(suatu
analisis terhadap stabilitas dan
prospek demokrasi lokal)
Penulis: Olifia Hukunala, S.sos
|
Salah
satu prinsip dasar bernegara yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah paham Kedaulatan rakyat sesuai Undang – Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen yang kemudian menjadikan rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, bahwasanya
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pasca Gerakan Reformasi 1998
seiring dinamika politik bangsa yang terus mengalami perkembangan, melahirkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai dasar pijakan implementasi pemilihan kepala daerah
secara langsung, umum, bebas dan rahasia
sebagaimana pemilihan legislatif untuk memilih DPR, DPRD dan DPD. Hal ini
menunjukan bahwa rakyat telah menggunakan haknya untuk turut menentukan
pemimpin elalui proses demokrasi di aras lokal.
Istilah
Demokrasi sendiri menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Disini menggambarkan bahwa betapa rakyat memiliki
peran stategis dalam menentukan masa
depan sebuah negara penganut paham demokrasi. sedangkan pemikiran Samuel P. Huntington, demokrasi adalah keputusan
kolektif yang paling kuat dalam sejarah sebuah sistem melalui pemilihan umum
yang adil, jujur dan berkala yang
didalam sistem itu para calon bebas
bersaing untuk memperoleh suara.
Mencermati
pemikiran Abraham Lincoln diatas dengan
jelas bahwa demokrasi menempatkan rakyat sebagai kekuatan strategis, yang berperan
menentukan pemimpin baginya, pemimpin yang berasal dari rakyat, untuk
memimpin rakyat karena rakyat tidak mampu untuk mengatur dirinya maka rakyat
pun berhak memilih pemimpin yang akan melindungi rakyat, menciptakan rasa
aman, mampu menciptakan kesejahtran melalui proses pemilihan yang
demokratis. Namun apakah esensi
demokrasi melalui pemilihan umum hanya sampai pada bagaimana rakyat menggunakan
haknya untuk memilih pemimpin/kepala
daerah dengan asumsi bahwa demokras dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat
telah terpenenuhi ? disisi lain praktik – praktik money politic, black campygn,
keterlibatan ASN, isu SARA dan politik Identitas yang berujung konflik, jika demikian bagaimana menciptakan stabilitas demokrasi yang
dinamik?
Sistem demokrasi melalui pilkada langsung
menapaki usia empat belas tahun (2004 - 2018), dalam kurun waktu tersebut Indonesia dimata dunia internasional mengakui
pelaksanaan sistem demokrasi dan dijadikan contoh bagi negara lain. Dalam implementasi pemilihan umum tidak
begitu menyenangkan bila di Flassbak
setiap momentum Pilkada langsung masih meninggalkan jejak hitam, Pilkada yang
diwarnai dengan isu Sara (Suku, Agama, Ras), konflik, Money
Politik dan menggunakan isu
identitas memilih dengan motif etnis,
suku tertentu bukan karena kemampuan, kapability,
knowledge yang mumpuni sebagai
ukuran kelayakan menjadi pemimpin kepala darerah. sehingga yang tidak
mencerminkan demokrasi yang dinamic.
DEMOKRASI
LOKAL MELALUI PILKADA SERENTAK
Saat ini Indonesia mengalami perkembangan demokrasi melalui
pelaksanaan pilkada serentak sebagaimana
diamanatkan dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 215 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang – Undang Nomor 1 Tahun 20014 mengenai
pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang – Undang yang bertujuan untuk menciptakan penyelengaraan pemilu yang efisen dan
efektif, memperkuat derajat keterwakilan antara masyarakat dengan kepala
daerahnya serta menciptakan pemerintah daerah yang efektif dan efisien dalam
rangka menegaskan sistem pemerintahan
daerah.
Pemelihan
umum kepala daerah serentak, untuk pertama kali dilaksanakan pada Tahun
2015 dengan melibatkan 254 Daerah
otonom, yang terdiri dari atas 34 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota, dan Pilkada serentak pada tahun 2017 menyertakan 101 daerah otonom yang terdiri dari 7 provinsi, 76 kabupaten ,
18 kota. Sedangkan pilkada serentak 2018 yang berlangsung 27 juni 2018 yang terdiri dari 17
provinsi, 154 kabupaen/kota.
Provinsi Maluku adalah salah satu dari 34 provinsi yang melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak
dari Tahun 2015 yang melibatkan 4 kabupaaten/kota yakni kabupaten Buru Selatan,
Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku Barat Daya, dan Kepulauan Aru, 2017 diantaranya Kota ambon, Kabupaten Buru, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram
Bagian Barat, Maluku Tenggara Barat, dan Tahun 2018 di antaranya pemilihan Gubernur Wakil Gubernur yang akan
dilaksanakan pada 27 Juni secara
serentak. Pilkada sebelumnya berlangsung cukup kondusif tetapi tidak juga
terlepas dari berbagai perhelatan politik yang berujung konflik, dan indikasi –
indikasi money politk, dan isu Political
Identity, black Campign, keterlibatan ASN dan peyelenggra pemilu yang tidak profesional.
Provinsi Maluku Sebagai Daerah Dengan Indeks
Kerawanan Pilkada Tertinggi
Provinsi maluku yang terdiri dari 9 kabupaten dan dua kota, dalam pelaksaanaan pilkada
serantak 2015 tercatat sebagai provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi
nomor peringkat 1 (satu), Sebagaimana
tertera pada tabel berikut :
Tabel
diatas secara jelas menggambarkan fenomena
pilkada serentak dimaluku yang dinilai berjalan tidak kondusif, salah satu kasus misalnya pemelihan
kepala daerah serentak yang juga berlangsung di kabupaten Buru Selatan
yang berujung konflik, disinyalirr isu
SARA, dan Politik identitas.
Contoh Kasus : Pemelihan Kepala Daerah
Di Kabupaten Buru Selatan Tahun 2015
Pilkada serentak yang di selenggarakan pada tanggal 9 Desember
2015 di Kabupaten Buru Selatan dengan dua
calon Bupati danWakil Bupati Buru Selatan, Rifay Fatsey sebagai calon Bupati
dan Anthon Lesnussa sebagai calon Wakil Bupati (HIKMAT) dengan nomor urut 1,
sedangkan pasangan nomor urut 2 Tagop Sudarsono Solisa sebagai calon Bupati dan
Ayub Seleky sebagai calon Wakil Bupati (TOP-BU).
Sebelum tanggal pencoblosan pasangan nomor urut 1 yang sebelumnya
maju dengan calon Hakim Fatsey sebagai bakal calon Bupati meninggal dunia pada
Hari Selasa (15/9/2015). Komisi Pemilihan Umum (KPU) Buru Selatan kemudian
mengajukan agar digantikan dengan calon yang baru, Hakim Fatsey dan Anthon
Lesnussa ditetapkan KPUD sebagai calon Bupati dan calon Wakil Bupati Buru
Selatan dengan dukungan dari gabungan kualisi Partai Gerindra dan PKS, Tagop
Sudarsono Solissa dan Ayub Saleky sebagai petahanan yang didukung gabungan
koalisi besar yakni PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, Hanura dan PPP. Agar dapat
melanjutkan kontestasi pilkada Kabupaten Buru Selatan koalisi Grindra dan PKS
menggantikannya dengan Rifay Fatsey yang merupakan anak kandung Hakim Fatsey
sendiri.
Konflik Pilkada Kabupaten Buru Selatan dimulai dengan isu-isu
masyarakat Kecamatan Ambalau yang menginginkan putra daerah yang memimpin Buru selatan
bukan orang luar, meskipun isu-isu ini telah dibarengi dengan beberapa tindakan
fisik terhadap pendukung pasangan Tagop dan Ayub (TOP-BU). Penolakan masyarakat
Ambalau juga didukung oleh tokoh adat setempat dan pada ini menjadi legitimasi
bagi mereka untuk melakukan kekerasan terhadap pendukung yang bersebrangan.
Konflik pada tanggal pemilihan 9 Desember 2015 dengan hasil dari kontestasi
pilkada yang dimenangkan pasangan nomor 2 TOP-BU kembali terpilih mengalahkan
HIKMAT, dampak dari kekalahan itu yakni, pada aksi perusakan rumah pendukung
pasangan nomor urut 2 (TOPBU), dari
pendukung pasangan nomor 1 (HIKMAT) terjadi pada tiga desa di Kecamatan Amabalau yakni Desa Selasi, Elara dan Siwar, 30 rumah
pendukung TOP-BU rusak berat dan juga disertai pembakaran rumah. Aksi fisik ini
bermula ketika proses rekpitulasi suara yang di lakukan di Kecamatan Ambalau
yang berakhir pada Senin (14/12/2015) pukul 18.47, paska penghitungan suara
yang dilakukan oleh Panitia Pengawas Kecamatan (PPK) dengan hasil HIKMAT yang
mengungguli TOP-BU di Kecamatan Ambalau dengan perolehan suara 5.609 untuk
HIKMAT dan 1.366 TOP-BU. Tetapi dari hasil rekapan suara PKK secara keseluruhan
TOP-BU yang mengungguli HIKMAT. Perusakan dan pembakaran rumah diakukan di
malam hari pukul 21.00,2 dampak dari kejadian perusakan dan pembakaran rumah
ini mengharuskan pendukung pasangan TOP-BU menggungsi ke Ibu Kota Kabupaten
Buru Selatan, Namrole.
Sesuai hasil tabulasi data KPU Kabupaetn Buru Selatan
maka Rifay Fatsey, SSTP, MPA dan Drs. Anthon Lesnussa, memperoleh: 12.323 Suara
(40,01%) Tagop Sudarsono Soulisa, SH., MT dan Ayub Seleky, SH., MH Perolehan:
18,478 Suara (59.99%).3 Rentetan proses politik yang terjadi pada Kabupaten
Buru Selatan, dimulai dengan pencalonan kedua bakal calon Bupati dan Wakil
Bupati yang dibarengi dengan penolakan masyarakat Kecamatan Amabalau terhadap
Tagop-Buce dan upaya represif terhadap pendukung nomor urut dua, yang berdampak
pada perusakan dan pembakaran 30 rumah pendukung pasangan lainnya, tidak
berhenti disitu saja, perusakan rumah kembali dilanjutakn ketika pengumuman
sengketa pilkada pada tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) dan sidang paripurana
Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD), dengan dikelurakan beberapa suarat edaran
oleh pemerintah, beberapa kelompok tertentu masih belum menerima untuk berdamai
terutama pada pihak nomor urut 1. Meskipun upaya penyelesaian telah dilakukan
untuk menerima tetapi masih tetap ada penolakan.
Konflik ini terjadi karena kuatnya sentimen
primordialisme, dan etnosentrisme
menjadi bahan bakar yang bisa meledak saat terjadi konflik pilkada,
kemudian konflik Pilkada yang terjadi didasari oleh rasa primordialisme yang
tinggi, terutama pendukung pasangan HIKMAT. Tulis Loilatu). Contoh kasus pemilukada 2015 di Kabupaten Buru Selatan adalah salah
satu dari sederat persoalan yang turut
mewarnai pilkada serentak pertama kali
di Maluku.
Dinamika pilkada yang hampir sama juga terjadi pada tahun 2017, di
beberapa kabupaten dengan isu dan
permasalahan yang tidak berbeda jauh. Yang pada akhirnya harus sampai dimeja hijau misalkan
penyelnggaraan pemilu kepala daerah di
Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang
mengajukan permohonan perselisihan ke Mahkamah konstitusi sebanyak dua kali.
PROYEKSI IKP DAN STABILITAS PILKADA 27 JUNI 2018
Tingkat
kerawanan pemilukada serentak dari tahun
2015 yang menempatkan prrovinsi maluku pada peringkat satu, Diproyeksikan akan
berulang pada pemilukada serentak 2018, sebagaimana
tertera pada tabel berikut :
Sumber data : BAWASLU/ tabel diolah
Tabel
diatas memperlihatkan dengan jelas bahwa Peringkat 1 (satu) ditahun 2015, masih berpeluang
terjadi karena perubahan tidak begitu signifan dalm pengertian bahwa dari
peringkat satu ke peringkat dua tingkat
kerawanan teringgi tidak menunjukan sebuah kemajuan, melainkan masih dalam
keadaan yang stagnan atau dengan kata lain perubahan yang semu. Mengapa ? dikatakan berpeluang terjadi karena fenomena
yang berkembang masih berikisar pada isu
SARA, politik identitas, keterlibatan ASN, bahkan Politik (money politk) dan kampanye – kampanye yang pada akhirnya akan
memicu konflik.
Jabatan
politk termasuk sumbebr daya (resource) yang
terbatas dan strategis sehingga tidak
jarang menimbulkan konflik dalam usaha mencapai puncak kekuasaan, kekuasaan
juga begiu menggiurkan, kekuasaan dekat dengan kekayaan maka pilkada sebagai sebuah ajang kompetisi sekaligus kontestasi dalam rangka menetukan pemimpin daerah, secara intrinsik memilki potensi kerawanan
tinggi.
Kerawanan
dalam pemilu bukan hanya mengganggu proses pemilu namun juga dapat memicu perubahan proses
penyelenggraaan menjadi penuh
konflik dan kekerasan. Kata kerawanan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
diartikan sebagai mudah menimbulkan gangguan keamanan atau bahaya; gawat”
sementara dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dimaknai sebagai segala hal yang berpotensi menggangggu atau
menghambat proses pemilu yang demokrratis” kerawanan pemilu didentifikasi
Robert Dahl, kemudian dimensi penyelanggara pemilu.
IKP
sendiri adalah suatu pedekatan untuk menyususn proyeksi potensi kerawanan
pemilu berdasarkan data/peristiwa yang
sudah terjadi (Post Factum) dngan
demikian dapat dilakukan analisis
terhadap kondisi terkini daerah
dengan pertimbangan tahapan pemilu (time series). Dengan Indeks Kerawanan
Pilkada (IKP) tertinggi di atas tentu
tidak mencerminkan kondisi
stabilitas dalam demokrasi, dinamis
yang terarah dan teatur dalam pengertian bahwa belum
ada kemajuan secara substansi dari implementasi pemelihan langsung,
yangg ada hanya sekedar mekanisme prosedural sehingga
banyak kalangan yang mempertanyakan arah dan tujuan dari reformasi yang melahirkan perubahan dalam sistem
pemelihan umum secara langsung.
Stabilitas
pilkada yang maksud adalah kemampuan
melaksanakan pemelihan umum
secara tertib dan terarah. Dalam pengertian bahwa stablitas pilkada
langsung kiranya membawa sebuah perubahan yang
tertib dalam pelakasanaannya sesuai dengan nilai nilai demokrasi, yakni
jujur adil, menghargai kebebsan setiap individu, meminimalisirr potensi
konflik, menghindari (Money Politic).
adalah bentuk stablitas demokrasi yang
dinamis bukan stabilias semu yang mempertahankan status Quo.
Konflik
memang tidak bisa dihindari sebab konflik dalam demokrasi adalah sebuah
keniscayaan, namun konflik perlu dikelola melalui konsensus untuk membangun
demokrasi. Dengan demikian perlu regulasi sistem untuk mengatur jalannya pemilu
yang demokrastis menciptakan stabilitas pilkada dengan yang sehat
dan tidak ada kekerasan (transisi
politik secara damai). Sebab Pilkada serentak 2018 dianggap
sebagai miniatur pemelihan presiden di
2019, karena dalam pilkada 2019 terdapat
daerah – daerah yang yang memilki lebih dari 70% DPT nasional seperti
gabungan DPT jawa timur, jawa
tengah dan jawa barat. Dan bukan hanya
itu, maluku sebagai salah satu daerah yang otonom yang rawan potensi pilkada
tinggi maka dIperlukan kerja sama semua lapisan atau stakeholdeer dengan strategi penanganannya sebagai berikut :
1. Kepada
peserta (parta politik maupun team Independen) agar melakukan kampanye bersih
menghindari penggunaan isu SARA, politik
uang, pelibatan ASN, dan isu politik
Indentitas.
2. Aparat
penegak hukum harus memebri kepastian
hukm dan perlidunan terrhadap
penyelenggra pemilu dari potensi tindak
kekerasan, dan kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya secara bebas adil
dan mandiri terutama terhindar dari kekerasan fisik,
3. Peran
Civil society dalam mengawal proses pilkada, sangat penting
untuk meminimalisir potensi kecurangan yang terjadi dengan
melaporkan kepada penyelenggara pemilu.
4. Independesi
media, dengan mengedepankan kode etik jurnalis dan penyiaran agar pilkada
berjalan secara jujur, adil dan
demokratis, dan tidak menyebarkan isu – isu sensitif yang memiu konflik di masyarakat.
5. Memastikan
integritas dan profesionalitas dari penyelenggara pilkada, agar melakukan tugas
dan fungsinya secara baik.
Eksistensi
demokrasi melalui pemelihan umum hanya dapat tercermin ketika minimnya potensi
kekerasan sehingga dapat mempromosikan demokrasi lokal, selain menjadi baik
secara normatif juga memberi manfaat keamanan (Security). Jika demkian, Bagaimana dengan pilkada Maluku yang
memiliki indeks kerawanan
tertinggi ? apakah tercipta stabilitas demokasi
Lokal ?
Semoga !!!
Semoga !!!
0 komentar:
Post a Comment