Release, Kompastimur.com
Debat pertama
yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemarin malam, Kamis (17/1), belum
mempertlihatkan potret demokrasi yang ideal. Jiwa kenegarawan sejati pun
luntur, karena mental seorang negarawan harus mampu melewati kawah candradimuka
dengan lompatan jaman yang jauh terukur, gagasan yang kuat, mental yang berani
dan berjiwa besar, sehingga dapat diandalkan dan diharapkan menjadi orang yang
mampu mewakafkan dirinya, seluruh tenaga dan pikirannya untuk kemajuan bangsa dan negara ini, tanpa pamrih atau
menuntut apa yang bangsa ini berikan kepada dirinya.
Pendapat ini
disampaikan Presiden Indonesian Youth Updates (IYU) Ruben Frangky Darwin
Oratmangun, dalam rilis tertulisnya, Jumat (18/1).
Secara eksplisit
kehidupan demokratisasi di Indonesia tidak pernah lepas dari pertentangan
politik, kritik, sinisme, saling sikut dan tentunya menciptakan atmosfir sebuah
perdebatan panas, dengan gagasan yang penuh intrik dan gimmick.
Debat bukan
perkara mengumbar sentimen dan meraih suara semata, namun esensi debat adalah
mampu mensugesti atau memberi rangsangan secara ilmiah untuk membangun rasionalitas dalam diskursus publik yang
kritis dan solutif. Juga sekaligus menjadi indikator penting bagi bangsa yang
merupakan sebuah komunitas politik yang demokratis.
“Sang petahana (Joko
Widodo-Ma'ruf Amin) tampak reaktif dan agresif seraya melontarkan jab-jab
ringan yang mudah dihindari sang penantang (Prabowo-Sandi) yang begitu tampak
sangat hati-hati akibat terjebak dalam ruang obsesi kesantunan politik, yang
oleh lawannya justru dikesampingkan," pungkas Ruben.
"Sang
petahana selalu menggunakan narasi yang sifatnya argumentatif, kurang
elaboratif. Konsentrasi pun tertuju pada text book yang dibawanya sehingga
kehilangan fokus dan minim substansi. Sebaliknya dengan Sang penantang, begitu
offensive dan narasi yang dibagun penuh hiperbola tanpa data yang jelas, asal
apa yang diungkapkannya jelas", tandas Ruben.
Perdebatan kini
jadi sekedar mengisi kuisioner dengan secarik kertas ditangan yang sudah
dibubuhi kata kunci dan di ibaratkan sebuah pentas opera penuh jenaka; hal ini
sangat miris!!
Sebelumnya para
paslon diberikan 'kisi – kisi' atau bocoran pertanyaan dengan alasan agar
perdebatan yang kelak berlangsung tidak menyinggung atau mendiskreditkan
perasaan kedua pasangan calon presiden tersebut. Kendati demikian, kandidat pun
jadi sempoyongan dan terbata-bata menyatakan gagasannya, mereka nampak gagap
dalam beretorika dan nihil kebaruan ide, yang secara tak langsung menunjukkan
kegamangannya sebagai calon pemimpin di negeri ini.
Hasil debat pun
tidak berkualitas, kecerdasan dipatahkan oleh kebodohan yang terselubung.
Sehingga rana diskursus ilmiah disajikan bahan lelucon bagi publik, perdebatan
yang minus elaborasi, penuh gimmick, rasionalitas terkikis dengan argumen yang tidak berbasis oleh data yang akurat (based
on data), serta model interaksi komunikatif yang tak elegan layaknya ksatria
perang yang sangat bernafsu untuk menghabisi lawannya.
Harapan publik
pupus dengan diskusi yang tidak edukatif; tak hanya gagal menghadirkan argumen
yang berkualitas, justru mengaburkan esensi dari sebuah debat sebagai suatu
arena yang dapat memberikan kesan positif dan mencerahkan mata hati publik.
Pertentangan, kritik, desas-desus tentang kemana negara ini akan dibawa, perlu
menggunakan pisau analisa politik yang bebas dari kontaminasi politik
kepentingan (sentiment), identitas dan politik adu domba (devide et impera),
untuk membedah setiap case yang ada atau mereproduksi sistim politik yang
berkarakter, sejuk dan damai.
Perdebatan
dibangun tanpa logika, minim substansi dan di luar konteks permasalahan (out of
the box), sehingga tidak ada korelasi dengan implementasi kebijakan saat ini
(real condition) dan kontras terhadap setiap peristiwa pelanggaran Hukum, HAM
berat masa lalu dan peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya hanya dianggap
angin lalu yang kemungkinan besar tidak dijadikan parameter dalam menghapus
potret buram pelanggaran HAM di Indonesia dan reformasi peradilan militer.
Tatkala kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya jadi jualan politik dan
isapan jempol belaka. Bagaimana semua itu bisa direalisasikan, jika pengakuan
hak atas hajat hidup orang banyak diabaikan tanpa melalui prosedur hukum dan
penyelesaian yang jelas.
Sikap geram
terhadap koruptor dan pemberantasan korupsi hanya sebatas ilusi optik yang tak
bertepi, ketika solusinya adalah dengan menjadikan segenap pejabat di Indonesia
kaya raya. Rakyat dengan jerih payah membayar pajak hanya untuk memperkaya para
pejabat negara, elit politik yang memposisikan diri mereka sebagai kaum
oligarki; supremasi hukum bagi mereka ibarat pedang bermata dua “Tajam ke bawah
dan Tumpul ke atas”. Istilah ini mungkin sudah lumrah di masyarakat Indonesia
saat ini bahwa, hukum di Indonesia terskesan diskriminatif. Praktik-praktik
penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat
legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial
sangat lemah.
Isu kesetaraan
gender menjadi sebuah pelecehan besar
bagi para penganjur studi feminisme dan
kaum aktivis perempuan. Mengapa? Karena substansinya melekat pada perdebatan
keterwakilan perempuan secara fisik; di saat kekerasan dan pelecehan seksual
kerap luput dari penegakkan hukum dan agenda reformasi hukum serta prolegnas.
Semakin tragis bagi para pejuang Aksi Kamisan;
alih-alih ini merupakan sebuah isu penting yang layak dapat tempat dalam
sebuah perdebatan untuk memilih pemimpin dan tidak boleh lekang pada kontestasi
elektoral semata yang sifatnya temporer. (Rls)
0 komentar:
Post a Comment