Jakarta, Kompastimur.com
PT. Perusahaan
Gas Negara (PGN) telah melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS
LB) atas perintah Menteri BUMN Rini Soemarno pada Kamis 25 Januari 2018 Lalu.
Dalam forum RUPS
LB tersebut di setujui bahwa PGN mengalihkan saham seri B milik negara sebesar
56,6 persen kepada PT Pertamina dengan masa berlaku 60 hari.
Pengalihan ini
akan resmi berlaku jika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang kini sudah
masuk ke Setneg yang di ajukan oleh Menteri Keuangan dan Menteri BUMN di
setujui oleh Presiden Jokowi. Demikian Disampaikan M. Adnan Rara Sina dalam
keterangannya di Jakarta, Sabtu (27/01)
Menurut Adnan,
Adalah sesuatu yang bermanfaat jika pembentukan Holding BUMN Migas antara PGN
dan Pertamina ini untuk memperkuat struktur aset dan modal agar dua
perusahaan yang di gabungkan ini menjadi lebih efisien, kompetitif dan
tidak bersaing secara bisnis dengan jenis usaha yang sama.
Namun pada
kenyataannya dilapangan, pembentukan holding migas ini tidak memberikan nilai
tambah bagi perusahaan induk holding, menambah birokrasi, memperpanjang rantai
pengambil keputusan serta menimbulkan inefisiensi biaya karena di ketahui saat
ini inefisiensi keuangan dan manajemen Pertamina saat ini tidak 'prudent'.
"Terbukti
dalam tahun buku 2017 kerugian Pertamina mencapai Rp 17 Triliun. Berbanding
terbalik dengan dengan PGN mendapat laba US$ 150 juta di tahun yang sama sehingga
kesan yang muncul adalah PGN di 'caplok' oleh Pertamina untuk menutupi keuangan
Pertamina yang kolaps", tegas Adnan.
Lanjut dia,
kemudian yang menjadi persoalan berikutnya adalah mekanisme "top
down" yang di tempuh oleh Rini Soemarno dengan skema 'inbreng', dengan
memaksakan PGN di 'caplok' Pertamina menimbulkan ketidak percayaan investor
bahwa BUMN sangat mudah di intervensi sehingga terjadi gejolak pasar dimana
nilai kapitalisasi saham PGN (PGAS) terus menurun di perdagangan pasar saham
sampai saat ini.
Seharusnya Rini
tak usah buru-buru memaksakan Holding ini dengan menempuh cara yang lebih soft
dengan metode 'botton up'.
Dengan
mengintegrasikan lebih dahulu dengan skema PGN mengakuisisi Pertagas, anak
perusahaan Pertamina yang memiliki usaha sejenis dengan PGN, yang bergerak di
bidang usaha distribusi gas.
Bukan sebaliknya
memaksakan kehendak dengan di gabung dari atas dan Pertamina sendiri perlu
memperbaiki Good Corporate Governance (GCG) sebelum di tetapkan menjadi holding
di sebabkan Pertamina sampai saat ini tak mampu mengatasi "Kelompok
kepentingan" yang melingkupinya.
"Presiden
Jokowi harus lebih berhati-hati dengan agenda agenda sendiri oleh
pembantu-pembantunya di kabinet yang tidak mencerminkan program Nawa Cita di
bidang energi", ungkap Adnan.
Rini kata Adnan,
sering membuat Keputusan kontroversial contohnya membuat BUMN jadi sekarat
semisal Garuda Indonesia yang di suruh membeli pesawat besar yang tidak sesuai
dengan kebutuhan Garuda.
Sehingga
menyebabkan kerugian besar dan Garuda terus merugi karena beban hutang, belum
lagi tidak adanya persetujuan DPR karena Rini tidak di terima dalam rapat kerja
bersama komisi VI sejak keputusan Pansus Pelindo yang merekomendasikan
pemecatannya.
Keputusan
holding BUMN Migas ini akan menimbulkan turbolensi dan kegaduhan politik yang
tidak produktif sehingga sebaiknya Presiden Jokowi tidak buru-buru menyetujui
dan menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang di ajukan Menteri BUMN.
Karena kebijakan
holding ini lebih pada uji coba 'trial & error'. lebih baik Rini fokus
untuk menindaklanjuti perintah Presiden Jokowi untuk mengatasi mahalnya harga
gas dalam negeri menjadi US$ 6/MMBtu dari US$ 11/MMBtu saat ini dengan
memperbaiki dan memperkuat sistem distribusi infrastruktur Gas dari hulu hingga
hilir. 'Mindset' bahwa Holding BUMN Migas adalah solusi mengatasi mahalnya
harga gas ini adalah keliru dan sesat pikir. Demikian Adnan. (KT-Rls)
0 komentar:
Post a Comment