Pengurus
Besar (PB) Anak Muda Indonesia (AMI) memberikan apresiasi positif kepada
Pemerintah Republik Indonesia dibawa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang
cukup serius dalam merespon masalah kemanuusiaan di Rakhine State, Myanmar.
“PB
AMI mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi yang cukup serius merespon persoalan kemanusiaan di Rakhine State,”
kata Ketua PB AMI Bidang Politik Hukum dan HAM, Abubakar Solissa kepada Kompastimur.com, Selasa (12/9).
Menurut
pria yang akrab disapa Abu ini, apa yang telah dilakukan oleh Menteri Luar
Negeri sejauh ini sudah cukup baik.
“Langkah-langkah
yang di ambil oleh Ibu Retno dalam membangun komunikasi dengan berbagai pihak,
termasuk pemerintah Myanmar sangatlah tepat,” ucapnya.
Walau
telah melakukan upaya diplomasi maupun mendistribusikan bantuan logistik, AMI
berharap upaya Pemerintah Republik Indonesia tak hanya sebatas itu saja dalam
membantu etnis Muslim Rohingya. Tetapi lebih dari itu, Pemerintah Republik Indonesia
diharapkan mampu memperjuangkan status kewarganegaraan mereka yang hingga kini
tak menentu.
“Tapi
kita berharap, selain upaya diplomasi dan bantuan logistik yang di suplay ke
tempat pengungsian etnis muslim rohingya, ada upaya yg lebih serius juga yg
harus dilakukan. Pemerintah Indonesia harus bisa memperjuangkan legitimasi
kewarganegaraan etnis Muslim Rohingya sehingga mereka tidak lagi hidup dalam
ketidakpastian,” pungkasnya.
Sebagaimana dikutif dari voindonesia.com,
menindaklanjuti upaya membantu mengatasi krisis kemanusiaan di negara bagian
Rakhine, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi hari Senin (4/9) bertemu
dengan beberapa pejabat Myanmar dan menyampaikan usulan “4 plus 1”. Myanmar
menyambut baik usul itu dan siap mengikutsertakan Indonesia dalam tim misi
kemanusiaan di Rakhine.
“Kita menyampaikan keprihatinan akan situasi di Rakhine yang telah
memakan korban, baik korban meninggal, luka-luka dan mengungsi,” ujar Retno.
Demikian pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi
usai mengadakan pertemuan pertama dengan Panglima Angkatan Bersenjata U Ming
Aung Hlaing di Naypitaw hari Senin. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut upaya
diplomasi Indonesia menyikapi meluasnya aksi kekerasan di negara bagian
Rakhine, yang mayoritas dihuni warga Muslim-Rohingya.
Militer Myanmar Laporkan
400 Orang Tewas dalam Aksi Kekerasan di Rakhine Pekan Lalu
Mengutip laman militer di Facebook, VOA Sabtu lalu (2/9)
melaporkan bahwa hampir 400 orang tewas dalam aksi kekerasan di Rakhine pekan
lalu. Para pejabat militer mengatakan 370 korban tewas itu adalah pemberontak,
29 lainnya adalah polisi dan warga sipil.
Namun, warga minoritas Muslim-Rohingya melaporkan bahwa desa-desa
mereka telah diserang. Human Right Watch mengindikasikan kebenaran laporan itu
dengan merujuk pada citra satelit yang direkam pada hari Kamis (31/8) di desa
berpenduduk Muslim Chein Khar Li, di Rathedaung, yang memperlihatkan hancurnya
700-an bangunan yang dilalap api.
Seorang polisi Myanmar siaga di dekat kawasan permukiman yang
dibakar dalam kekerasan di kota Maungdaw, negara bagian Rakhine, Myanmar
(30/8).
Wakil Direktur Human Rights Watch Untuk Asia Phil Robertson
mengatakan, “Itu hanya satu dari tujuh belas tempat di mana kami temukan
pembakaran.”
Setelah menghubungi Penasehat Keamanan Nasional Myanmar U Thaung
Tun, Menteri Luar Negeri Bangladesh Mahmood Ali dan mantan Sekjen PBB Kofi
Annan yang kini juga menjadi Ketua Komisi Penasehat Negara Bagian Rakhine,
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi Minggu sore (3/9) terbang ke ibukota
Yangon dan mulai Senin (4/9) mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat
Myanmar.
Menlu Retno Sampaikan
Usul “4+1” Untuk Rakhine
Dalam pertemuan dengan Panglima Angkatan Bersenjata U Ming Aung
Hlaing, disampaikan usulan Indonesia yang disebut “formula 4+1 untuk Rakhine”.
Empat usul itu adalah mengembalikan stabilitas keamanan, menahan
diri secara maksimal untuk tidak menggunakan kekerasan, memberi perlindungan
kepada semua orang di Rakhine tanpa memandang latar belakang suku dan agama,
dan membuka akses bantuan kemanusiaan.
“Saya juga membahas soal laporan Kofi Annan, dan kami meminta
militer memberi dukungan pada rekomendasi Kofi Annan. Dan hal terakhir yang
saya sampaikan adalah pentingnya menjaga kerjasama dengan otorita Bangladesh,
karena tanpa itu akan sulit mengelola perbatasan. Dalam pembicaraan itu pihak
militer Myanmar menyampaikan informasi dari lapangan, tetapi ada dua hal yang
terus saya tekankan yaitu perlunya wisdom dan leadership dari pihak militer
untuk memberi perlindungan pada setiap orang, terutama warga sipil yang tidak
berdosa. Terutama lagi terhadap kaum perempuan dan anak-anak,” ungkap Retno.
Bertemu Suu Kyi, Menlu
Fokus soal Pembukaan Akses Bantuan Kemanusiaan
“Formula 4+1 bagi Rakhine” itu kembali disampaikan Retno Marsudi
ketika bertemu dengan State Counselor atau Menteri Luar Negeri Myanmar Aung San
Suu Kyi. Namun secara khusus kedua pejabat membahas pemberian akses bantuan
kemanusiaan di Rakhine.
“Ketika saya bicara dengan Aung San Suu Kyi… fokus perhatian kita
adalah krisis kemanusiaan di Rakhine. Kita bicara agak panjang tentang akses
bantuan kemanusiaan pada orang yang sangat membutuhkan. Misi bantuan
kemanusiaan ini akan dipimpin oleh pemerintah Myanmar dan melibatkan dunia
internasional, dalam hal ini ICRC dan beberapa negara lain. Atas usulan
Indonesia, pemerintah Myanmar menyambut baik agar Indonesia atau ASEAN menjadi
bagian penting dalam mekanisme pemberian bantuan kemanusiaan di Rakhine.
Assessment mengenai bantuan apa yang diberikan, target mana yang harus
didahulukan akan segera disampaikan,” lanjut Retno.
Komisi Penasihat Rakhine
Sorot Isu Kewarganegaraan untuk Selesaikan Krisis
Rekomendasi Komisi Penasihat Rakhine pimpinan Kofi Annan yang
banyak disorot dalam pertemuan-pertemuan tersebut telah dituangkan dalam
laporan setebal 63 halaman yang dirilis bulan lalu. Salah satu rekomendasi
penting komisi itu adalah soal isu kewarganegaraan, yang dinilai sebagai
hambatan utama mencapai perdamaian di Rakhine.
"Jika isu ini tidak segera ditangani, isu ini akan tetap
menjadi penyebab signifikan terjadinya penderitaan kemanusiaan dan
ketidakamanan, yang tentunya akan mengganggu pembangunan ekonomi dan sosial di
seluruh Myanmar," demikian pernyataan laporan itu.
Komisi itu menyerukan kepada pemerintah Myanmar "untuk
menetapkan strategi dan jangka waktu bagi proses verifikasi
kewarganegaraan." Otorita berwenang juga didesak untuk mengklarifikasi
status mereka yang tidak mendapat kewarganegaraan dan menjelaskan apakah
penetapan itu sesuai dengan standar internasional.”
Secara khusus Komisi Penasehat Rakhine merekomendasikan revisi UU
Hak Warga Negara Tahun 1982 di Myanmar karena klasifikasi kewarganegaraan dalam
aturan hukum itu sangat rumit dan kerap dikaitkan dengan etnis tertentu.
Pemerintah Myanmar akan
Bentuk Komite untuk Implementasi Rekomendasi Kofi Annan
Merujuk rekomendasi itu, pemerintah Myanmar mengatakan akan
membentuk komite implementasi dan badan penasihat untuk mengawasi pelaksanaan
rekomentasi tersebut.
Tahun 2014 PBB Sampaikan
Keprihatinan Serius soal Krisis Rohingya
Rekomendasi itu seakan seakan menggaungkan kembali seruan PBB
tahun 2014 ketika menyambut reformasi politik dan ekonomi di Myanmar, namun
sekaligus menyampaikan "keprihatinan serius" terhadap krisis
Muslim-Rohingya. PBB ketika itu menuntut "akses yang setara untuk
memperoleh kewarganegaraan bagi seluruh kelompok minoritas Rohingya" dan
memastikan akses yang setara pula bagi kelompok ini untuk memperoleh layanan
publik.
Menanggapi seruan PBB itu, Myanmar ketika itu mengatakan pihaknya
siap memberi jaminan kewarganegaraan kepada kelompok Muslim-Rohingya jika
mereka mengidentifikasi diri sebagai "Bengali", terminologi yang
ditolak mentah-mentah oleh kelompok minoritas itu. (KTA-VOA)
0 komentar:
Post a Comment