Jakarta, Kompastimur.com
Pakar Hukum Tata
Negara, Dr. Fahri Bachmid, S.H.,M.H. menilai sikap tiga pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanggar hukum tata negara dan konstitusi.
“Menyerahkan
mandat KPK kepada Presiden melanggar sistem hukum tata negara dan konstitusi.
Tidak ada nomenklatur penyerahan mandat KPK kepada Presiden berdasarkan hukum
tata negara,” ujar Fahri kepada wartawan, Minggu (15/9/2019).
Menurut Fahri,
sikap tiga pimpinan KPK tersebut merupakan manuver serta moving dengan
menggunakan diksi menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada presiden. Apa
yang dipertontonkan pimpinan KPK kepada publik tersebut, Fahri mengatakan,
merupakan lelucon yang tidak lucu.
“Ini adalah
suatu ironi yang terjadi disebuah negara demokrasi konstitusional saat ini.
Sikap pimpinan KPK yang menyerahkan mandat kepada presiden ini harus dipandang
sebagai tindakan yang inkonstitusional, serampangan dan melanggar undang-undang
No. 30 Tahun 2002 tentang KPK itu sendiri,” tandas Fahri yang juga Alumni
Program Doktor Hukum Tata Negara kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI),
Makasar, ini.
Fahri
menjelaskan menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Presiden
inkonstitusional. Dari segi hukum tata negara maupun hukum administrasi negara,
menurut Fahri, tidak ada nomenklatur menyerahkan mandat kepada presiden, selain
karena tidak sejalan dengan rezim ketentuan pasal 32 ayat (1) poin e.
Menurutnya, UU
KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena, meninggal
dunia, berahir masa jabatannya, menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana
kejahatan, berhalangan tetap atau secara terus menerus selama lebih dari tiga
bulan, mengundurkan diri, atau dikenai sanksi berdasarkan UU KPK.
Sementara di
sisi lain, Fahri menambahkan bahwa presiden tidak dalam kedudukan maupun
kapasitas menerima tanggungjawab dan pengelolaan institusi KPK sebagai “state
auxiliary agencies” terkecuali tiga pimpinan KPK tersebut secara eksplisit dan
resmi menyatakan mengundurkan diri sesuai dengan kaidah ketentuan pasal 32 ayat
(1) point e UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
”Ini adalah
suatu praktek yang tidak lazim dan cenderung deviasi dari prinsip hukum.
Apalagi disatu sisi telah menyerahkan mandat kepada presiden,tetapi disisi yang
lain berharap menunggu arahan dan direktif presiden untuk menjalankan atau
tidak menjalankan tugas-tugas kelembagaan KPK sampai bulan desember 2019,”
tambah Fahri.
Lebih jauh,
Fahri menegaskan bahwa pengunduruan diri dari pimpinan KPK dan penyerahan
mandat pengelolaan KPK kepada Presiden sangat tidak negarawan dan
potensial menjadi preseden buruk dalam praktek ketatanegaraan. Fahri
memaparkan bahwa berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat (5) dan (6) UU KPK
disebutkan bahwa ayat (5) “Pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bekerja secara kolektif,”dan selanjutnya ayat (6) disebutkan bahwa “Pimpinan
KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penanggung jawab
tertinggi KPK”.
”Dengan demikian
maka untuk menjaga keberlangsungan dan kesinambungan kerja-kerja KPK sesuai
tujuan dibentuknya KPK berdasarkan pasal 4 UU KPK yaitu meningkatkan daya guna
dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, maka
presiden sebagai kepala negara segera mengambil langkah-langkah sesuai mandat
hukum yang ada, yaitu dapat mengambil langkah untuk mengisi kekosongan pimpinan
KPK saat ini dengan mengangkat anggota sementara pimpinan KPK sampai dengan
berahirnya periode pimpinan yang lama yaitu sampai pada bulan desember 2019 yang
akan datang,” tukas Fahri.
Agar segala
proses pro justicia di KPK dapat berjalan dengan normal, menurut Fahri,
tindakan tiga pimpinan KPK dengan mengembalikan mandat kepada Presiden dapat
dikualifisir sebagai tindakan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan pasal 32 ayat (1) point e UU KPK. karena,...e. mengundurkan diri;
sehingga terpenuhi maksud dari kata-kata mengembalikan mandat adalah sejalan
dengan maksud mengundurkan diri.
”Dengan demikian
maka presiden dapat mengunakan kewenangan konstitusionalnya berdasarkan UU RI
No. 10 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPU No. 1 tahun 2015 tentang
Perubahan atas UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
menjadi undang-undang,” katanya
Dijelaskan
Fahri, khusus ketentuan pasal 33A ayat (1) yang menyebutkan bahwa dalam hal
terjadi kekosongan keanggotaan pimpinan KPK, yang menyebabkan pimpinan KPK
berjumlah kurang dari tiga orang, presiden dapat mengangkat anggota sementara
pimpinan KPK sejumlah jabatan yang kosong. Selanjutnya dalam ayat (2)
disebutkan bahwa anggota sementara pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mempunyai tugas, wewenang, kewajiban dan hak yang sama dengan pimpinan KPK.
Dan pada ketentuan pasal 33B menyebutkan bahwa masa jabatan anggota sementara
pimpinan KPK sebagaimana dimaksud dalam pasal 33A ayat (1) berahir pada saat
pengucapan sumpah atau janji anggota pimpinan KPK yang baru setelah dipilih
melalui proses sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (2).
”Dengan demikian
maka presiden dapat mengisi kekosongan pimpinan KPK yang kurang dari tiga orang
tersebut dan secara kelembagaan KPK tetap berjalan menyelesaikan tugas dan
wewenangnya sampai dengan dilantiknya pimpinan KPK yang baru pada bulan
Desember nantinya,” pungkas Fahri.
Sebelumnya
diketahui, tiga pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Saut Sitomurang, dan Laode
Muhammad Syarif. Penyerahan mandat kepada Presiden berawal dari adanya revisi
UU KPK. Dalam pernyataanya, Agus menyampaikan KPK dikepung dari berbagai sisi
dan pemberantasan korupsi semakin mencemaskan. Menurut Agus, pihaknya belum
mengetahui draf isi revisi UU KPK tersebut. (KT/Rls)
0 komentar:
Post a Comment