Yakob Godlif Malatuny, M.Pd
Kompastimur.com
Rupanya benda ajaib (televisi,
komputer, telepon genggam, dan elektronik game) yang dahulunya
diharapkan sebagai upaya penerangan, pencerdasan, dan hiburan, tak lagi begitu
dipercaya sebagai media yang netral, melainkan sarat mengelabui kita dengan
muatan nilai-nilai yang mengemas kekerasan dan tak menaruh hormat pada
norma-norma kehidupan.
Kekhawatiran meningkatnya kekerasan
ini telah menjadi realitas seperti yang dilaporkan banyak pengamat, bahwa
generasi yang diistilahkan “kids zaman now” telah mengidap penyakit baru yang
mematikan. Grossman menyebutnya penyakit AVID (Aquired Violence Immune
Deficiency) yang diartikan sebagai penurunan kekebalan terhadap kekerasan.
Memang benar kata Profesor Dadang
Supardan, desentisasi terhadap kekerasan dan warga yang bersedia menerima
gambar kekerasan itu sendiri telah memperburuk publik kian pathologis. Beberapa
anak bangsa di kota-kota sudah tak merinding lagi melihat temannya bertaburan
terlibat tawuran dengan melempari dan merusak sekolah dan fasilitas umum,
sampai mencederai bahkan membunuh sesamanya.
Di satu sisi, untuk proses
desentisasi ini menurut hasil riset Profesor Kline, bahwa hanya dibutuhkan
waktu satu jam saja, untuk memulai merasakan efek desentisasi. Jadi dalam waktu
satu jam siapa saja yang mengoperasikan elektronik game seperti Play
Station (PS) dengan tayangan-tayangan kekerasan, akan benar-benar merasa
kebal dan secara emosional sudah tidak merasakan kasihan lagi, selain puas dan
senang menyaksikan adegan-adegan kekerasan sekalipun itu hanya parodi.
Riset serupa yang dilakukan Sissela
Bok, penulis buku Mayhem bahwa desentisasi yang disebut sebagai compassion
fatigue atau “keletihan” yang membuat kita tidak sanggup lagi merasa
terharu maupun menaruh rasa belas kasihan. Kemampuan untuk berempati, merasa
bertanggung jawab atas keselamatan orang lain serta berupaya untuk membantu
mereka, menjadi tumpul serta melemah sejak pengalaman itu diperoleh (Naisbitt,
2001; Supardan, 2003.).
Di sisi lain, bila kita kembali pada
ingatan, beberapa orang tua, pemuda, dan anak bangsa tanpa ada rasa belas
kasihan terhadap korban tragedi sekitar makam Mbak Priok yang sudah
terkapar tiga orang satpol pp yang tak berdaya, tetap dihantam, dihajar, dan
diinjak-injak. Kemudian tragedi-tragedi kekerasan pada beberapa sekolah yang
mencuat ke permukaan dalam satu dasawarsa terakhir di tanah air. Sang agresor
layaknya harimau lapar melahap mangsa, tanpa tersisa rasa kemanusiaan walaupun
lawan sudah tak berdaya.
Ironis sekali, di jaman sekarang yang
mestinya lebih beradap ini kita flasback, kekerasan dan kekejaman
langsung dapat kita saksikan demikan marak di jalanan maupun tanyangan layar
kaca. Tak ubahnya kita kembali ke jaman barbar, sadis dan mengerikan
meniru pose pembunuhan ibarat yang terjadi oleh Mickey, bintang dalam
film favorit Natural Born Killers tentang tembak menembak antar geng di
depan sebuah sekolah, Buffy the Vampire Slayer pengisahan pembunuhan
massal, Idle Hands yang menampilkan adegan seorang sakit jiwa menyerang
para pelajar di sebuah pesta Hallowen di SMA (Naisbitt, 2001). Inilah potret
wajah segelintir merebaknya pengidap kekebalan terhadap kekerasan, rasa
kasihan, dan keharuan dengan penderitaan orang lain sudah sirna.
Panacea (Obat Mujarab)
Meski penyakit AVID terus mewabah di
kalangan anak bangsa, namun kita tak perlu pesimis. Sebagai bangsa yang besar,
kita memiliki panacea untuk mematikkan penyakit AVID agar di masa
mendatang keluhuran budi anak bangsa tak terkubur dalam jurang kebinasaan.
Penting diambil beberapa langkah
bijak berikut. Kesatu, diperlukan komitmen dan keberanian untuk
mematikkan penyakit AVID. Dalam wilayah pendidikan, semua pendidik berkomitmen
mengimplementasikan beragam program pendidikan karakter secara efektif dan
efisiensi, lebih-lebih adanya keberanian dari pendidik untuk menegakkan aturan
tanpa tak pandang bulu, dan memberi sanksi bagi pelajar yang melanggar aturan
tanpa berat sebelah.
Kedua, kegotong-royongan dan kesukarelaan
warga adalah komponen pendukung yang perlu dilibatkan untuk mematikkan penyakit
AVID. Alih-alih kekerasan acap kali mencuat ke permukaan dan saksikkan oleh
mata warga. Warga mesti rela untuk turun tangan bersama mencegah bila ada aksi
kekerasan sementara berselancar di ruang publik. Tindakan bersama-sama atas
dasar sukarela dari warga bisa menjadi panacea untuk mematikkan
kekerasan di antara anak bangsa.
Ketiga, pemerintah, pemilik media massa, dan
para jurnalis merupakan organ-organ yang paling bertanggung jawab melakukan
pengawasan terhadap beragam tayangan di layar kaca yang berwarna kekerasan
mengingat kognisi khalayak turut dibentuk oleh beragam tayangan di layar kaca
(Neumann, 1993; Suryadi, 1999). Jika generasi ini kerap menyaksikan beragam
tayangan di layar kaca yang berwarna kekerasan, maka kata Prasetiyo (2016)
sangat disayangkan potensi besar mereka terbuang sia-sia bahkan bisa
menimbulkan irreversible dagame atau kerusakan yang tidak dapat
dipulihkan.
Para pembaca yang terhormat, separah
apapun penyakit AVID (Aquired Violence Immune Deficiency) atau penurunan
kekebalan terhadap kekerasan yang diidap anak bangsa pasti bisa disembuhkan
oleh panacea (obat mujarab) seperti halnya kebaikan yang selalu berjaya
atas keburukan apapun. (KT-Rls)
0 komentar:
Post a Comment