Tindakan
Kepala Sekolah SMKN 1 Moroo Nias, Saor
Manurung mengeluarkan NG (15) murid Kelas VII korban kekerasan seksual dari
sekolahnya merupakan tindakan berlebihan dan melanggar hak anak atas
pendidikan.
“NG
sebagai korban sesungguhnya harus mendapat perlindungan dari Kepala Sekolah
sekaligus sebagai guru dengan memisahkan
perilaku anak yang melanggar etika dan
atau norma sosial dan agama dari hak
anak atas pendidikan yang dijamin oleh undang-undang,” kata Ketua Umum Komnas
Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait kepada media, Rabu (15/11).
Arist
menambahkan, harus disadari jika ada
peserta didik yang melanggar etika moral dan sosial, seperti yang diduga
dilakukan NG dapat diartikan dan direfleksikan merupakan kegagalan pengelolah
sekolah guru, terlebih orangtua dalam mendidik anak dan mengasuh anak.
Sebab
anak selalu dalam posisi mengimitasi apa yang dilakukan lingkungan
terdekatnya atau idolanya apa yang anak
lihat dan apa yang anak rasakan. Artinya irang tetdekat dan idola anak mempunyai kontribusi sehingga anak
mempunyai prilaku menyimpang..
Oleh
sebab itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga independen dan
pelaksana tugas dan fungsi keorganisasian dari Perkumpulan Lembaga Perlindungan
Anak (LPA) Pusat yang memberikan pembelaan dan perlindungan anak di
Indonesia, atas nama hak anak atas pendidikan yang diatur didalam ketentuan UU
RI No. 23 tahun 2002 yang telah diubah
kedalam UU RI Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak junto UU RI Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menghinbau dan memdesak segera
Kepala Sekolah SMKN 1 Moroo untuk membatalkan keputusannya mengeluarkan NG dari
SMKN 1 Moroo dan menerimanya sebagai siswi yang normal.
Mengenai
tingkah laku dan prilaku NG yang diduga melanggar etika moral, sosial dan
agama, NG harus ditempatkan sebagai
korban yang harus dilindungi. Sebab apa
yang terjadi pada diri NG juga tidak terlepas dari kontribusi orangtua dan
orang-orang terdekat dari anak.
Untuk
itu, Guru, Komite Sekolah dan orangtua perlu duduk bersama untuk mencari
resolusi yang baik dengan pendekatan
"win-win solution aprroach" tanpa merugikan pihak sekolah dan korban.
“Dan
yang terpenting proses mediasinya harus mengedepan kepentingan terbaik
anak khususnya untuk kepentingan
keberlangsungan hak anak atas pendidikan
dan mengajarkan kesadaran kepada anak
bahwa apa yang dilakukan anak
adalah perbuatan salah dan melanggar etika dan norma ditengah-tengah masyarakat,”
pungkasnya. (KT-rls-MZT)
0 komentar:
Post a Comment