Penulis :
Dr (Can) Hasrul Buamona, S.H., M.H
(Advokat/Ahli Hukum Kesehatan - Direktur LPBH NU
Yogyakarta dan Kandidat Doktor Hukum Kesehatan UII Yogyakarta)
Pada tanggal 17
Februari 2016 penulis pernah menulis opini hukum kesehatan di Koran Malut Pos,
terkait dugaan kasus malpraktik dokter di RSUD Sanana yang diduga salah dalam
memberi golongan darah yang mengakibatkan korban Hasna Gailea meninggal dunia.
Permasalahan dugaan malpraktik di Kabupaten Sula kembali mencuat di publik,
melalui pemberitaan media online Taliabuposonline.com dan Beritalima.com yang
memberitakan meninggalnya Sarina Naipon diduga malpraktik bidan di puskesmas
Mangoli, yang kemudian menjadi informasi awal penulis untuk memberi pendapat
hukum khususnya dibidang hukum kesehatan yang adalah keahlian penulis dalam
bidang keilmuan hukum.
Sesuai yang
penulis baca pada media online Taliabuposonline.com bahwa peristiwa kasus ini
telah terjadi pada 22 Agustus 2017, sekiranya ini sangat lama untuk sebuah
kasus hukum bersifat khusus (lex specialis) yang baru diberitakan menjadi
konsumsi publik dan terlihat pemerintah daerah sangat lamban dalam merespon
kasus ini, baik secara kebijakan sampai pada proses hukum di kemudian hari.
Malpraktik dalam bidang kesehatan
adalah bentuk hukum yang memiliki sifat khusus sekaligus problem dalam
penegakkan hukum, mengapa demikian ? dikarenakan dalam kasus hukum medis
(malpraktik) harus terlebih dahulu melalui rangkaian pembuktian internal medis
atau disiplin keilmuan untuk membuktikan kesalahan secara professional tenaga
medis (bidan), dengan cara keluarga atau penasihat hukum harus meminta rekam
medis dan meminta persetujuan tindakan medis(informed consent) bidan. Untuk rekam
medis diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
yang berbunyi “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan
dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterima
dari tenaga kesehatan”, sedangkan informed consent diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Problem utamanya, banyak
dari penegak hukum yang belum mengetahui ruang lingkup hukum kesehatan, baik
itu perbedaan bidan, dokter,perawat dan kepala rumah sakit. Selain itu harus
diketahui bahwa Bidan itu sendiri memiliki wadah etik, disiplin dan kompetensi
yang berbeda dengan dokter, sehingga dalam pembuktian proses hukum oleh penegak
hukum nantinya, diperlukan pendapat etik, disiplin dan kompetensi untuk melihat
sejauh mana kesalahan pidana bidan tersebut.
Kordinasi antara tenaga medis baik
itu dokter, perawat dan bidan serta juga apoteker dalam dunia medis harus
dilakukan, khususnya memberi pelayanan medis, khususnya dalam kasus ini.
Puskesmas sebagai Badan Layanan Umum Daerah Pemerintah Kabupaten Sula
seharusnya memiliki hospital bylaw dan medical staff bylaw yang tujuannya, agar
tindakan medis terkodinir dengan baik, sehingga dapat mencegah kematian pasien
dalam proses persalinan.
Apabila kembali
pada kasus Hasna Gailea diatas, yang tenaga medis RSUD Sanana diduga salah
dalam memberikan golongan darah, dan kemudian terjadi kembali meninggalnya
pasien Sarina Naipon pada 22 Agustus 2017, terlihat bahwa Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Sula, tidak melakukan evaluasi kinerja medis dan langkah
pencegahan (preventif). Sehingga patut diduga, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Sula tidak menyusun dan memiliki aturan khusus terkait hospital bylaw dan medical staff bylaw dalam
manajemen rumah sakit dan puskesmas yang ada di seluruh kecamatan di Kabupaten
Sula.
Seperti yang
diberikatakan Taliabuposonline.com yang menyebutkan bahwa “Hindun Pauwah selaku
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sula yang mempertanyakan kapasitas dokter
Syamsul yang hanya sebagai tenaga medis kontrak dan mempertanyakan kepergian
dokter Syamsul ke Puskesmas Mangoli sebagai apa dan siapa yang mengizinkan”.
Dari penuturan
dan pertanyaan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sula terhadap dokter Syamsul,
terlihat Kepala Dinas Kesehatan tidak mengetahui Pasal 10 Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI) yang menyebutkan bahwa “setiap dokter wajib bersikap tulus
mempergunakan segala ilmu dan keterampilan untuk kepentingan pasien” dan Pasal
13 KODEKI menyebutkan bahwa “setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat
sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bersedia dan mampu memberikannya”.
Terlepas
kapasitas hanya sebagai dokter kontrak dan siapa yang memberikan ijin secara
administrasi, namun ada hal yang terpenting yakni menjunjung tinggi nilai-nilai
etika profesi dokter untuk menyelamatkan pasien, dikarenakan dokter adalah
profesi mulia (officium nobile) yang harus mendahulukan kepentingan pasien
(altruisme).
Ada beberapa
catatan penting penulis yakni; Pertama, seharusnya yang menjadi fokus Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten Sula ialah membuat, melaksanakan, dan menjaga standar
mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.
Kedua, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sula harus menyusun standar manajemen
rumah sakit (badan layanan umum) yang terdiri dari hospital bylaw dan medical
staf bylaw tujuannya terhindar dari tindakan medis bidan yang tidak diketahui
atau tidak dikordinasikan dengan dokter dan kepala puskesmas serta menambah infra
struktur medis dan tenaga medis yang merata antara Rumah Sakit Umum Daerah
dengan Puskemas. Ketiga, seharusnya seluruh tenaga medis (Bidan,Dokter, Perawat
dan Apoteker) di Kabupaten Sula diberikan pelatihan kompetensi medis ataupun
pemberian beasiswa agar kedepan masyarakat sebagai pasien tidak menjadi korban.
Keempat, untuk Bupati Kabupaten Sula harus melakukan evaluasi dalam bentuk
manajemen rumah sakit, infra struktur medis dan sumber daya tenaga medis serta
juga melakukan evaluasi dan punisment terhadap kinerja Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten, yang apakah masih kompeten dan memiliki kelayakan menjalankan amanah
pelayanan medis di Kabupaten Sula yang tercinta. #Mena (*)
0 komentar:
Post a Comment