Masyarakat adat Desa Melobok, Kecamatan Meliau
melakukan pemagaran dengan pemasangan adat ‘Sangga Parang’ di dua abdeling
kebun Gunung Meliau PTPN XIII, Selasa lalu.
Pemagaran tersebut diakui oleh Tokoh Masyarakat, Desa Melobok,
Kecamatan Meliau, Yulius Jahin.
“Persisnya di abdeling dua dan abdeling enam. Artinya
kegiatan panen distop di dua kebun ini, kalau perawatan dan lainnya tetap
berjalan seperti biasanya, hanya panen saja yang distop karena adanya
pemasangan adat Sanga Parang yang menggunakan tempayan,” kata Jahin kepada Kompastimur.com, Minggu (8/10).
Dia yang juga Ketua Badan Pengawasan KUD Mekar Sari, Desa
Melobok, yang bernaung di PTPN XIII itu menambahkan, dilakukannya pemasangan
adat tersebut karena spanduk yang berisi tentang aspirasi masyarakat adat desa
Melobok kepada PTPN XIII tentang perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) yang
berakhir pada Desember 2020 dan akan di perpanjang kembali, namun spanduk yang
dipasang itu hilang pada 5 Juli 2017 lalu.
Ia menegaskan, selain berisi aspirasi masyarakat juga
tertera sanksi adat dan denda apabila ada pihak yang merusak atau menghilangkan
spanduk, maka dikenakan sanksi adat dan denda Rp. 50 juta, karena skopnya satu
desa, maka dendanya mencapai Rp. 50 juta.
“Karena HGU saat ini dengan sistem Inti Murni
(seutuhnya untuk perusahaan), kita berharap agar pada saat diperpanjang HGU
nanti, menggunakan pola Inti Plasma, jadi tidak seutuhnya untuk perusahaan,
melainkan ada bagian untuk petani, ” harapnya.
Dia menduga, hilangnya spanduk yang dipasang
masyarakat adat pada Mei 2017 ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pihak
perusahaan, karena ada kunjungan dari Direksi PTPN XIII dan pihak Bank ke kebun
Sei Dekan, desa Kuala Buayan, pada 6 Juli 2017, padahal dengan pemasangan
spanduk itu aktifitas di perusahaan tetap berjalan seperti biasanya.
“Kesimpulan kami, pihak perusahaan yang menghilangkan
spanduk, karena ada kekhwatiran dari pihak perusahaan bahwa spanduk itu dilihat
dari pihak Bank yang survei, jadi kan dengan ada spanduk berarti ada masalah,”
pungkasnya.
Jahin menjelaskan, sebelum dilakukan pemasangan adat,
terlebih dahulu masyarakat melakukan musyawarah pada 24 September 2017 guna
menyikapi perusahaan yang tidak
menanggapi tuntutan masyarakat terkait hilangnya spanduk yang diduga
dihilangkan pihak perusahaan.
“Sebelum dilakukan pemasangan adat Sangga Parang,
beberapa utusan dari perwakilan dusun se-Desa Melobok menemui pihak perusahaan
untuk meminta pertanggungjawaban terhadap kehilangan spanduk, ternyata dalam pertemuan
tidak membuahkan hasil,” terangnya.
Lanjutnya, hal itu menunjukan bahwa pihak perusahaan
tidak bertanggungjawab terhadap tuntutan masyarakat terkait hilang spanduk itu.
Akhirnya kita tunggu dari Agustus hingga September namun belum ada upaya atau
itikad baik dari perusahaan untuk menyelesaikan tuntutan yang disampaikan
perwakilan masyarakat.
Setelah itulah, lanjutnya, baru disepakati untuk
melakukan pemasangan adat Sangga Parang.
Dikatakanya, satu hari sebelum
pemasangan adat, temenggung adat desa Melobok menyurati DAD kecamatan Meliau
yang intinya pemberitahuan tentang adanya pemagaran areal kebun inti dengan
adat Sangga Parang.
Dikatakan Jahin, hingga saat ini pemagaran dengan adat
Sangga Parang itu belum dibuka oleh masyarakat adat. Sebelumnya pada 30
September lalu digelar pertemuan, antara DAD, temenggung, ketua adat, Kades,
Kadus, Ketua RT dan tokoh masyarakat dengan pihak perusahaan untuk mendengar
keterangan saksi terkait hilangnya spanduk itu.
“Namun tidak menemukan keputusan dan perusahaan
bersedia bayar adat, tetapi tidak bersedia bayar denda. Masyarakat pun tetap
menolak, karena permintaan masyarakat, adat itu diturunkan asalkan tuntutan
adat dan denda itu dipenuhi pihak perusahaan,” pungkasnya.
Selanjutnya, dikatakan Jahin, ada negosiasi antara
perusahaan dan masyarakat melalui DAD, pihak perusahaan bersedia bayar adat dan
denda sebesar Rp 25 juta jadi totalnya sekitar Rp 30 denda.
“Namun masyarakat tetap tidak menerima keputusan
perusahaan itu, tapi akan diadakan pertemuan kembali pada 10 Oktober 2017 di
sekretarit DAD kecamatan Meliau. Akan dihadiri ketua DAD Kabupaten Sanggau,
Apabila tidak ada hasil, maka kita akan koordinasikan dengan DAD Provinsi
melalui DAD kabupaten Sanggau,” imbuhnya.
Ia menambahkan, terkait HGU yang akan habis pada
Desember 2020 dan akan diperpanjang, masyarakat minta agar pihak perusahaan,
pemerintah dan masyarakat untuk melakukan musyarawah.
“Sebelum diperpanjang kita harap ada pertemuan, untuk
mengetahui pola yang digunakan untuk proses perpanjangan berikutnya,” harap
Jahin.
Memang, sebelumnya, pihak perusahaan ada membangun
pola Kebun Koperasi Primer Untuk Anggota (KKPA) yang diberikan untuk masyarakat
sekitar dan sudah melalui proses reformasi tahun 1998 dan dibangun tahun 1999.
“Sampai saat belum ada tanggapan dari pihak perusahaan
atas permintaan petani dan masyarakat dari pihak perusahaan, terkait HGU ini,”
ujarnya. (KT-N)
0 komentar:
Post a Comment