Penulis : Reinhard Saliama S.Farm
Mahasiswa Ilmu Forensik Pasca Universitas Airlangga
Forensik? Apa yang pertama kali terlintas dipikirkan kita? Sesuatu yang berkaitan dengan identifikasi mayat atau otopsi. Ya, persepsi ini telah terbangun dan diterima di seluruh kalangan masyarakat. Sebenarnya Forensik adalah kumpulan ilmu pengetahuan atau multidisiplin ilmu. Ilmu forensik merupakan aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dasar-dasar ilmu forensik sering kali digunakan oleh kepolisian untuk membuat terang suatu perkara hukum di pengadilan. Ruang lingkup ilmu yang menunjang ilmu forensik yaitu kedokteran, farmasi, kimia, fisika dan psikologi. Dalam perkembangan dan aplikasinya ilmu forensik terdiri dari cabang-cabang ilmu seperti, kriminalistik, kedokteran forensik, toksikologi forensik, odontologi forensik, antropologi forensik, psikiatri forensik, entomologi forensik, DNA forensik, Fotografi forensik, balistik forensik, ekonomi forensik dan masih banyak lagi.
Masih hangat di ingatan kita kasus penembakan oknum anggota Polda Maluku (Brigpol ERL) beberapa waktu lalu yang menewaskan seorang pemuda di Kota Ambon bernama Vlegon Pitris. Berdasarkan pengakuan saksi dan tersangka, terhadap apa yang dilihat dan dialami maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa oknum polisi tersebut melakukan penembakan sehingga menewaskan Vlegon Pitirs. Baik itu dengan unsur kesengajaan atau kelalaian. Namun untuk membuktikan benar atau salah suatu tindak kejahatan khususnya kasus penembakan harus dilakukan secara ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan.
Salah satu cabang ilmu forensik yang digunakan dalam penyelidikan kasus tindak kejahatan dengan senjata api adalah balistik forensik. Balistik ialah kajian terhadap perjalanan peluru di ruang udara dari senjata api pada sasaran tertentu. Balistik juga digunakan dalam membandingkan anak peluru yang ditemui di TKP dengan anak peluru pada senjata yang dicurigai, menentukan siapa pelaku penembakan dan jarak tembak.
Dalam dunia forensik kita mengenal Teori Locards Exchange Priniple (LEP) yang di kembangkan oleh Dr. Edmon Locard (1877-1966) dijelaskan bahwa “every contact leaves a trace”, dengan kata lain “setiap kejahatan yang terjadi pasti memiliki kontak baik secara langsung maupun tidak langsung dan pasti meninggalkan jejak”. Sama halnya dengan kejahatan pada umumnya, senjata api selalu meninggalkan jejak kejahatan atau bukti yang dapat menceritakan bagaimana kejadian itu terjadi dan siapa pelakunya. Pembuktian kasus penembakan dapat dilakukan dalam beberapa tahapan yang meliputi ilmu fisika dan kimia.
Pada prinsipnya pemeriksaan balistik atau senjata api meliputi pemeriksaan senjata api dan anak peluru. Ada beragam jenis senjata api baik itu rakitan atau pabrikan, laras panjang atau pendek, handgun, kaliber, single barrel atau double. Senjata api umumnya terdiri dari trigger (pemicu), slide, firing pin, barrel (laras), sedangkan anak peluru terdiri dari primer (pangkal peluru), propellant (mesiu), cartridge case (selongsong), dan lead core (anak peluru). Mekanisme senjata api secara singkat dimulai ketika slide ditarik (dikokang) maka secara mekanik peluru masuk ke kamar peluru, ketika penembak menekan pemicu (trigger) dan firing pin akan membentur dan menekan pangkal peluru (primer) sehingga membakar atau meledakkan propelan dalam peluru. Ledakan inilah yang melesatkan anak peluru dengan cepat melalui laras menuju sasaran.
Pada kasus penembakan, apabila barang bukti masih ada di TKP, maka harus dilakukan olah TKP terlebih dahulu (outdoor), sehingga dapat ditemukan barang bukti berupa anak peluru, selongsong, senjata api, lobang tembak masuk/keluar, bekas benturan, pantulan peluru, residu dan sidik jari. Pemeriksaan balistik dimulai dari barang bukti yang ditemukan di TKP dengan menggunakan alat-alat diantaranya comparison microscope, microprofile projector, micro meter caliber, shooting box, dan scanning electron microscope/EDAK.
Anak peluru yang ditemukan di TKP atau tubuh korban. Saat pemeriksaan mikroskopis akan dilihat goresan-goresan atau alur khusus menyerupai sidik jari senjata api. Anak peluru tersebut dibawa ke laboratorium forensik kemudian dicocokkan dengan pembanding dari anak peluru yang ditembakkan (pada shooting box) dari senjata yang dicurigai. Minimal 5 pembanding dari senjata yang dicurigai. Sidik jari senjata api tidak sama seperti sidik jari manusia. Sidik jari senjata api dihasilkan ketika anak peluru melewati laras senjata api. Dimana pada laras senjata api terdapat alur spiral (rifling) pada bagian dalam laras senjata. Alur spiral juga berfungsi sebagai penyeimbang anak peluru ketika di tembakan dengan memutar dan membentuk gaya aerodinamis, sehingga lebih stabil dan akurat.
Anak peluru dapat melaju melewati laras senjata dan mencapai sasaran dengan cepat terjadi karena adanya ledakan propelan atau mesiu pada peluru. Disini terjadi prinsip termodinamika dan efisiensi energi (efisiensi Carnot). Efisiensi sangat tergantung pada panjang laras senjata api. Sedangkan prinsip termodinamika dikatakan bahwa ledakan propelan akan menghasilkan gaya dorong yang sangat besar dan menghasilkan percepatan dan kecepatan yang sangat tinggi.
Ledakan propelan bisanya menghasil sisa pembakaran berupa gas dan residu yang kita kenal dengan gunshoot reside (GSR). Identifikasi pelaku kejahatan dapat dilakukan dengan mendeteksi keberadaan GSR. Partikel GSR dapat kita temui di permukaan tangan dan pakaian pelaku atau di sekitar sumber tembakan. Sehingga sangat mungkin dapat menjelaskan hubungan antara pelaku dan senjata api yang digunakan. Senyawa kimia dari GSR sebagian besar adalah nitrit dan nitrat yang secara kasat mata tidak dapat dilihat tanpa melalui serangkaian reaksi kimia dengan reagen tertentu. Pemeriksaan GSR dapat dilakukan dengan teknik swabbing menggunakan asam encer kemudian dilakukan nitrat test (reagen N-(1-Naphthyl)-ethylenediamine Dihydrochloride) untuk mengidentifikasi nitrit dan nitrat dari hasil pembakaran propelan. Pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan dengan Scanning electron microscopy (SEM) untuk melihat penyebaran partikel GSR dan juga menentukan konsentrasi dan komposisi kimia, misalnya pada pakaian pelaku saat kejadian serta pemeriksaan Atomatic Absorption Spectrofotometer (AAS). Pemeriksaan GSR juga dapat mengetahui pelaku menggunakan tangan kanan atau kiri pada saat kejadian. Kelemahan GSR yaitu hanya dapat bertahan di tubuh manusia kurang lebih 6 jam.
GSR juga dapat digunakan dalam menentukan jarak tembakan. Hal ini dapat dilihat dari konsentrasi dan penyebaran partikel GSR yang ditemukan di sekitar TKP. Semakin dekat senjata api ke target, secara teori semakin terkonsentrasi pola GSR. Sedangkan tembakan yang ditembakkan dari jarak yang lebih jauh akan menghasilkan pola GSR yang lebih luas. Namun penentuan jarak tembakan berdasarkan GSR hanya dapat memberikan perkiraan jarak yang terbaik.
Dalam kasus penembakan oknum anggota Polda Maluku beberapa waktu lalu apakah kita dapat menentukan apakah kejadian tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan atau kelalaian. Untuk membuktikan hal tersebut dapat dilakukan pemeriksaan senjata api khususnya pemicu (trigger). Tekanan pada trigger berhubungan dengan gaya yang dibutuhkan untuk menarik pelatuk (hammer) dan menembakkan senjata. Dalam beberapa kasus, ledakan senjata api terjadi akibat pelepasan trigger yang tidak di sengaja, sehingga dengan menghitung tekanan pada trigger dapat diketahui apakah penembakan terjadi dengan kesengajaan atau kelalaian.
Peran forensik dalam pengungkapan kasus kejahatan khususnya dengan menggunakan senjata api sangat mungkin dibutuhkan dalam penegakan hukum dan peradilan di Indonesia. Pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan sudah sepatutnya kita lakukan untuk memberikan keadilan kepada seluruh warga negara. (KT/RS)
0 komentar:
Post a Comment