Foto : Praktisi Hukum Tata Negara, Fahri Bachmid |
Jakarta, Kompstimur.com
Pembekuan Tim Seleksi
(Timsel) Komisi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Maluku dan pembentukan
Timsel yang baru terus membuka ruang berpedaan persepsi.
Praktisi Hukum Tata Negara,
Fahri Bachmid pun ikut angkat bicara menyoroti pembentukan Timsel baru yang
dinilai sewenang-wenang itu.
Menurut Fahri, babak baru
proses seleksi calon Komisioner KPU Maluku yang dilakukan oleh Timsel yang baru
dibawah payung hukum PKPU RI Nomor 2 Tahun 2019 telah kehilangan legitimasi
publik, serta skeptisisme kolektif masyarakat yang pada giliranya bermuara pada
krisis Delegitimasi atas proses
rekruitmen Calon Komisioner KPU Maluku itu sendiri.
“Ini sangat berbahaya
ditengah tensi politik Pilpres/Pileg 2019 yang sebentar lagi akan dihelat, apalagi
ditengarai bahwa proses ini penuh dengan akrobat politik dibalik pembekuan Timsel
yang lama tanpa adanya kejelasan hukum serta kesalahan (punisment) yang jelas
serta pasti, yang ditetapkan oleh KPU RI,” kata Fahri melalui releasenya kepada
Kompastimur.com, Sabtu (16/02/2019).
Fahri menilai, publik Maluku
tidak cukup disuguhkan dengan alasan serta logika hukum yang mumpuni (legal
reasoning) dibalik pembekuan/pembubaran Timsel yang lama.
Artinya tidak cukup pijakan
yang argumentatif serta alasan-alasan legal lainya yang terukur dibalik
tindakan pembekuan itu, sehingga berimplikasi pada terhentinya proses dan
tahapan rekruitment calon komisioner KPU Maluku yang dilakukan oleh Timsel yang
lama,?
Secara sederhana, lanjutnya,
perbedaan sikap dan cara pandang antara KPU RI dengan Timsel yang lama adalah berangkat
dari metode penafsiran atau multitafsir atas instrumen hukum yang berlaku, yaitu
ketentuan pasal 21 ayat (6) huruf a PKPU Nomor 7 Tahun 2018 Jo. PKPU Nomor 27
Tahun 2018, yakni paling banyak 7 (tujuh) kali dari jumlah calon anggota KPU
Provinsi yang dibutuhkan dan ketentuan pasal 28 ayat (3) dan pasal 29 ayat (1)
UU RI Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yaitu mengajukan sebanyak 2
(dua) kali jumlah anggota KPU Provinsi yang berakhir masa jabatanya kepada KPU,
artinya secara expresiv verbis Timsel
diperintahkan secara langsung oleh Undang-Undang dan Peraturan KPU untuk
memenuhi kebutuhan quota, dan bukan passing grade : 60.
Sementara disisi yang lain,
tambahnya, Timsel diperhadapkan dengan produk hukum KPU yang lebih rendah yaitu
Keputusan KPU Nomor 252/PP.06.kpt/II/2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Keputusan KPU Nomor 35/PP.06.kpt/05/KPU/II/2018 tentang Petunjuk Teknis Seleksi
Anggota KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota, yang mana penekanannya lebih pada untuk
memenuhi passing grade 60, yang secara hukum tidak diperintahkan langsung oleh Undang-Undang
Pemilu maupun PKPU Nomor 7/2018 Jo. PKPU Nomor 27/2018,.
“Jadi tidak ada kewajiban
hukum Timsel untuk mengikuti Juknis seperti itu yang secara hirarkis
perundang-undangan bukan merupakan peraturan yang bersifat mengatur
(reggeling), Juknis dapat diabaikan, sebab Juknis hanyalah Belleidd yang tidak mempunyai konsekwensi yuridis,” terangnya.
Jadi pangkal soal atas semua
itu adalah produk hukum yang dibuat oleh KPU RI itu sendiri, seperti ambang
batas 60 yang diatur dalam Juknis KPU, maupun pengajuan 7 kali kebutuhan yang
diperintahkan oleh peraturan KPU, dari sisi hirarkis perundang-undangan, maka
Timsel mempedomani PKPU Nomor 7 Tahun 2018 maupun PKPU Nomor 27 Tahun 2018
adalah benar dan legal, sehingga tidak dapat dipersalahkan.
“Dengan demikian ketika KPU
RI menindak Timsel dengan melakukan pemberhentian adalah tindakan yang bersifat
sewenang-wenang dan cenderung Eksesif,
dan ini harus dihentikan,” tegas Fahri.
Bahwa KPU RI sebagai ‘States
Auxiliary Bodies’ berdasarkan UU RI Nomr 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
memiliki kewenangan yang salah satunya adalah instrumen yang bersifat ‘Rules
Making Fungtion’ atau atribusi kekuasaan (attributie van rechtmacht) kekuasaan
membentuk perundang-undangan (attributie van wetgevendemmacht), yaitu membuat Peraturan
KPU untuk menjabarkan hal-hal teknis lebih lanjut tentang penyelenggaraan
Pemilu.
“Nah pada tingkat ini KPU
gagal dalam membuat perencanaan pembentukan hukum yang adil dan baik yang tentu
untuk melindungi proses dan tahapan Pemilu yang baik dan credible. Hal ini
tidak sejalan dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, yang mencakup : tahapan Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan,
Pengesahan/Penetapan, dan Pengundangan,” paparnya.
Pada tingkat ini nampak KPU
RI tidak matang dalam pembentukan hukum sesuai perencanaan berdasarkan
kebutuhan hukum penyelenggara, dan yang terjadi adalah sebaliknya, tambal sulam
serta tiba masa tiba akal, yang pada akhirnya masyarakat/publik yang dirugikan.
Contoh yang paling terkini
adalah Maluku, bisa dibayangkan untuk kepentingan sektoral untuk Provinsi
Maluku saja, KPU RI membuat PKPU RI Nomor 2 Tahun 2019, ini tidak logis, apa Reasoning dibalik lahirnya PKPU RI Nomor
2 Tahun 2019? ini untuk siapa? dan apa urgensinya?
“Kok organ negara sebesar
KPU bisa mengambil langkah mahal seperti itu, dengan membajak hak
konstitusional publik, sangat aneh karena instrumen hukum PKPU cuman dibuat
dalam rangka menampung keadaan istimewa serta selera dan kehendak eksklusif KPU
itu sendiri, kemudian hak kolektif publik diabaikan serta di negasikan secara
sewenang-wenang,ini merupakan ironis dialam demokrasi konstitusional seperti
ini,” cetusnya.
Katanya lagi, KPU RI secara
institusional sebagai Self Regulatory
Agencies/Independent Supervisory Bodies dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
kewenangannya terhadap proses Pemilihan Umum sesuai mandat hukum dan
konstitusi, senantiasa berpijak pada kaidah-kaidah legitimasi publik (publieke
legitimiteit) sebagai esensi dari prinsip kedaulatan rakyat (volks
souvereniniteit).
Bagaimana jadinya jika
lembaga penyelenggara yang dibentuk berdasarkan prinsip keterbukaan, akuntabilatas,
partisipatoris dengan melibatkan publik (publik trust) sebagai penyokong
legitimasi, berubah menjadi Publik
Distrust,? krisis kepecayaan serta skeptisisme yang cukup besar atas
penyelenggara KPU Provinsi Maluku yang berangkat dari proses rekruitmen yang
cacat yuridis serta cacat legitimasi?
Bagaimana nantinya KPU
Provinsi Maluku yang dihasilkan dari proses ini bisa bekerja? Jika telah
terjadi Publik Distrust? Ini merupakan hal yang amat sangat krusial untuk
dibenahi, KPU RI harus mengambil langkah-langkah luar biasa untuk mengatasi
masalah ini, sebab bisa menjadi masalah sistemik dan pada akhirnya berujung
pada krisis legitimasi yang dapat mengganggu produk Pemilihan Umum itu sendiri.
“Artinya secara akademik
tidak akan terhindarkanya berbagai implikasi, baik secara yuridis, politis, maupun
legitimate, disitu titik krusialnya,” pungkasnya. (KT-01)
0 komentar:
Post a Comment