Oleh
:Jamaludin Rumata
Sekretaris
Umum HMI Cabang SBT
SBT, Kompastimur.com
Amerika Serikat
telah jauh-jauh hari memprediksikan hal ini dan telah menyiapkan rencana
strategis jangka panjang untuk mengamankan kepentingannya di kawasan pasifik,
karena itu sejak tahun 2005 Amerika Serikat turut mendorong dirumuskannya
Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement (TPSEP) sebuah forum
perjanjian dagang trans-Pasifik yang kemudian diratifikasi oleh Brunei, Chili,
Selandia Baru, dan Singapura.
Perjanjian
dagang ini kemudian dikembangkan pada tahun 2010, dengan merumuskan Kemitraan
Trans-Pasifik (TPP). Trans Pacific Partnership (TPP) kemudian dirundingkan oleh
Australia, Brunei, Chili, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru,
Peru, Singapura, Amerika Serikat, dan Vietnam pada Agustus 2013 (Wikileaks,
2013).
Pada awal tahun
2016 kesepakatan ini ditandatangani dan hanya tersisa dua tahun lagi bagi
negara-negara yang terlibat untuk meratifikasi atau justru menolak perjanjian
dagang multinasional terbesar di abad 21 ini. Adapun Indonesia yang sebelumnya
berkali-kali menolak ketika diajak bergabung telah menyampaikan minatnya,
kemungkinan sebagai persiapan apabila rencana integrasi jalur Poros Maritim
dengan Jalur Sutra Maritim (Maritime Silk Road) yang digagas oleh China menemui
kebuntuan pasca rencana pembukaan Terusan Kra bergulir.
Skenario
membangkitkan geliat perdagangan melalui Samudera Pasifik sepertinya menjadi
pilihan rasional yang potensial untuk Indonesia kedepan, aspek geopolitik dan
geostrategis sangat menunjang posisi Indonesia sebagai penghubung (port) dari
Pasifik ke negara-negara di Asia Tenggara dan juga ke Asia Selatan dengan tetap
menjamin keberlangsungan rute dagang tradisional Selat Malaka meskipun Terusan
Kra sudah beroperasi.
Kepulauan Maluku
sebagai rangkuman zona limitasi akan memainkan peranan penting dalam jalur
perdagangan ini, itulah kenapa Alur Laut Kepulauan Indonesia III (ALKI III)
yang melintasi Samudera Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat
Ombai dan Laut Sawu benar-benar disiapkan dari segi sarana dan infrastruktur.
Aspek sejarah dalam konteks ini jika dihidupkan kembali akan segera menemukan
momentumnya, terlebih lagi apabila isu dagang ditindih dengan isu energi maka
momentum Kepulauan Maluku akan semakin besar dengan keberadaan Blok Masela
sebagai penyedia gas abadi yang beberapa tahun lagi akan dikelola secara
mandiri.
Letak geografis
Kepulauan Maluku baik di selatan maupun di utara sama-sama berpotensi sebagai
penghubung regional di mana kota-kota pentingnya sangat prospektif untuk
dijadikan sebagai kota-kota pelabuhan internasional, misalnya Ternate dan
Morotai di utara yang dapat memegang kendali pada koridor utara trans-Pasifik
dan menjadi penghubung antara Australia-Selandia Baru dengan Filipina serta
negara-negara seperti Chili, Meksiko, Peru, Amerika Serikat dan negara-negara
kecil di Samudera Pasifik dengan Jepang dan Korea hingga bahkan China. Selain
itu, pengembangan lebih lanjut pada sektor wisata bahari juga memiliki potensi
yang sangat besar disamping prioritas pembangunan ekonomi di sektor kelautan
dan perikanan.
Di sisi lain,
dinamika kebudayaan telah menjamin kesiapan dalam menyongsong era pasifik,
identitas orang-orang di Kepulauan Maluku sebagai masyarakat maritim yang
ditempa oleh sejarah yang berhubungan dengan perdagangan laut selama
berabad-abad adalah suatu keunggulan yang tidak dapat dinafikkan. Manuver
politik Indonesia kedalam Melanesian Sparhead Group (MSG) yang merupakan forum
etno-politik negara-negara kecil di Pasifik juga dapat dijadikan sebagai upaya
simultan dalam merebut kembali pengaruh di kawasan Pasifik yang selama ini
dianggap bukan apa-apa.
Itulah kenapa
mulai saat ini proses rekulturasi dan akulturasi budaya laut sangat perlu
dijaga atau bahan dikembangkan oleh pemerintah daerah secara bersama-sama
dengan masyarakat diseluruh wilayah ini untuk mengingatkan, menyadarkan, dan
mendorong masyarakat memahami bahwa laut dan pulau-pulau adalah bagian dari
hidupnya yang memberikan. (KT/FS/OPINI/Rls)
0 komentar:
Post a Comment