FOTO : Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy |
Manokwari, Kompastimur.com
Sebagai Direktur
Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH)
Manokwari, Yan Christian Warinussy ingin memberikan informasi tentang apa yang
dimaksudkan dengan Dialog Sektoral yang akhir-akhir ini sempat mendapat respon
negatif dari rakyat Papua. Khususnya dari kalangan kelompok-kelompok resisten
di Tanah Papua.
Berdasarkan
pengamatanya sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia di tanah Papua bahwa
dialog sektoral adalah sebuah gagasan dimana para pemangku kepentingan (stake
holders) seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) serta kementerian dan lembaga maupun investor serta badan usaha
milik negara maupun badan usaha milik daerah serta kalangan swasta, dunia usaha
maupun rakyat serta TNI dan POLRI serta organisasi kemasyarakatan dan LSM.
"Semua
pemangku kepentingan (stake holders) tersebut dilibatkan dan terlibat penuh
dalam membahas berbagai topik seperti pembangunan infra struktur (jalan raya,
jembatan, dermaga laut, lapangan terbang dan rel kereta api)," kata Warinussy
Lanjut kata
Dia, juga topik mengenai pelayanan kesehatan, pendidikan, pertambangan,
industri, kehutanan, perikanan dan kelautan maupun soal keamanan, penegakan
hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
Pertemuan inilah
yang disebut dialog sektoral, karena dalam setiap pertemuan/dialog akan dibahas
dan dicarikan cara pemecahan atas setiap sektor kegiatan pembangunan di tanah Papua
secara komprehensif.
"Contoh
kasus, mengenai rencana pembangunan jalan trans Papua Barat melintas dari
Manokwari ke Sorong, atau Manokwari ke Windessy dan Wasior atau Manokwari
menuju Bintuni," ujarnya.
Pertanyaannya,
bilamana jalan-jalan trans Papua Barat tersebut selesai terbangun dalam bentuk
moderen (beraspal) atau menjadi jalan tol, rakyat papua yaitu Orang Asli Papua
(OAP) akan mendapat keuntungan (benefit) seperti apa dari adanya jalan
tersebut?
Berapa banyak
OAP yang memiliki kendaraan pribadi maupun kendaraan angkutan untuk dapat
mengakses jalan tersebut sebagai sarana guna meningkatkan pendapatannya?
Kata Dia,
misalnya rencana pemasokan energi listrik pasca dibangunnya train 3 Kilang LNG
Tangguh di Distrik Sumuri-Kabupaten Teluk Bintuni pada tahun 2020 nantinya.
Dimana direncanakan energi gas alam cair dari LNG Tangguh akan dialirkan untuk
memasok tenaga listrik ke seluruh wilayah Provinsi Papua Barat bahkan juga
wilayah Provinsi Papua.
"Pertanyaannya,
berapa sesungguhnya kebutuhan pasokan listrik tiap keluarga penduduk Provinsi
Papua Barat? Khususnya keluarga OAP di Papua Barat membutuhkan listrik berapa kilowatt?
atau berapa megawatt?" tanya Warinussy.
Saya kira lanjut
Warinussy, secara kasat mata kita dapat memperoleh data bahwa OAP membutuhkan
listrik untuk penerangan di rumah masing-masing, dan juga untuk peralatan
elsktronik seperti televisi, radio, tape recorder, kulkas, mesin cuci, mesin
pompa air serta penerangan publik (lampu jalan).
Lalu kelebihan
dari kebutuhan listrik OAP, misalnya untuk menggerakkan mesin produksi
berbentuk pabrik es, pertukangan, perbengkelan, jasa kontruksi, industri dan
sebagainya apakah ini juga dimiliki dan dikuasai serta dikelola oleh OAP atau
tidak?
Apakah bukan
justru dengan kelebihan energi listrik tenaga gas alam tersebut justru bakal
menjadi faktor pemicu laju migrasi spontan dari luar Papua yang pada gilirannya
tidak terkendali dan tak bisa dikontrol yang pada saatnya menjadi pemicu
terjadinya tindak kriminal dan penyakit sosial kemasyarakatan lainnya di Tanah
Papua, khususnya Papua Barat?
Disinilah
pentingnya OAP harus terlibat dan sebaiknya melibatkan diri untuk ambil peran
sesuai kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing dalam dialog sektoral
tersebut, demi menyelamatkan diri serta tanah dan sumber daya alam miliknya
dari "bahaya" dan atau faktor negatif dari pembangunan yang sepanjang
sisa 2 (dua) tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo nantinya. (KT-ARA)
0 komentar:
Post a Comment