Oleh
: Ibrahim Suneth
(Pemerhati
Masalah Politik dan Demokrasi)
Perjalanan
bangsa Indonesia untuk menjadi Negara demokrasi sudah dilalui beberapa era dan
generasi, mulai dari orde lama, orde baru, sampai saat ini masuk dalam era
reformasi. Pada era reformasi ini, sudah memasuki dekade kedua sejak tahun 1998
dengan ditandai peristiwa diturunkannya Presiden Soeharto saat itu.
Demikian pula
dengan masalah pemimpin negeri ini.
Secara historis, telah tercatat bahwa sejak Indonesia merdeka sampai
saat ini sudah berganti sebanyak 7 (tujuh) kali pergantian Presiden. Dari
ketujuh Presiden yang pernah memimpin negeri ini, masing-masing memiliki gaya
kepemimpinan yang beragam. Tidaklah mudah mencari jati diri bangsa Indonesia
dalam mencapai negara demokrasi yang sesuai dengan karakteristik dan kultur
keindonesiaan kita. Dalam arti bahwa bangsa kita dalam perjalanan menggapai
negara demokrasi yang ideal telah dilalui berbagai rintangan dan problematika
dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.
Pemilu memiliki
fungsi utama dalam hal sirkulasi elit yang teratur dan berkesinambungan. Sebuah
kepemimpinan yang lama tanpa dibatasi periode tertentu, dapat menjurus pada
pada kepemimpinan yang korup dan sewenang – wenang. Banyak contoh dalam sejarah
dunia yang memperlihatkan betapa kekuasaan yang absolut, tanpa pergantian elit
yang teratur dan berkesinambungan, mengakibatkan daya kontrol melemah dan
kekuasaan menjadi korup dan sewenang-wenang.
Pemilihan Umum
menurut beberapa paradigma dan kalangan merupakan sebuah agenda rutinitas yang
menghabiskan banyak anggaran. Anggapan tersebut berdasarkan pada pelaksanaan
pemilu yang sudah pernah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia belum mendapatkan
hasil yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Bahkan masyarakat berasumsi
bahwa pelaksaan pemilu dari tahun 1955 sampai 2014 ini belum bisa menghasilkan
pemerintahan yang sesuai diamanatkan dalam UUD 1945 yaitu mengenai tujuan
Negara, yakni terwujudnya masyarakat madani (civil society), kemakmuran dan
kesejahteraan masyakat, lahir dan batin, material dan spiritual.
Pelaksanaan
pemilu sebagai simbol pesta demokrasi terus menyisakan berbagai permasalahan
yang hadir setelah dilaksanakan, salah satunya adalah permasalahan sengketa
hasil pemilu, baik itu pemilu legislative maupun pemilu kepala daerah. Dari
masalah ini akhirnya menimbulkan adanya like and dislike diantara pendukung
maupun masyarakat, yang kemudian menciptakan ketidakharmonisan ditengah-tengah
masyarakat. Selain itu, pemilu dianggap sebagai sarana untuk melakukan tindak
pidana korupsi, karena pemilu di Negara kita masih sarat dengan adanya money
politic. Memang berbagai persepsi tersebut merupakan opini yang muncul di
masyarakat. Padahal secara kelembagaan Negara permasalahan pemilu yaitu
mengenai cost and benefit. Maksudnya adalah bagaimana pemerintah bisa
melaksanakan pemilu dengan anggaran yang sedikit tapi mampu menghasilkan output
pemilu yang bagus. Memang apabila dikaji dalam pelaksanaan pemilu serentak
2019, jika kita lihat dari segi kelembagaan Negara pemilu serentak merupakan
solusi yang pas untuk memangkas anggaran Negara dalam pelaksanaan pemilu.
Karena pemilu yang biasanya dilaksanakan sebanyak 3 kali, yaitu pemilu
legislatif, pemilu presiden, dan pilkada nantinya akan dilaksanakan dalam satu
kegiatan. Secara tidak langsung anggaran yang akan dipergunakan akan lebih
sedikit.
Bangsa Indonesia
akan menjalani babak baru praktik demokrasi dengan penyelenggaraan Pemilu
serentak 2019, yang terdiri dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden digabung
dengan pemilihan anggota DPR,DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam
sistem presidensial seperti yang dianut dalam sistem pemerintahan kita,
belumlah pas jika dilaksanakan sampai Negara kita menemukan konsep demokrasi
yang pas sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Idealnya sistem
presidensial harus dibarengi dengan meminimalisir jumlah partai politik, karena
sistem multipartai dapat menimbulkan kerentanan hubungan antara
eksekutif-legislatif. Realitas obyektif memang, bahwa pemilu masih dianggap
belum bisa menghasilkan pemerintahan yang efektif. Misalnya adanya gap dalam
pemerintahan, seperti pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, pemerintah
provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. yang dikarenakan perbedaan asal
partai yang mengusung, dan juga akibat perbedaan kekuatan peta politik di
masing-masing tingkatan pemerintahan. Dari berbagai persoalan dan permasalahan
akan mengkerucut untuk menjawab pertanyaan, apakah pemilu serentak 2019
merupakan solusi yang tepat dalam sistem pemilihan umum di Indonesia ?
Salah satu
perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah pemilihan umum.
Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut menentukan figure dan arah
kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu. Ide demokrasi yang
menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan
dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Maka ketika demokrasi mendapatkan perhatian
yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi
syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Tetapi pemilu yang
teratur dan berkesinambungan saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan
yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan sarana legitimasi
bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa, betapapun otoriternya pasti membutuhkan
dukungan rakyat secara formal untuk melegitimasi kekuasaannya. Maka pemilu
sering kali dijadikan alat untuk pelegitimasian kekuasaan semata. Cara termudah
yang dilakukan adalah mengatur sedemikian rupa teknis penyelenggaraan pemilu agar
hasil dari pemilu memberi kemenangan mutlak bagi sang penguasa dan partai
politiknya. Pemilu merupakan icon demokrasi yang dapat dengan mudah
diselewengkan oleh penguasa otoriter untuk kepentingan melanggengkan
kekuasaannya. Maka selain teratur dan berkesinambungan, masalah system dalam
penyelenggaraan pemilu adalah hal penting yang harus diperhatikan.
Pemilu serentak
pada tahun 2019 memang diprediksi memiliki kontradiktif dalam pelaksanaan.
Namun, jika berbicara mengenai manfaat secara kelembagaan seperti yang
dijelaskan diatas, yaitu dengan pelaksanaan pemilu serentak akan menghemat
anggaran Negara, kita sebagai warga negara wajib optimis dalam pelaksanaannya
nanti. Walaupun selama perjalanan dalam mencari jati diri sebagai Negara
demokrasi sudah dilewati bertahun-tahun dan berganti-ganti sistem, sebenarnya
tantangan terberat dalam pelaksanaan pemilu adalah bagaimana meningkatkan
partisipasi masyarakat. Saat ini masyarakat sudah antipati terhadap partai
politik. Masyarakat menganggap semua partai politik sama saja, orientasinya
hanyalah tentang kekuasaan, yang dipikirkan oleh partai politik saat ini adalah
berapa orang yang didudukkan di legislatif dan siapa yang akan diusung menjadi
calon kepala daerah ataupun presiden.
Padahal partai
politik memiliki empat peran dan fungsi, yaitu sebagai sarana komunikasi
politik, sebagai sarana kaderisasi, sebagai sarana sosialisasi politik, dan
sebagai pengatur konflik. Mereka lupa bahwa memiliki empat peran dan fungsi
tersebut. Sehingga dalam pelaksanaan pemilu maupun pilkada sangatlah gencar
menggunakan money politic. Apabila partai politik melaksanakan empat peran
tersebut, sebagai contoh dalam kaderisasi politik, belum ada partai politik
yang memberdayakan anggotanya, misalnya yang memiliki basic pengusaha difasilitasi
bagaimana dalam mengembangkan usahanya, yang memiliki basic peneliti/akademik
difasilitasi dalam pengembangan riset dan penelitan, begitu juga yang memiliki
ketrampilan difasilitasi dalam mengembangkan kreatifitasnya. Jika semua partai
seperti itu semua, masyarakat dengan sendiri akan tergerak masuk menjadi bagian
dari partai politik tersebut dan dalam pelaksanaan pemilu maupun pilkada sudah
tidak ada istilah politik uang.
Dewasa ini
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi, dan
bahkan saat ini ada tren baru yakni keterlibatan dan keterwakilan perempuan
dalam kancah dunia politik adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari
lagi. Akses dan partisipasi politik perempuan di setiap tingkatan pada lembaga
pembuat atau pengambil kebijakan adalah merupakan hak asasi bagi setiap
perempuan yang paling mendasar. Berdasarkan hak asasi tersebutlah, sesungguhnya
sangat banyak alasan mengapa begitu pentingnya melibatkan perempuan dalam dunia
politik. Baik itu perempuan sebagai pelaku yang terjun langsung dan menduduki
posisi atau jabatan di partai politik, parlemen dan birokrasi atau hanya
sekedar melibatkan kepentingan perempuan dalam ideologi Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 dijamin hak setiap warga negara dalam politik tanpa kecuali.
Realitas yang
ada dalam berbagai hambatan sistemik maupun kultural jelas menghambat kemajuan
peran perempuan untuk maju ke area publik, minimal untuk mewakili golongannya.
Transisi demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, membangkitkan
tuntutan yang lebih luas atas peningkatan kehidupan politik bagi setiap warga
negara. Dalam kaitan ini terjadi tarik menarik dan proses negosiasi yang ketat
antara ideologi politik dominan dengan aspirasi yang berkembang. Hal ini
menandakan masih adanya hegemoni kaum laki-laki untuk tetap menguasai di
parlemen. Dunia politik di Indonesia identik dengan dunia laki-laki. Hal ini
terjadi karena politik dianggap suatu kegiatan kekuasaan yang dianggap kotor,
penuh dengan intrik, sarat dengan kekerasan, dan tidak pantas dimasuki oleh
kaum perempuan. Politik menjadi suatu kegiatan yang identik dengan kekuasaan
yang bersifat negatif, kesewenangan, kekerasan, pengerahan massa dan kompetisi,
dimana kondisi-kondisi itu tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan
perdamaian.
Tren dan
Paradigma sosio politik begitu urgen untuk perempuan, tidak lain karena
perempuan adalah bagian mayoritas di
negeri ini, sedangkan hak-hak mereka sebagai warga negara yang sah belum
mendapat perhatian selayaknya, disamping itu mereka terus menerus dipinggirkan
didalam proses pembuatan keputusan. Partisipasi perempuan dalam politik secara
aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan terhadap permasalahan
politik sangatlah diperlukan. Repsentase perempuan di lembaga politik formal sangatlah
penting, hal ini dikarenakan sangat kecil peluang laki-laki yang bisa
memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang
dirasakan oleh perempuan itu sendiri.
Sejak
diberlakukannya pasal 65 Undang-Undang Pemilu No.12 Tahun 2003 tentang kuota
perempuan 30% pada pemilu merupakan angin segar bagi perempuan dalam dunia
politik untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun tantangan dalam
mewujudkan keterwakilan perempuan dalam dunia politik sangat sulit. Banyak kaum
perempuan dalam keikutsertaannya dalam politik hanya sebatas nama namun tidak
memiliki kewenangan yang penuh. Tantangan terberat adalah minat kaum perempuan
dalam dunia politik sangat minim dan juga larangan dari suami atau keluarga
sangat besar pengaruhya. Karena masih ada anggapan bahwa politik adalah suatu
kegiatan kekuasaan yang dianggap kotor, penuh dengan intrik, sarat dengan
kekerasan, dan tidak pantas dimasuki oleh kaum perempuan. Berbicara
keterwakilan perempuan dalam pemilu, memang tantangan terbesar adalah bagaimana
membuat politik itu sebagai seni, sebagai ajang untuk perang strategi dan
program, bukanlah sebuah kegiatan yang sarat dengan kekerasan, kotor, dan penuh
intrik, sehingga membuat para kaum perempuan ini memiliki minat langsung terjun
secara aktif dunia politik. Sehingga politik dipandang sebagai sesuatu yang
indah dan beretika.
Pelaksanaan
pemilu di Indonesia memang masih memiliki hambatan dan kendala yang cukup
signifikan. Permasalahan yang muncul itulah yang harus diperbaiki sebelum
pelaksanaan Pemilu serentak 2019. Pergantian sistem dan mekanisme pelaksanaan
pemilu bukanlah suatu solusi yang tepat bagi permasalahan yang ada. Karena
permasalahan yang ada saat ini bukanlah masalah parlement threshold ataupun
presidentsial threshold, tantangan yang utama adalah bagaimana mengembalikan
peran dan fungsi partai politik seperti yang dijelaskan di atas serta bagaimana
keterlibatan dan partisipasi publik yang lebih orisinil. Jadi partai politik
bukan hanya fokus memikirkan berapa orang yang didudukan di legislative dan
siapa yang akan dicalonkan sebagai kepala daerah atau presiden. Semoga banyak
solusi baru yang terpetik nanti setelah pemilu serentak 2019 terselenggara,
sebagaimana yang diamanatkan dalam UU nomor 7 tahun 2017. Sehingga perbaikan
demi perbaikan menuju demokrasi
Indonesia yang sesuai dengan keindonesiaan kita. Demokrasi yang humanis, dan
masyarakat yang sejahtera secara utuh. (KT//Rls/FS)
0 komentar:
Post a Comment