Asep Sholahuddin
[Ketua Bidang Pembinaan Anggota
PB HMI Periode 2016-2018]
Kelahiran Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) adalah sesuatu yang patut dibanggakan. Organisasi yang lahir pada 5
Februari 1947 ini berpijak pada landasan spiritual keagamaan yakni agama Islam.
HMI lahir dan menjadi medium untuk menegakkan spirit Keislaman di tengah-tengah
kondisi keberagamaan yang minus penghayatan. Perasaan minder, tidak percaya
diri dan terkikisnya kebanggaan sebagai muslim – utamanya di kalangan
mahasiswa, dimana organisasi ini menyasar– masih menjadi problema tersendiri.
Salah satu yang diperjuangkan
organisasi mahasiswa Islam tertua ini waktu itu, pertama-tama, adalah membangun
dan meneguhkan pemahaman dan penghayatan agama. Fase awal ini juga dikenal
(bila kita membaca sejarah HMI) sebagai ‘fase konsolidasi spiritual’. Mengapa
fase ini penting? Praktik-praktik keagamaan yang kosong dari kedalaman
pemahaman dan penghayatan itu hanya akan melahirkan persoalan. Setidak-tidaknya
persoalan itu tergambarkan melalui fenomena ‘kejumudan’ dan ‘kemandegan’ yang
melanda sebagian besar umat Islam Indonesia. Mereka beragama. Tetapi
keberagamaan mereka seolah berhenti di tataran ibadah belaka. Ada keengganan
(atau mungkin juga kesulitan) menerjemahkan spirit atau cita-cita keagamaan
kedalam sesuatu yang memiliki nilai guna (fungsional) bagi dirinya secara
khusus atau kepada masyarakat secara umum.
Itu sebabnya, kondisi ini
melahirkan – meminjam bahasa keren kekinian – ‘kegalauan’ di kalangan pemikir
keagamaan. Di sebuah Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta, Lafran Pane
merasakan kondisi ‘kegalauan’ ini. Tak tinggal diam, dia berdiskusi dengan
tokohtokoh penting yang saat itu menjadi pengajar di STI seperti Abdul Kahar
Muzakkir, M. Rasjidi, Fathurrahman Kafrawi, Kasman Singodimedjo, dan Prawoto
Mangkusasmito. Dia menyerap berbagai pemikiran mereka. Melalui dorongan batin,
tergugah oleh gerakan-gerakan intelektual muslim sebelum-sebelumnya serta
ketidakpuasanketidakpuasan lainnya atas organisasi lokal yang tidak memenuhi
aspirasi-aspirasi mahasiswa muslim, Pane mendirikan HMI. Selanjutnya begini
Yudi Latif melukiskan ‘pertobatan batin’ Lafran Pane.
“Pertobatan batin ini memberinya
dorongan psikologis untuk membentuk sebuah jaringan intelegensia muda Islam
yang baru. Dia terilhami oleh hasrat intelektual Muslim generasi tua dalam
mendirikan organisasi mahasiswa Islam yang –seperti JIB dan SIS di masa lalu—
akan berfungsi sebagai lahan persemaian bagi para pemimpin Islam masa depan.
Alasan lainnya ialah kegagalan organisasi-organisasi mahasiswa lokal yang ada,
seperti Persjarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY, berdiri 1946) dan Sarikat
Mahasiswa Indonesia Solo (SMI berdiri 1946) untuk memenuhi aspirasiaspirasi
mahasiswa Islam. Dalam kompetisinya dengan organisasi-organisasi mahasiswa sekular untuk menarik
para anggota, HMI meniru JIB dan SIS dalam kerangka islamisasi kaum terpelajar
melalui modernisasi institusi-institusi Islam.” (Yudi Latif, 2012: 461-462).
Pemikiran Lafran Pane dan arah
tujuan HMI, dilukiskan oleh Agus Sitompul, sebagai dua hal yang tak bisa
dipisahkan. Misalnya dia mengatakan:
“Sesungguhnya, tahun-tahun
permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan kehidupan Lafran Pane
sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mulabuka lahirnya HMI
kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya.”
Dengan kata lain, Lafran Pane
adalah satu icon kecil sebuah kegelisahan seorang muslim yang sesungguhnya juga
mencerminkan kegelisahan besar kaum muslim Indonesia lainnya. HMI, yang dia dan
kawan-kawannya pelopori, adalah salah satu komitmen dan ikhtiar untuk menggugah
spirit keislaman agar tidak terpinggirkan oleh budaya-budaya yang ‘sekular’.
HMI adalah jawaban agar spirit agama Islam tidak terpinggirkan di dalam
ruang-ruang publik kehidupan bangsa Indonesia. Bukankah ironis bila bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam tetapi tersudutkan dan kehilangan
kebanggaannya disebabkan arus kebudayaan yang lain?
Itu sebabnya, tujuan HMI
pertama-tama adalah memperjuangkan Islam dan Nasionalisme. HMI menegaskan
hubungan keindonesiaan dan keislaman sebagai dua hal yang saling berkait
berkelindan, yaitu untuk membela negara Republik Indonesia dan menaikkan harkat
Indonesia; dan untuk menjaga dan memajukan agama Islam.
‘Menjaga dan memajukan agama
Islam’ tentu yang dimaksud adalah menggugah penghayatan keagamaan, mendorong
spirit yang terkandung dalam Islam dan terutama membedah dan mempelajari
semangat Islam yang sejalan dengan semangat keindonesiaan. HMI melakukan
perekrutan kader-kader dan mengajak mereka berdiskusi dan menggali
pemikiran-pemikiran Islam. Pada tahun 1959, HMI mulai mengadakan latihan kader
secara sistematis yang hingga saat ini masih eksis menjadi ‘mata air’
perkaderan.
Sampai di sini, kian terang
terlihat dan matang arah perjuangan HMI untuk menumbuhkan semangat memajukan
Keislaman di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Tradisi intelektual
mulai digalakkan melalui penggalian atas kajian keislaman, pemikiran-pemikiran
tokoh bangsa, kajian sosial, budaya, politik, hukum serta beragam teori-teori
pengetahuan lainnya. Tujuannya untuk menggugah semangat berislam, menggugah
penghayatan umat Islam bahwa ajaran agama Islam senafas dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan keindonesiaan.
Kontekstualisasi Perjuangan HMI
Apakah HMI otomatis memberikan
jawaban yang sepenuhnya memuaskan atas beragam tuntutan umat Islam dan bangsa
Indonesia secara umum? Tentu saja tidak.
Namun demikian, keberadaan HMI
hingga saat ini membuktikan bahwa organisasi ini belum ‘bubar’. Organisasi ini
belum menyerah oleh berbagai penilaian negatif. HMI pernah memiliki masa yang
gemilang. HMI melahirkan tokoh-tokoh penting, cendekiawan-cendekiawan muslim,
yang berkontribusi besar bagi Keislaman dan Keindonesiaan. Itu setidaknya yang
menjadi alasan mengapa HMI harus dipertahankan.
HMI masih bergelut dengan wacana
keilmuan. Tentu spirit yang dibangun haruslah lebih kontekstual. Setiap masa
ada tantangan yang berbeda-beda. Itulah yang perlu diidentifikasi oleh
kader-kader HMI. Sehingga organisasi ini bisa lebih peka merespon
tantangan-tantangan yang bersifat kekinian.
Kritik atas HMI tentu saja terus
diterima sebagai bahan untuk melakukan koreksi. Tetapi kritik yang menempatkan
HMI kini melulu dalam satu perbandingan dengan HMI di masa lalu tak selalu
relevan. Tantangan hari ini jauh lebih kompleks dari apa yang bisa dihadapi
oleh masa lalu. Bukan untuk mendiskreditkan masa lalu melainkan untuk
menumbuhkan optimisme masa kini dan masa depan agar tidak selalu
dibayangbayangi ketakutan atau kebanggaan atas capaian masa lalu.
Sekali lagi yang dibutuhkan oleh
kader-kader HMI adalah kegigihan diri untuk terus berjuang dalam ranah ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Diskusi-diskusi di HMI haruslah diorientasikan
lebih kuat untuk menjadi jembatan kesenjangan antara agama dan capaian ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kaderisasi –yang merupakan investasi kemajuan sumber
daya manusia— haruslah mampu merespon kebutuhan-kebutuhan masyarakat di saat
ini dan masa depan.
Di usianya yang sudah menginjak
71 tahun (05 Februari 2018), HMI harus tetap optimis serta konsisten di jalan
perjuangannya dalam mengembangkan nilai-nilai luhur agama Islam yang
disinergikan dengan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sembari
melakukan ijtihad pemikiran untuk dapat memberikan jawaban atas berbagai
problem yang sedang melanda umat dan bangsa ini.
Selamat milad Himpunan Mahasiswa
Islam yang ke-71
Yakin Usaha Sampai (*)
0 komentar:
Post a Comment