Jakarta, Kompastimur.com
HAIDAR Alwi penanggung jawab
tunggal Aliansi Relawan Jokowi atau ARJ mengatakan, dahulu kala, politik pecah
belah, politik adu domba, atau devide et impera adalah kombinasi strategi
politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan
dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih
mudah ditaklukkan.
Dalam konteks lain, katanya,
politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu
menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Dan, kekuatan militer menjadi
faktor pendukung utama. Bukan, Agama yang menjadi ujung tombaknya.
"Awalnya, devide et impera
merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai
pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). Bangsa-bangsa
tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan
alam, terutama di wilayah tropis," katanya di Jakarta Sabtu (15/6/2019).
Seiring dengan waktu, lanjutnya,
metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga devide et impera
tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi
politik. Dan, semua itu tidak menggunakan agama sebagai alat untuk menghasut
apalagi mengadu domba atas nama agama. Karena, tujuan penjajah sesungguhnya
merampok kekayaan alam Indonesia.
"Sekarang, di Indonesia
penjajahan sesungguhnya telah terjadi tanpa disadari. Dimana, penjajahan itu
tidak seperti penjajahan jaman kolonial. Tetapi, penjajahan spiritual yang
merusak ahklak dan mental melalui doktrin aliran agama tertentu yang
sesat," jelasnya.
Penjajahan mental dan spiritual
di Indonesia saat ini jauh lebih kejam dan biadab jika dibandingkan penjajahan
pada jaman kolonial. Karena, jaman penjajahan kolonial lebih condong kepada
penjajahan fisik yang dirasakan.
"Tetapi, penjajahan
spiritual dan mental telah mengganggu napas kehidupan keberagaman tanpa
disadari. Sehingga, tanpa terasa sendi-sendi sosial, budaya dan agama menjadi
ngilu," tegasnya.
Menurut Inisiator gerakan
#2022GantiGabener ini, di puncak Bogor, cukup akrab ditelinga kita soal
kawin kontrak. Dan, di area puncak tersebut kita sering melihat oknum keturunan
Arab lalu lalang. Dan, merekalah yang kerap kali melakukan kawin kontrak
disekitar kawasan itu tanpa mengalami kesulitan sedikitpun dalam proses kawin
kontrak tersebut.
Ironisnya, para orang tua dengan
mudah merelakan anak gadisnya untuk dijadikan budak sex. Dan, atas nama
agama mereka menganggap kawin kontrak adalah benar adanya.
"Padahal, sesungguhnya kawin
kontrak itu sama saja melegitimasi perzinahan dan perdagangan anak,"
urainya.
Tetapi, masih menurutnya, apa
boleh buat kalau orang tua telah terhipnotis dengan para penjajah spiritual.
Dan, itu seakan sudah menjadi budaya karena budaya kawin kontrak sudah menjamur
dikawasan puncak yang berubah menjadi Arab Village.
Budaya Indonesiapun menjadi
terkikis berangsur berubah karena penjajahan spiritual dan mental. Budaya
Indonesia yang seharusnya dipertahankan dan dikembangkan malah justru
dihancurkan. Jati diri bangsa Indonesiapun dengan mudah dijajah.
"Bahkan, Rizieq Brisik
dengan mudah melakukan hal seperti itu secara berulang-ulang tanpa mengenal
kata malu. Bahkan, kepada pendiri bangsa (Soekarno) dan tokoh lainnya
seperti Gus Dur pun, Rizieq Brisik dengan gampang menghinanya," pungkas
Haidar Alwi. (KT/Wit)
0 komentar:
Post a Comment