih konstruktif demi perbaikan
bangsa dan negara kedepan," tutup Fahri yang juga pernah menjadi kuasa
hukum TKN Jokowi-Ma'ruf dalam sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi ini.
(KT/Rls)
0 komentar:
Post a Comment