Penulis :
Dr. (can) Hasrul Buamona, S.H., M.H.
(Advokat dan Konsultan Hukum Kesehatan serta Direktur LPBH Nahdatul Ulama Yogyakarta)
September 2017 tidak ceria seperti
yang diidamkan oleh segenap masyarakat Indonesia layaknya judul lagu “September
Ceria”. Keceriaan September memudar dikarenakan, mencuatnya di berbagai media
terkait bebasnya peredaran obat-obatan berdosis tinggi yang dilarang beredar bebas
oleh aturan hukum. Medio September 2017 di Kota Kendari Sulawesi Tenggara
dikejutkan dengan penyalahgunaan obat PCC (paracetamol-caffein-carisoprodol)
yang memakan korban anak-anak yang kedepan menjadi penerus bangsa. Dugaan obat
PCC tersebut sampai di konsumsi dikarenakan ada oknum Apoteker melakukan pengedaran
secara illegal obat PCC tersebut.
Menurut Ketua IAI, Nurul Falah Edi
Pariang memang benar rekan sejawat kami yang ditahan terkait obat Tramadol, sehingga
IAI menghimbau seluruh apoteker di daerah agar hati-hati dan ikuti peraturan
yang ada. Manakala harus memakai resep dokter, ya harus diikuti (Media
Indonesia.com 26/9/2017).
Permasalahan pengedaran obat berdosis tinggi
dan jenis obat lainnya secara illegal di Indonesia bukan peristiwa yang baru terjadi,
melainkan tindakan illegal tersebut telah lama terjadi hanya public khususnya
media belum mempublikasikan hal tersebut untuk dijadikan masalah nasional. Tentunya
ingat, padaAgustus 2016 terdapat kasus pengedaran vaksin palsu yang dilakukan tidak
lain oleh tenaga medis perawat yang menjualnya pada rumah sakit ternama di
Jakarta. Persoalannya sama dimana pemerintah selalu bersikap reaktif ketika ada
masalah dan terlihat pengawasan begitu melemah mulai dari perusahan farmasi,
distribusi farmasi sampai rumah sakit atau apotek yang menggunakan obat tersebut,
sehingga pelanggaran hukum kefarmasian khususnya obat selalu saja terjadi.
Menurut Zulhaima Rezna Salampessy salah
satu apoteker di Kota Ambon Propinsi Maluku dalam wawancara dengan penulis, berpendapat
bahwa terkait obat PCC tersebut telah ditarik peredarannya oleh BPOM sejak tahun
2013, namun ada oknum tertentu yang belum tentu apoteker melakukan produksi obat
PCC dan menjual obat PCC tersebut secara luas. Selanjutnya menurut Zulhaima Salampessy
pengawasan obat yang telah kadaluarsa harus segera dimusnakan dengan membuat berita
acara pemusnahan yang kemudian ditunjukkan ke BPOM dan Dinas Kesehatan ssetempat,
sedangkan obat dosis tinggi setiap pembelian di Apotek harus disertai resep dokter.
Diakhir wawancara, Zulhaima Salampessy
mengharapkan adanya pengawasan khusus terhadap anggota dan sarana pelayanan dari
Ikatan Apoteker Indonesia, serta pemerintah dan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia)
menyusun aturan yang melindungi apoteker dikarenakan tidak semua apoteker memiliki
niat jahat untuk kepentingan ekonomi sesaat.
Terkait Obat PCC yang tentunya telah membahayakan
banyak orang khususnya generasi muda, dalam Al-qur’an
juga telah melarang penggunaan obat yang member dampak buruk bagi kesehatan
umat manusia sebagaimana diatur dalam surat Al-Maidah
[5]:32 “Barangsiapa yang menghidupkan seseorang, dia bagaikan menghidupkan manusia
semuanya”, selanjutnya diatur juga dalam surat Al-Anam [6]:119 “Padahal,
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-nya atas
Mu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan
(dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka
tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang melampaui batas” .
Defenisi Obat dalam UU Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan yakni “bahan
atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki system fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi,
untuk manusia”.
Dalam
kasus obat PCC terdapat ruang bebas tanpa control penggunaan dan pengedarannya
yang oleh Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan telah mengatur bahwa “Praktik
kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Apabila
melihat kembali dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian telah mengatur bahwa penyelenggaraan kefarmasian harus didukung
oleh ketersediaan sumberdaya kefarmasian yang berorientasi kepada keselematan pasien.
Selain itu dalam Permenkes ini mengharuskan Apotek wajib mengirimkan laporan pelayanan
kefarmasian secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Menjadi permasalahan terbesar terletak
pada sikap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi,
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan BPOM yang selalu saja bersikap reaktif, ketika
masalah ini mencuat ke public dan telah memakan korban. Namun jarang melakukan upaya
preventif semisal melakukan sosialisasi terkait penggunaan dan pemanfaatan obat-obatan
mana yang harus dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi masyarakat, melakukan
audit dan evaluasi kolektif baik bersama Apoteker, Apotek baik di klinik maupun
di rumah sakit terkait jenis-jenis obat-obatan yang berdosis tinggi serta kadaluarsa
obat-obatan yang tidak boleh diperjualbelikan. Padahal secara normative pengaturannya
telah baik secara struktur dan system. Bahkan dalam ayat suci Al-qur’an telah jelas
bahwa pengedaran obat-obatan yang membahayakan nyawa orang lain adalah perbuatan
yang diharamkan.
Sehingga dari beredarnya obat PCC
tersebut telah merugikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, penulis mengharapkan
pemerintah jangan lagi bersikap reaktif dan mulailah melakukan upaya preventif,
rehabilitasi, kuratif dan promotif dengan cara memperbanyak sosialisasi dan pendidikan
penggunaan obat-obatan yang baik secara medis kepada masyarakat, dengan tidak lupa
bekerjasama dengan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), serta mengupayakan para pelaku
yang membuat dan mengedarkan obat PCC ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
#Mena (*)
0 komentar:
Post a Comment