Oleh : Sofyan Kelian, S.I.Kom
Dalam skema
praksis momentum politik di Kabupaten Yang berjuluk Ita Wotu Nusa dewasa ini
menjadi diskusi hangat dari berbagai kalangan aktivis sampai pada kalangan akar
rumput yang terbersit di benak ketika polemik itu terjadi.
Saya asumsikan
demikian, karena kesibukan rakyat untuk berpikir terpencar dalam menentukan
seorang pemimpin yang Ideal. Ini merupakan gejala psikis normal yang lahir dari
hati nurani rakyat seram bagian timur saat ini. mudah-mudahan istilah ini
benar.
Tapi..?.
Okelah, setelah adanya keributan politik. Kenyataannya kesimpangsiuran rakyat
semakin tidak terarah. Isue-isue referendum sebagai indikator kultur politik
masyarakat semestinya para pelaku politik harusnya memberi pemahaman kepada
kaum akar rumput agar memahami benar terkait struktur kekuasaan dan mereferensi
ulang terkait kultur politik yang terkesan harmonis.
Di sini Saya
ingin menjelaskan kontra produktifnya isue yang sengaja di tiupkan dari
berbagai elemen bila dikaitkan dengan partisipasi rakyat sebagai peserta
pemilih dalam konteks Berdemokrasi bahwasanya gonjang-ganjing yang dimainkan
bertujuan untuk melahirkan suatu pragmentasi baru dari ruang publik masyarakat
yang notabene sedang terkena musibah sosial. Dalam proses itulah hipotesa yang
bisa dibangun.
Pertama,
Hipotesa kuno " pengalihan pandangan disetiap rezim Kepemimpinan.
Kedua, Dalam
siklus yang faktual, bahwa perubahan sosial akhir-akhir ini tidak sebanding
dengan keinginan kita untuk membawa kerangka pikir mereka yang sedang
terjangkit kesenjangan sosial agar bimbang menentukan sikap keberpolitikannya
dengan kata lain, isue politik yang dibangun kekinian adalah lebih dalam
kerangka mendiskriminasi, Mendikotomi Bahkan ada Semprotan pedas yang di
laraskan kepribadian seseorang ansih, ketimbang prospek suatu demokrasi yang
luhur dan Santun. Kendati Saya tidak menutup mata, apabila kita bisa mereduksi,
bahwa Pemuda, mahasiswa, Aktivis dan Masyarakat SBT secara totalitas harusnya
ikut berperan aktif untuk meracik momentum Yang Insha Allah dihelat pada 2020
mendatang bahwa mestinya dalam mekanisme politik yang berbeda sejauh yang
pernah di lalui.
Kembali mengacu
pada judul di atas bahwa, sesungguhnya kita tidak mentransformasikan
nilai-nilai politik, baik dalam konteks pencitraan, terlebih lagi dalam konteks
pemetaan mekanisme politik di masa depan. Ini kalau kita percaya, bahwa politik
itu sesungguhnya miliknya rakyat. Namun, apabila anasir-anasir politik lebih
didaulatkan oleh para golongan tertentu dengan keberantakan internal melalui
"rasa ketakutan yang berkelebihan", maka hasilnya sudah dapat diduga
bahwa mekanisme keberpolitikan kita tidak berinteraksi secara langsung dan
sistem komparador, oligarki, oligopoli yang bermuara pada politik kekeluargaan
menjadi pilihan yang terburuk bagi masyarakat Seram Bagian Timur di masa yang
akan datang. Waduuuh..! Kasihan generasi dan kaum akar rumput.
Kesimpulannya,
bahwa demokratisasi seperti itu yang nanti justru menyempitkan nilai-nilai
demokrasi rakyat. Singkat kata saya, bahwa polesan di atas terdapat lima unsur
yang dapat kita petik sebagai corong terdepan untuk memberikan pelayanan
pendidikan politik yang lebih baik dan harusnya di singkirkan yakni :
Pertama, Di
hapuskan politik pencitraan.
Kedua, Kultur
politik untuk perubahan SBT lima tahun dan seterusnya akan tercabik jika masih
mengandalkan sistem money politic (politik uang) dan agresif politik (politik
di bawah tekanan).
Sebuah tujuan
tanpa perencanaan hanya menjadi harapan, yang terpenting bukanlah Kemenangannya
tetapi usaha untuk pencapaiannya.
Jika anda
ragu-ragu atas dasar mempertimbangkan secara matang sehingga keputusannya agak
lama, itu lain soal. Tetapi secara psikologis, publik ingin merespon cepat dari
pemimpinnya. Dengan begitu, publik punya sandaran, merasa tentram dan aman
karena berpolitik santun adalah tentang bagaimana tersenyum, saling menyapa
& normatif.
Politik
ber-etika adalah tidak mencuri uang & suara dalam pemilu. Saya percaya
Ideologi itu berawal dari goresan, bahkan ada teman saya yang bercita-citakan
mengubah pola pikir masyarakat melalui tulisan. Olehnya itu, Setiap kamu adalah
pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang yang
dipimpinnya karena sesungguhnya hati menjadi pusat pengambilan keputusan, maka
jagalah ia sebaik-baiknya, sebab kita warga masyarakat Kabupaten Seram Bagian
Timur secara totalitas Berharap bahwa mari kita mengedukasikan pendidikan
politik dengan tanpa mendikotomi, mendiskriminasi serta mendzolimi kepribadian
orang lain. (KT/Opini)
0 komentar:
Post a Comment