Duta Besar (Dubes) Kerajaan Inggris Moazzam Malik
melakukan kunjungan ke Manokwari-Provinsi Papua Barat berkesempatan bertemu
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan
Hukum (LP3BH) Advokat Yan Christian Warinussy dan tim di salah satu cafe di
bilangan Manggoapi-Manokwari.
Dalam pertemuan yang berlangsung lebih dari 1 (satu)
jam tersebut, Dubes Malik mempertanyakan berbagai situasi dan perkembangan
politik, ekonomi, sosial, budaya dan kemasyarakatan yang terjadi dalam kurun
waktu setahun terakhir di Manokwari dan Papua Barat secara umum.
“Sebagai Direktur Eksekutif LP3BH yang mendapat
pertanyaan pertama, saya menyampaikan bahwa semenjak Provinsi Papua Barat
terbentuk dan resmi berjalan tahun 2003 lalu hingga kini pertumbuhan ekonomi
cukup cepat dan menunjukkan grafik tinggi,” katanya.
Namun pada saat yang sama, masyarakat asli Papua di
provinsi ini senantiasa mengalami situasi tidak memperoleh ruang, kesempatan
dan pemenuhan hak-hak dasarnya secara baik.
“Kami memberi contoh dalam aspek akses pelayanan
kesehatan, berbeda dengan Provinsi Papua yang juga berlaku kebijakan otonomi
khusus lewat Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001,” ucapnya.
Dimana setiap warga masyarakat asli Papua yang
mengalami sakit dan berobat ke Rumah Sakit senantiasa memperoleh semua akses
pelayanan meliputi semua perawatan dan pengobatan secara gratis.
Ini karena seluruh biaya sudah ditanggulangi melalui
dana Otsus sebagai diatur dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang Undang No.21
Tahun 2001 tersebut. Termasuk jika dirujuka ke Jakarta maka akan ditangani di
Rumah Sakit Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (RS.PGI) Cikini dengan
seluruh beban biaya pada alokasi anggaran 15 persen dari Otsus tesebut.
Sementara di Manokwari, ketika seorang pasien Orang
Asli Papua (OAP) datang ke RSUD, dia harus mengeluarkan biaya untuk mebyara
infus, obat, ruang perawatan hingga tenaga dokter dan segenap bentuk tindakan
medis yang terjadi sejak dari ruang instalasi gawat darurat (IGD) sampai di
keluar dari rumah sakit tersebut.
Ini menjadi pertanyaan kenapa beda perlakuan
tersebut? Padahal sama-sama (Papua dan Papua Barat) berlaku UU No.21 Tahun 2001
dan UU No.35 Tahun 2008.
DR.Agus Sumule selaku Dekan Fapertek Universitas
Papua dan Wakil Ketua Badan Pengurus LP3BH menambahkan bahwa hingga hari ini,
Papua Barat belum memiliki Rumah Sakit (RS) yang baik sesuai standar pelayanan
kesehatan yang berkualitas, misalnya RS type A.
Kepala Divisi Advokasi Hak Perempuan dan Anak LP3BH
Advokat Thresje Juliantty Gasperzs memberi informasi kepada Dubes Malik dari
Inggris mengenai meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT/domestic
violance) di Papua Barat yang dipicu oleh faktor ekonomi.
Banyak terjadi kasus KDRT tidak saja terhadap
perempuan dewasa tapi juga terhadap anak dalam bentuk penganiayaan, percabulan
dan atau keekrasan seksual dan pemerkosaan. Semua ini dipicu oleh minuman
keras, narkoba dan lem aibon/fox.
Sayang sekali menurut Advokat Gasperzs bahwa
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten kota di seluruh Papua Barat belum
memberi perhatian pada pentingnya keberadaan rumah aman (Shelter House) bagi
para korban dugaan pelanggaran KDRT tersebut.
Sehingga ini juga seringkali menyulitkan upaya
advokasi terhadap korban KDRT oleh keluarga dan organisasi masyarakat sipil
(Civil Society Organization/CSO) seperti halnya LP3BH.
Selain itu juga dalam praktek penanganan kasus-kasus
KDRT, korban dan atau pelaku yang termasuk kategori anak menurut Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Perlindungan terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT) yang mewajibkan didampingi oleh staf atau pegawai dari Balai
Pemasyarakat (BAPAS).
Namun ini seringkali terjadi dalam tahap penyidikan
dan pra penuntutan maupun penuntutan pidana tidak dipenuhi oleh penyidik dan
penuntut umum, dan baru dipenuhi ketika perkaranya disidangkan di Pengadilan
Negeri Manokwari.
Dubes Moazzam Malik tertarik terhadap pertemuan
para tokoh Papua Agustus 2017 lalu dengan Presiden Joko Widodo yang mendorong
diselenggarakannya Dialog Jakarta-Papua.
Direktur Eksekutif LP3BH menjelaskan bahwa pertemuan
tersebut sudah menghasilkan "perintah" Presiden Jokowi dengan
menunjuk 3 (tiga) orang person in chrage (tokoh dialog) guna menjalankan
kebijakan Presiden, yaitu Pater DR.Neles Tebay, Wiranto dan Teten Masduki.
Namun menurut Warinussy, nampaknya koordinasi
diantara ketiga orang tokoh dialog Papua-Jakarta tersebut belum berjalan
maksimal, bahkan diduga komunikasi mereka dengan Presiden Jokowi tidak berjalan
baik.
Sehingga tujuan utama untuk membantu pemerintah dalam
mendorong upaya damai dalam menyelesaikan konflik dan kekerasan di Tanah Papua
pasca pertemuan Agustus lalu hingga kini belum nampak tindak-lanjutnya yang
diharapkan.
Dubes Moazzam Malik memberi perhatian penuh dan
berkomitmen akan membantu menyampaikan hal tersebut kepada Presiden Jokowi dan
pemerintah pusat di Jakarta.
Dubes Inggris tersebut sangat mendukung digunakannya
pendekatan dialogis dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di Papua
dan Papua Barat, termasuk konflik-konflik yang berujung kekerasan seperti
halnya di Tembagapura-Kabupaten Mimika-Provinsi Papua.
Turut hadir dalam pertemuan ini Kepala Divisi
Pelayanan Hukum LP3Bh Advokat Simon Banundi serta tokoh masyarakat Provinsi
Papua Barat Drs.William Abraham Ramar dan Wempi Kambu yang juga memberikan
kontribusi pemikiran mengenai cara-cara penyelesaian berbagai masalah di Tanah
Papua dan khusus Papua Barat secara damai dan bermartabat.(KT-ARA)
0 komentar:
Post a Comment