Arist Merdeka Sirait |
Jakarta, Kompastimur.com
Angka kekerasan terhadap anak dalam berbagai bentuk
perisakan (bullying) di lingkungan sekolah baik yang dilakukan guru, pengelola
lembaga pendidikan maupun sesama peserta didik dua tahun tetakhir ini terus
saja meningkat.
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka
Sirait kepada Kompastimur.com, Selasa
(12/9) mengaku, melalui pengaduan langsung dan pelayananan hotline service,
Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga independen berbadan hukum dibidang
pembelaan, promosi dan perlindungan anak di Indonesia, di tahun 2015 menerima 89 pengaduan perisakan terhadap anak di lingkungan
sekolah, meningkat di tahun 2016 menjadi 112,
dan 68 kasus di tahun 2017 (Januari - Juni).
”Pengaduan masyarakat atas kasus perisakan ini umumnya
datang dari masyarakat di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
dan Bogor (Jabodetabek) sebagian dari
wilayah Banten, Jawa Barat, dan Lampung beberapa kasus datang dari Jawa Tengah
dan Medan,” kata Arist.
Pengaduan yang diterima Komnas Perlindungan Anak,
pelaku perundungan sebutan lain dari perisakan, 48 % dilakulan sesama peserta
didik, 22 % oleh guru 15% oleh pengelolah sekolah dan selebihnya dilakukan oleh
lain-lain.
Lanjutnya, data yang diterima dan dikumpulkan Pusat Data dan Informasi (
Pusdatin) Komnas Anak sepanjang tahun 2016 dan 2017, perundungan yang dilakukan
guru atau pengelolah sekolah, dilakukan dalam bentuk mengejek, menghina
mengucilkan, membanding-bandingkan kepintaran antara satu siswa ke siswa
lain serta merendakan martabat anak
bahkan dilakukan dalam bentuk memberikan sanksi dikeluarkan dari jam-jam mata
pelajaran yang diberikan guru dan wali kelasnya.
Sementara perisakan yang dilakukan sesama peserta
didik (murid) di lingkungan sekolah
dilaporkan dilakukan dalam bentuk intimidasi, pemalakan, kekerasan fisik
dalam bentuk menendang dan menampar korban, menjambak rambut, memerintahkan
mencium kaki pelaku dan kekerasan seksual dalam bentuk memerintahkan berciuman
di hadapan pelaku yang disaksikan secara beramai-ramai serta mendokumentasikan
dalam bentuk photo dan atau video, memeras payudara korban, mengucilkan dari
ruang kelas serta dari aktivitas sekolah.
Kasus perisakan yang tejadi beberapa bulan lalu yang
dilakukan siswa dan siswi SMP dan SD terhadap siswi SMP di Pusat Perbelanjaan
Thamrin City Jakarta Pusat dan telah menyedot perhatian masyarakat, adalah satu bentuk kasus perisakan yang sulit
diterima akal sehat manusia karena diinisiasi oleh siswa dan siswi pada usia SD
dan SMP.
”Kasus yang hampir serupa juga terjadi di SMP Lembata
NTT, namun ironisnya perisakan ini
justru dilakukan oleh guru yang seyogianya memberikan perlindungan kepada
muridnya. Namun BB yang menjadi guru Bahasa Indonesia di SMP Lembata Nusa
Tenggara Timur (NTT) justru melakukan perisakan yang sulit diterima akal sehat
yang mengakibatkan FK, 16, siswa kelas satu SMP itu melakukan percobaan bunuh
diri dengan cara menenggak racun rumput dirumahnya karena tidak tahan mendapat
ejekan dan hinaan dari gurunya,” ungkapnya.
Katanya lagi, belum juga usai kasus perisakan yang
terjadi di Pusat Perbelanjaan Thamrin City di Jakarta Pusat dan kasus
perundungan terhadap FK , 16, di SMP Lembata NTT, Komnas Perlindungan Anak melalui temuan Quick
Investigator LPA Siantar dan laporan
media di Siantar dikejutkan dengan kasus dugaan perisakan yang diduga dilakukan
2 orang guru terhadap SDHP muridnya disalah satu SMA A di Siantar. Namun
kasusnya belum mendapatkan kepastian hukum sekalipun telah dilaporkan ke Polsek
Bangun.
Menurut keterangan orangtua korban, lanjut Arist, perisakan
yang diderita anaknya SDHP, lutut
anaknya bergeser karena diduga mendapat tendanngan kaki guru dan kepala
bagian belakang terasa bengkak karena juga diduga akibat dari pukulan benda
tumpul. Dan karena mendapat bullying itu korban saat ini tidak lagi mau sekolah
karena trauma, gangguan mental dan takut
untuk memberikan keterangan kepada penyidik.
Berdasarkan pengalaman empirik Komnas Anak sebutan
lain dari Komnas Perlindungan Anak dalam menangani anak yang mengalami
perundungan "bullying" yang terjadi di lingkungan sekolah selama ini,
jika tidak ditangani dan didampingi secara baik dapat menimbulkan gangguan
psikologis bahkan dorongan untuk melakukan bunuh diri. Kasus percobaan
bunuh diri yang dilakukan FK (15) dengan menenggak racun rumput setelah
mendapat perisakan dari gurunya adalah salah satu bukti nyata dampak buruk dari
perundungan itu, jika tidak dihentikan akan berdampak negatif terhadap
perkembangan psikologis dan intelektualitas korban.
Menurutnya, mengingat dampak buruk dari perisakan
"bullying", dapat merusak masa depan anak dan intelektualitas anak, Arist
Merdeka Sirait aktivis Perlindungan Anak yang telah digeluti sejak 27 tahun
lalu, memandang perlu mendorong dan mendesak Menteri Pendidikan Nasional
mengimplementasikan pasal 54 UU RI No. 23 Tahun 2002 yang telah diubah
kedalam UU RI No. 36 Tahun 2014 tetang Perlindungan Anak junto UU RI No. 23 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional yang mewajibkan lingkungan sekolah menjadi zona aman dan
anti kekerasan terhadap anak.
Disamping itu, kata Arist, untuk memastikan kasus bullying
sebagai isdue bersama (commond isdue) serta
untuk memutus mata rantai Perisakan "bullying" di lingkungan
sekolah sangatlah diperlukan komitmen bersama antara komite sekolah, orang tua,
peserta didik dan otoritas pengelolah sekolah untuk melibatkan anak bicara tentang solusi bullying.
“Untuk kepentingan terbaik anak dan untuk melindungi
anak dari ancaman bullying diruang kelas dan lingkungan sekolah, berdasarkan
komitmen dan perjanjian international
yang didasari oleh artikel Konvensi PBB Tentang Hak Anak serta komitmen
pemerintah tentang dunia layak anak, Komnas Perlindungan Anak, dalam waktu tidak begitu lama segera
mendorong Mendiknas menggagas bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak untuk mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri dan lintas lembaga
yang mewajibkan Lingkungan Sekolah menjadi Sekolah Ramah Anak dan memberikan
apresiasi dan penghargaan "reward " bagi sekolah ramah anak,”
pungkasnya. (KT-01)
0 komentar:
Post a Comment