Mendengar
Maluku dan Maluku Utara (se-Maluku) yang terlintas dibenak semua orang adalah
“Kulit hitam manis, rambut keriting, lesung pipi, panorama dan kekayaan hayati
laut, cengkeh,bersuara merdu dan pusat kesultanan tertua di Nusantara yang
terdiri dari Kesultanan Jailolo, Tidore, Bacan dan Kesultanan Ternate.
Maluku pada
saat sekarang telah mengalami banyak perubahan dari berbagai aspek kehidupan
dikarenakan Maluku sendiri tidak bisa lepas dari pengaruh globalisasi yang
menawarkan kehidupan modernitas. Namun dengan pengaruh globalisasi tersebut
juga yang membuat Maluku dan Maluku Utara saat sekarang terjadi krisis
identitas kearifal lokal, hal ini dibuktikan dengan pola kehidupan orang Maluku
yang memulai melupakan budaya saling menyapa (mangatanika), saling membantu
(Homakiriwa), melupakan juga pelestarian sasi adat laut, serta minimnya
Pemerintah Daerah se-Maluku memproduksi budaya local sebagai produk yang
membangun daerah.
Kegiatan ini
diselenggarakan di Asrama Forum Mahasiswa Sula Yogyakarta, yang bertepatan
dengan hari sumpah pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober 2017. Kemudian
yang menjadi kordinator acara ini adalah Muhammad Adha Hi Umar, yang
dimoderatori oleh Saiful Salim dengan para pembicara yang terdiri dari Hasrul
Buamona, Novet Akollo Charles, Faizal Banapon, dan Yusrin Sangaji.
Yusrin Sangaji
pada kesempatan itu mengatakan, pengaruh globalisasi saat ini tidak bisa
dihindari, maka sangat penting kiranya memperbanyak kajian local wisdom Maluku
khususnya di Desa Mangoli Kabupaten Sula dengan melakukan kajian manganatanika
lebih mendalam dan berkelanjutan dikarenakan managanatanika memiliki spirit
untuk menjawab tantangan globalisasi dari berbagai aspek baik itu adat, budaya,
ekonomi, sosial, politik, sumber daya manusia dan sebagainya. Sehingga
Mangatanika harus dijaga sebagai warisan dan pedoman hidup.
Sementara Novet
Akollo Charles, sebagai pembicara memaparkan bahwa desa pada orde baru
mendapatkan diskriminasi dikarenakan tidak memiliki kewenangan lebih seperti
undang-undang desa pada saat ini.
Seperti,
lanjutnya, Homakiriwo sebagai identitas budaya masyarakat Halmahera Utara yang
memiliki makna yakni budaya saling membantu dalam segala hal khususnya dalam
pembangunan desa yang berbasis lokal wisdom, yang saat sekarang mengalami
pergeseran, dipengaruhi juga oleh anggaran dana desa yang membuat masyarakat
menjadi individualis dan berkompetisi tidak sehat demi berebut kekuasaan bukan
membangun desa, dampaknya masyarakat membangun desa tidak lagi berbasis
Homakiriwo melainkan berdasarkan kepentingan politik ekonomi.
“Untuk menjaga
kearifal lokal di desa, maka pemerintah desa harus melibatkan masyarakat adat
itu sendiri khususnya dalam perumusan kebijakan pemerintah desa semisal
pembuatan peraturan desa,” katanya.
“Pemda harus
juga melakukan pemberdayaan sumber daya manusia dengan cara masyarakat diikut
sertakan mengikuti pelatihan industri kreatif yang kemudian pemda memberi modal
agar kedepan masyarakat menjadi wirausaha produk lokal wisdom seperti halnya
kota Bandung,” ucapnya.
Selanjutnya, Hasrul
Buamona sebagai inisiator Forum kajian Lokal Wisdom se-Maluku di Yogyakarta dan
juga sebagai pembicara dalam diskusi publik menjelaskan bahwa ketika visi
pembangunan Presiden Joko Widodo menjadikan maritim bagian utama dalam visi
pembangunan, maka pantai dan laut Maluku dan Maluku Utara yang memiliki beragam
potensi yang menjadi sorotan utama contohnya blok Masela pada saat sekarang.
“Secara
konstitusional masyarakat adat diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, namun
dalam konsiderans UU Lingkungan hidup dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil tidak memasukan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar
pertimbangan lahirnya kedua Undang-Undang tersebut,” katanya.
Menurutnya, ini
masalah karena kedudukan hukum masyarakat tidak akui negara dan ditambah pula
tidak ada kepedulian Pemerintah Daerah untuk mendorong masyarakat melakukan
kajian Hak Ulayat Laut yang telah ada sebelum Negara ini berdiri dan sehingga
tidak menjadi adat dan budaya, namun telah menjadi nilai spiritual.
“Sehingga
dengan ini forum kajian local wisdom anak Adat se-Maluku akan tetap terus
berada didepan dengan mengajak seluruh anak Adat se-Maluku untuk melakukan
advokasi local wisdom Maluku dan Maluku Utara dengan melalui literasi (menulis)
dan diskusi yang kemudian menjadi rekomendasi dan dokumentasi adat dan budaya
bagi pemerintah daerah dan masyarakat Maluku dan Maluku Utara,” tuturnya. (KT-01)
0 komentar:
Post a Comment