Jakarta, Kompastimur.com
Di tengah masa
kampanye pemilihan umum tahun 2019 ini, Pimpinan Pusat Korps Mahasiswa Gerakan
Pemuda Islam Indonesia (PP Kopma GPII) menggelar diskusi terbuka dengan
mengambil tema 'Konsekuensi Hukum & Dampak Negatif Kampanye Hitam di Media
Sosial' di kawasan Jakarta Pusat, Jumat (02/11/2018).
Nampak hadir
menjadi pembicara kali ini adalah Ardy Mbalembout SH M.H., C.L.A Ketua Kongres
Advokasi Indonesia (KAI) Jakarta, drg. Arief Rosyid, MKes (Ketua Umum Pengurus
Besar HMI 2013 - 2015), Lutfhi Hasanal Bolqiah (Mahasiswa Pascasapol UI) dan
Aditya Nugraha Iskandar SH (Pegiat Medsos)
Lutfhi Hasanal
Bolqiah (Mahasiswa Pascasapol UI) dalam diskusi mengatakan, dalih utama
penangkalan xoax yang dilakukan oleh negara adalah stabilitas politik, bukan
kebenaran. Negara tidak perduli dengan scientification debate mengenai
kebenaran, sejauh ini kebijakan negara kerapkali muncul dari determinasi
kepentingan tertentu bukan hasil riset.
"Saya ingin
husnudzon dan memandang negara sedang berupaya untuk menjaga stabilitas
politik, karena tentu saya tidak melihat keinginan negara untuk masuk dalam
perdebatan ilmiah tentang kebenaran", ungkap Luthfi.
Menurutnya,
negara dengan kepentingan stabilitas politik tidak pernah membuat hoax kita
semua setuju namun negara yang dimaksud haruslah tidak punya kepentingan dalam
kontestasi Pilpres yang akan berlangsung
Yang menjadi
masalah justru ketika negara, dalam hal ini saya sebut rezim, berkepentingan
dalam pilpres 2019.
Saya mungkin
dapat menerima dan hoax diperbolehkan dalam kerangka stabilitas seperti halnya
ayah yang berbohong demi kebaikan anaknya tetapi rezim tidak sesuci negara,
setiap rezim berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaan dan terpilih lagi.
"Oleh sebab itu, hoax yang muncul atas dasar untuk dipilih ulang tidak
bisa dibenarkan", sebut Luthfi.
Dia menegaskan,
jika sebuah rezim menolak pandangan yang berbeda hanya karena data yang berbeda
dan tidak pernah mendudukan metodologisnya, memberikan sosialisasi atau
penangkalan hoax akan mendorong rakyat untuk melakukan verifikasi terhadap
integritas lembaga pengolah data bukan pada dimensi variable dan
metodologisnya.
"Saat ini
menurut saya, sosialisasi negara untuk menangkal hoax masih dalam bentuk
propaganda, belum menyentuh pada metodologi atau variable datanya",
pungkasnya.
Sementara Ardy
Mbalembout SH M.H., C.L.A Ketua Kongres Advokasi Indonesia (KAI) Jakarta
mengungkapkan, pandangan hukum pidana yang pada awalnya menjadi Senjata
Pamungkas Terakhir (Ultimum Remedium) dewasa ini telah berkembang dalam
kampanye pemilihan umum sebagai Senjata Pilihan Utama (Primum Remedium).
Kampanye Hitam (memiliki perbedaan arti dengan Kampanye Negatif.
"Para
pemilih harus mengamati mana yang fiktif dan mana yang benar. Ini tentu juga
merugikan publik karena publik berhak mendapatkan berita yang benar dan
berdasarkan fakta. Mengumandangkan sebuah pesan yang tidak berdasar pada fakta
adalah pelanggaran terhadap hak publik", sebut Ardy.
Menurut Ardy,
berbeda dengan kampanye hitam, kampanye negative sangat diperlukan untuk
melihat trackrecord seseorang secara keseluruhan, sebagaimana layaknya
disampaikan secara factual, perlu dibedakan dengan kampanye hitam.
Perbedaan
mendasar antara kampanye hitam dengan kampanye negative adalah sebuah fakta dan
fiksi. Kampanye hitam sebuah fiksi atau tidak berdasar, sedangkan kampanye
negatif adalah sebuah fakta.
"Kegiatan
kampanye hitam (black campaign) menjurus kepada fitnah dan kebohongan tentang
lawan politik, sehingga ini dilarang oleh Undang-Undang. Sementara untuk
kampanye negatif (negative campaign) tidak dilarang dan tidak dihukum karena
memang berdasarkan fakta", tukas Ardy
Ia menambahkan,
adapun dasar hukum mengenai kampanye hitam yang digunakan di dalam peraturan
perundang-undangan yaitu berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan KPU Tahun 2018..
Dari sisi tindak
pidana umum, KUHP memiliki aturan tentang perbuatan kampanye hitam dan kampanye
negatif. Pandangan ancaman hukum pidana kampanye hitam di media sosial menurut
KUHP.
"Sebaiknya
kita menjauhi tindakan kampanye hitam karena selain merugikan publik juga akan
merugikan diri kita sendiri.
Kegiatan
kampanye harus mengedepankan program daripada mencari kelemahan lawan politik
maupun menyebarkan kabar bohong atau hoax", pungkasnya.
Selain itu drg.
Arief Rosyid, MKes Ketua Umum Pengurus Besar HMI 2013 - 2015 menambahkan,
fenomena berita hoax ini sudah sangat meresahkan. "Saya punya pengalaman
pribadi bahwa para penebar hoax ini bukan hanya datang dari mohon maaf yang
kurang berpendidikan tapi juga sekelas Profesor pun ikutan menjadi penebar hoax
ini. Sangat memprihatinkan Profesor ini seorang dosen maka efeknya juga akan
terasa sampai ke mahasiswanya, beber pemuda asal Makasar ini.
Kata Arif, dia
bersama teman-temannya bergabung dalam sebuah komunitas diskusi yang di beri
nama Muslim Anti Hoax sampai pada sebuah kesimpulam bahwa berita yang
berseliweran di medsos sudah seperti obrolan di warung kopi yanh bisa ngobrol
apa saja tanpa sadar bahwa hal ini memiliki dampak dan resiko hukum karena
jejak digital itu sulit di hapus.
"Nah tugas
teman-teman GPII ini sebagai intelektual muda muslim untuk memberi contoh
bagaimana seharusnya etika bermedsos bagi masyarakat apalagi dengan kondisi
kampanye Pilres 2019 yang mengerucut pada dua kandidat dengan persaingan sangat
ketat. Jika tak punya pengetahuan tentang suatu informasi jangan pernah
ikut.menyebarkan sebelum melakukan cek dan tabayun", tutup Arief.
0 komentar:
Post a Comment