Oleh :
Abubakar Solissa
(Deputy Bidang Kajian & Politik Young Leaders Institute for Development)
Sulit memisahkan antara kekuatan dan
kemenangan dalam sebuah kontestasi politik. Selain strategi, kekuatan politik
(political resource) menjadi hal mutlak yang harus dimiliki oleh seorang
kompetitor. Dua componen inilah, yang barang kali menjadi alasan kenapa Murad
Ismail, yang saat ini menjabat sebagai Komandan Korps Brimob Polri belum
memutuskan pasangan calon wakil Gubernur untuk mendampinginya maju dalam
kontestasi Maluku satu.
Secara politik, Irjen Pol Murad Ismail
yang biasa disapa MI itu, sudah mengantongi lima rekomendasi partai politik
dengan jumlah kursi sebanyak 14 kursi. Jumlah ini sudah melewati batas maksimum
sebagaimana disyaratkan oleh UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Itu artinya, MI sudah punya kewenangan
politik untuk menentukan pasangan calon Wakil Gubernur yang menurut dia tepat,
mendampinginya maju sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku
periode 2018-2023.
Belum diputuskannya pasangan calon Wakil
Gubernur oleh MI, disinyalir kuat karena sang Jenderal itu lagi bermanuver
untuk mendapatkan rekomendasi PDIP. Partai besutan Megawati ini dianggap
memiliki posisi politik sangat strategis untuk mendongkrak suara MI di pilkada
Maluku.
Ada dua nama yang cukup potensial mendampingi
MI. Pertama, Bupati Maluku Barat Daya, Barnabas Orno. Bupati yang juga pernah
berproses dan hampir pasti maju sebagai calon Gubernur Maluku ini di
gadang-gadang akan mendampingi MI karena posisi politiknya tidak memungkinkan
untuk maju sebagai calon Gubernur Maluku, apalagi partai yang pernah memberikan
Mandat kepadanya dan Habiba Pelu untuk membangun komunikasi politik dengan
partai lain, PKB, telah berbalik arah mendukung Murad Ismail sebagai calon
Gubernur Maluku.
Orno dianggap memiliki kekuatan politik,
karena merepresentasi tiga isu besar di Maluku. Pertama, selain Bupati aktif,
Orno adalah putra Maluku tenggara raya yang pada saat pilgub Maluku tahun 2013,
isu tenggara raya sangat potensial mendongkrak suara Herman Koedoebun. Itulah
sebabnya, kenapa cagub atau cawagub dari tenggara raya menjadi pusat perhatian
semua pihak.
Kedua, Orno adalah seorang penganut
kristen protestan di Maluku. Sebagai tokoh Gereja Protestan Maluku (GPM), yang
merupakan organisasi keagamaan terbesar di Maluku, kehadiran Orno dalam suksesi pilkada Maluku
akan menjadi pertimbangan tersendiri buat jemaat GPM yang sudah pasti, secara
politik pasti menginginkan ada tokoh terbaiknya berada pada level kepemimpinan
di Maluku.
Ketiga, Orno dianggap sebagai tokoh muda
Maluku. Tampilan kemudaannya menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan
generasi milenial. Diera digital ini, informasi dan perkembangan jaman yang
terjadi dengan sangat cepat, turut mempengaruhi presepsi dan paradigma generasi
muda yang menamakan dirinya sebagai generasi milenial. Mereka cenderung memilih
pasangan calon yang dianggap memiliki kesamaan kepentingan (interest) dan
pandangan politik. Jumlah pemilih ini terbilang cukup banyak, dan berpotensi
mempengaruhi peta elektoral di Maluku.
Kedua, ada nama Mercy Chriesty Barends,
anggota DPR RI dapil Maluku. Nama ini cukup menguat, dan menjadi pertimbangan
MI. Politisi perempuan yang dikenal sangat vokal di parlemen ini memiliki
pengaruh (influence) di akar rumput cukup kuat. Mengawali karirnya sebagai
seorang aktifis, Mercy punya relasi dan networking bertebaran dimana-mana.
Jejaring inilah yang kemudian mengantarkannya menjadi anggota DPR RI menggeser
posisi seniornya, Alm. Alex Litay (mantan Sekjen PDIP). Keberhasilannya menjadi
anggota DPR tentunya menjadi prestasi yang membanggakan. Momentum ini sekaligus
mempertegas figuritas Barends sebagai tokoh perempuan Maluku yang sangat
berpengaruh.
Sama halnya dengan Orno, Mercy Barends
juga memiliki keunggulan-keunggulan yang secara politik bisa digarap untuk kepentingan
elektoral. Selain mewakili kepentingan masyarakat tenggara raya dan juga adalah
bagian dari keluarga besar Gereja Protestan Maluku (GPM), positioning Mercy
sebagai satu-satunya perempuan yang maju sebagai calon Wakil Gubernur akan
menjadi jualan politik tersendiri. Ditengah-tengah kerumunan budaya patriarki,
kehadiran Mercy akan menjadi diferensiasi sekaligus mempertegas eksistensi
perempuan yang sudah lama terpinggirkan dipanggung politik Maluku. Mercy
dilihat sebagai oase ditengah padang pasir yang luas, menyejukan dan memberi
harapan bagi bangkitnya perempuan Maluku dalam melawan hegemoni kaum lelaki.
Pertanyaanya kemudian, kalau MI tidak di
dukung oleh PDIP, apakah MI akan tetap mempertimbangkan dan memilih salah satu
dari keduanya?
Ini pertanyaan yang cukup sulit, karena
keduanya memiliki standar etik sebagai seorang kader. Mercy akan sulit menerima
pinangan dari kandidat lain yang tidak direkomendasikan oleh partainya.
Barnabas Orno juga akan berhitung, meskipun posisi Orno dan Mercy berbeda bila
dilihat dari proses dan irisan ideologis partai. Bagi Orno, PDIP bukan hanya
sebatas partai, tapi PDIP adalah trigger untuk dia bisa yakinkan simpatisan dan
basis pemilih ideologisnya (basis sosial maupun spritual) di berbagai
segmentasi masyarakat di Maluku. Tanpa PDIP, rasanya sulit untuk bisa
memastikan soliditas dukungan dari pemilih ideologis yang ada di
grassoort.
Selain kedua nama diatas, MI juga bisa
mempertimbangkan Jhon Ruhulessin, mantan ketua Sinode Gereja Protestan Maluku
sebagai calon Wakil Gubernurnya. Mantan ketua sinode yang dua periode memimpin
GPM ini terbilang cukup sukses dan memiliki track record yang baik. Ruhulesin
juga punya pengaruh dikantong-kantong jemaat GPM yang cukup potensial dalam
menghadirkan dukungan elektoral. Ketokohan Ruhulesin menjadi sangat penting
untuk mengimbangi kekuatan politik petahana. (*)
0 komentar:
Post a Comment