Kejahatan seksual bergerombol atau sebutan lain
kejahatan moralitas "geng rape" kembali terjadi lagi di Pulau Buru,
Maluku setelah tragedi Yuyun (13) di Bengkulu tahun lalu.
Putri remaja DRCF (13) salah satu warga Desa Nametek
Tanjung, Namlea, Kabupaten Buru salah satu korban kebejatan kejahatan seksual
yang disinyalir dilakukan 20 orang secara bergantian.
Perbuatan keji, bejat dan tidak berprikemanusiaan itu
bermula dari laporan NR penduduk Desa Namlea, Sabtu (02/07) kepada penyidik
Polri di Polres Pulau Buru.
Menurut pengakuan korban yang diceritakan kepada NR
dan kepada penyidik Polri, korban mengalami kejahatan seksual secara
bergerombol di berbagai tempat yang berbeda dan selepas kejadian itu korban
ditinggalkan begitu saja.
Dari hasil pantauan Quick Investigator Komnas Anak Tim
Kerja di Maluku melaporkan bahwa Kondisi fisik korban saat ini masih dalam
keadaan lemah dan korban saat ini
memerlukan pertolongan pendampingan psikolohis karena korban mengalami
trauma dan depresi yang dikawatirkan secara diam-diam korban mengambil langkah
bunuh diri.
Perbuatan ini bukan saja mengusik rasa kemanusiaan,
tetapi juga telah mencabik-cabik harkat dan martabat kemanusiaan dan
menimbulkan rasa marah yang terus berkecamuk jika mengingat-ingatnya dan
menuntut para aparatur penegak hukum untuk menetapkan dengan pasti ketentuan
pasal 81 ayat 1, 3 dan ayat 4 UU RI No. 17 Tahun 2016 tentang penerapan
Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 01 Yahun 2016 mengenai perubahan
kedua UU RI No. 01 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU RI No. 35 Tahun 2014
dengan ancaman hukuman minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun ditambah dengan
pemberatan hukuman fisik seumur hidup dan kebiri (kastrasi) lewat suntik kimia
dan pengungkapan identitas pelaku sebagai pelaku predator kejahatan seksual
yang harus diwaspadai kepada public, namun tidak termasuk untuk anak sebagai
pelaku atau anak yang berhadapan hukum.
Apalagi setelah melihat photo-photo para pelaku bejat
dan tak bermoral itu menimbulkan kemarahan yang teramat berkecamuk. Ironinya,
dari 20 terduga pelaku, 6 diantaranya adalah anak berusia dibawah 17 tahun. 14
pelaku telah ditangkap untuk dimintai keterangan, sementara 6 terduga pelaku
dalam posisi buron atau masuk daftar pencarian orang (DPO).
Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga
independen di bidang promosi, Sosialisasi dan Perlindungan Anak di Indonesia
mendesak untuk segera agar aparatur penegak hukum menetapkan sanksi yang sesuai
dengan ketentuan hukum. Dan mendesak Polres Pulau Buru untuk segera menangkap
dan menahan 6 orang pelaku DPO.
“Yurisprudensi ini telah ada dan telah diterapkan oleh
PN Negeri Sorong dimana para pelaku atau predator kejahatan seksual dikenakan
sanksi hukuman seumur hidup berdasarkan yang didasari landasan hukum dari
ketentuan UU RI No. 17 Tahun 2016,” kata Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak,
Arist Merdeka Sirait kepada media ini di Jakarta, Senin (04/09).
Arist menambahkan, para predator kejahatan seksual
bergerombol sudah saatnya menerima hukuman setimpal dengan perbuatannya.
Alangkah tidak adil dan tidak bermoralnyalah kita jika kita biarkan terus
merajalelanya kejahatan seksual bergerombol ini terjadi dan permisif kita dan
apatatur penegak hukum di negeri ini terhadap anak.
“Para pemimpin, tokoh masyarakat, agama dan adat,
kalangan akademisi, jurnalis dan penyelenggara negara sudah patut menyatakan
seruan hentikan geng rape sekarang juga,” tegasnya.
Untuk kepentingan terbaik anak dan pemulihan
psikologis korban, Komnas Perlindungan Anak mendesak Dinas Sosial dan Dinas
Kesehatan Pemerintah Kabupaten Buru, secara bersama segera melakukan evakuasi
terhadap korban dan menempatkan korban dirumah aman (savety house) untuk
mendapatkan pelayanan pemulihan psikologis dan pendampingan hukum. (KT-01)
0 komentar:
Post a Comment