Jombang, Kompastimur.com
Agama dan
politik tidak dapat dipisahkan sebab politik adalah bagian integratif dari
ajaran agama Islam. Meski demikian, dalam Islam tidak dibenarkan adanya
politisasi agama.
Politisasi agama,
seperti memanfaatkan simbol agama dalam berpolitik, merupakan hal terlarang. Apalagi,
tujuan dan aktifitas berpolitiknya tidak terkait sama sekali dengan tuntunan
politik agama
Demikian
terungkap dalam Seminar Nasional “Mencari Kesepakatan tetang Makna Politisasi
Agama” yang digelar di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Minggu
(4/3/2018).
Dewan Kehormatan
Ikatan Cendekiawan Musim Indonesia (ICMI), Fuad Amsyari, yang tampil sebagai
narasumber menjelaskan, dalam Islam, politik menempati peran yang cukup penting
bagaikan saudara kembar yang saling membutuhkan.
Dalam
berpolitik, sebut dia, Islam juga menjadi pijakan utama. Ibarat dua sisi mata
uang, keduanya memang mustahil untuk dipisahkan.
Pentingnya
posisi politik, kata Fuad Amsyari, bahkan diletakkan hanya satu garis di bawah
kenabian.
“Yang menjadi pertanyaan selama ini adalah, apakah di dalam islam
terdapat politik dan mengajarkan politik,” ujarnya.
Dikatakan, aspek
politik dari Islam berasal dari Al-qur’an dan Sunnah, sejarah perjalanan Islam
dan elemen gerakan politik baik di dalam ataupun di luar Islam.
Dalam Islam,
jelas Fuad, antara agama dan politik terdapat sebuah perbedaan pendapat dalam
memahami sumbernya, yaitu al-Qur’an dan as- Sunnah.
Lepas dari pro
dan kontra antara yang sepakat dan tidak, lanjut dia, yang jelas Islam tidak
bisa lepas dari sebuah tatanan kehidupan bernegara.
“Tugas kita
sebagai umat islam mengidentifikasi apakah didalam islam ada politiknya apa
tidak. Menurut saya, justru melalui proses politiklah rasul menjadi kepala
Negara Madinah hal ini sudah menjelaskan kalau memang memberikan ajaran
politik,” tambahnya.
Ditandaskan,
bagi agama Islam tidak ada batas antara agama dan politik karena politik adalah
bagian integratif dari ajaran agama islam.
Namun, yang
terlarang dalam agama Islam adalah politasi agama dalam makna memanfaatkan
simbol agama dalam berpolitik, padahal tujuan dan aktifitas berpolitiknya tidak
terkait sama sekali dengan tuntunan politik agama.
Selain itu, Fuad
menambahkan, politisasi itu adalah mengkait-kaitkan sesuatu dengan politik yang
namanya sesuatu itu tidak ada hubungannya dengan politik
“Mengelabuhi
orang yang beragama untuk kepentingan politik itulah politisasi agama dalam
pandangan Islam”, sebut Fuad.
Sementara itu, Prof
Masdar Hilmy PhD, Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya mengatakan, ada
kapitalisasi agama dalam rezim demokrasi saat ini.
“Coba lihat
nanti gerakan 212 itu ujungnya seperti apa? 6 sampai 7 juta orang dengan
kekuatan yang luar biasa, bila kita jaga sedemikian rupa supaya terhindar dari
politisasi itu adalah sesuatu yang sangat sulit", sebut Masdar.
Menurutnya,
energi ekonomi dan politik yang berlabel syariah atau berlabel politik Islam
tetapi kita tidak bisa menjamin kiprah mereka diranah politik akan berujung
baik, siapa yang bisa menjamin?
The Family
Muslim Cyber Army siapa yang bisa mengontrol kelompok-kelompok seperti ini,
yang ternyata menjauhkan para pemimpin dari rakyatnya.
"Yang
paling menjebak adalah politisasi agama dalam konteks aspirasi iman kedalam
ruang politik. Saya meyakini bahwa memilih pemimpin muslim itu adalah iman
saya, ini yang paling menjebak", tegas Masdar.
Seminar Nasional
“Mencari Kesepakatan tetang Makna Politisasi Agama” yang digelar di Pesantren
Tebuireng, Jombang, dihadiri Pengasuh Pesantren Teubireng KH. Salahudin Wahid
(Gus Sholah). Tampil sebagai pembicara, diantaranya, Dewan kehormatan ICMI
Pusat, Fuad Amsyari, serta Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya,
Masdar Hilmy. (KT-Rls)
0 komentar:
Post a Comment