Oleh : Hersubeno Arief
Dalam teori
jurnalistik dikenal satu prinsip dasar yang pantang dilanggar, yakni “tembok
api” (firewall theory). Secara sederhana dalam prinsip tersebut diatur, bahwa
para pengiklan bahkan penyandang dana media sekalipun, tidak boleh mempengaruhi
redaksi atau wartawan untuk menulis sesuatu atau tidak menulis sesuatu.
Profesi wartawan adalah profesi yang merdeka.
Mereka hanya boleh berpihak, bila hal
itu berkaitan dengan kebenaran dan kepentingan umum.
Di Amerika
Serikat (AS) yang tradisi jurnalistiknya
lebih mapan, 'firewall theory' diterapkan dengan sangat keras, bahkan
secara harfiah _(letterlijk). Jika Anda jeli mengamati, maka pada media-media
cetak yang mempunyai reputasi, ada semacam garis tipis yang membatasi antara
artikel dan iklan.
Sejumlah media
dengan keras membedakan halaman iklan dan halaman berita. Mereka bahkan memisahkan kantor redaksi dengan kantor iklan. Jurnalistik menjadi semacam profesi
suci yang harus terbebas dari kepentingan bisnis, baik dari pemilik media,
maupun para pemasang iklan.
Apakah 'firewall
theory' masih berlaku hari-hari ini?
Pertanyaan tersebut pantas diajukan di tengah gencarnya promosi Kota
Meikarta. Mereka mengguyur media, baik cetak, online, radio dan televisi dengan
iklan besar-besaran.
Coba buka
halaman surat kabar terkemuka di Jakarta, klik media-media online, pencet
tombol radio dan televisi, dijamin Anda
akan menemukan iklan kota baru yang tengah dibangun oleh Lippo, apapun
medianya.
Media nasional
dibuat basah kuyup oleh iklan Meikarta. Ini merupakan sebuah berkah, terutama
bagi media cetak dan online. Laporan dari lembaga riset AC Nielsen menyebutkan
belanja iklan pada tahun 2016 naik,
namun porsi untuk media cetak terus menurun. Sementara media online belum signifikan. Porsi terbesar tetap diraih media
televisi, sebesar 77%.
Pada tahun 2017
situasinya diperkirakan akan tetap sama. Namun hadirnya Meikarta agaknya akan
mengubah komposisi pengiklan. Selama ini belanja iklan terbesar berasal dari
pemerintah dan partai politik.
Sepanjang
sejarah peluncuran (launching) sebuah produk, apalagi produk sebuah properti,
rasanya belum pernah kita menemukan iklan dan marketing yang sedahsyat Kota
Meikarta.
Iklan properti
dari reklamasi Pantai Utara Jakarta pun tidak semassif itu. Padahal nilai
proyek reklamasi sebesar Rp 500 trilyun, jauh lebih besar dibanding proyek
Meikarta sebesar yang katanya sebesar Rp
278 triliun.
Coba tolong
sebutkan, adakah sebuah produk yang berani memborong iklan lima halaman
berwarna berkali-kali di berbagai media cetak nasional? Adakah yang berani
memasang iklan banner di sejumlah media online,
setiap hari dan setidaknya sudah berlangsung sejak bulan Mei lalu?
Adakah produk yang memasang iklan di radio dan televisi dengan frekuensi yang sangat tinggi?
Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) bahkan sampai memprotes sebuah media cetak, karena 30
persen dari halamannya berisi iklan Meikarta.
Setiap kali
Wakil Gubernur Jabar Demiz Mizwar (Demiz) bersuara keras, tak lama kemudian
iklan Meikarta muncul bertebaran di
berbagai media. Jangan-jangan para tenaga pencari iklan media, diam-diam
berharap agar Demiz sering bersuara "keras, sehingga budget iklan terus
mengucur deras.
Situasi ini
sesungguhnya sangat ironis. Bagaimana mungkin media menutup mata bahwa Meikarta
adalah sebuah kota yang dibangun tanpa izin. Sebuah produk yang disebut Demiz
illegal dijual besar-besaran dan iklannya diterima dengan senang hati bahkan
dengan suka cita oleh media.
Para pimpinan
media yang menerima iklan tersebut barangkali bisa berkilah, tidak ada
pengaruhnya iklan besar-besaran tersebut dengan independensi media. Organisasi
kewartawanan termasuk Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) yang biasanya
“sangat kritis,” juga tidak terdengar
suaranya.
Dalam beberapa
kesempatan, sejumlah media kedapatan memlintir fakta tentang sengkarut
Meikarta. Tak lama setelah Demiz
bersuara keras Presiden Komisaris Lippo Theo Sambuaga dan Presiden
Direktur Meikarta Ketut Budi Wijaya menemuinya. Sejumlah media mengutip
pernyataan Theo bahwa Pemprov Jabar
mendukung sepenuhnya pembangunan Meikarta.
Faktanya Demiz
tidak pernah menyatakan itu. Dia malah meminta Meikarta segera menghentikan
penjualannya. Demiz menyebutnya sebagai bentuk penipuan. Kriminal karena
menjual barang illegal.
Sejumlah media
juga mulai menyuarakan sikap Jenderal Naga Bonar itu sebagai bentuk kebijakan
yang anti investasi, dari Pemprov Jabar.
Jelas ini merupakan serangan balik terhadap sikap keras Demiz.
Tak peduli
dengan keberatan Pemprov Jabar, Meikarta akhirnya secara resmi diluncurkan
bertepatan dengan hari kemerdekaan RI ke-72 pada tanggal 17 Agustus lalu.
Acaranya yang digelar di sebuah mal tersebut dikemas sangat patriotis. Dengan
backdrop merah putih dalam ukuran besar dan sebuah orchestra mengiringi nyanyian lagu “Tanah Airku Indonesia.”
Liputan medianya sungguh luar biasa. Tidak ada satupun media yang
bersikap kritis dan mempertanyakan,
bagaimana mungkin kota yang belum berizin dan penjualannya diminta
dihentikan, malah secara resmi diluncurkan (grand launching). Ini tantangan
terbuka bagi Demiz dan Pemprov Jabar.
Silakan 'googling' dan Anda baca sendiri bagaimana media memberitakannya. Isinya berisi puja-puji
atas kehebatan Kota Meikarta, kekaguman dan keyakinan para pembeli. Media juga menulis Meikarta
berhasil menjual 100.000 unit apartemen.
Sungguh beritanya sangat menggoda dan membuat
siapa saja ingin berlomba-lomba membelinya. Tidak ada satupun yang bersikap
kritis. Agak sulit membedakan, apakah itu iklan atau berita?
Melewati batas
Relevansi
pentingnya menjaga “tembok api” ini
tentu perlu diingatkan kembali. Guyuran iklan besar-besaran Meikarta berpotensi
memadamkan “tembok api” yang nyalanya, seharusnya benar-benar dijaga oleh
media. Atau jangan-jangan “tembok api” itu sesungguhnya sudah tidak ada dan
sudah lama runtuh, sehingga Meikarta atau pemilik dana besar lainnya bisa dengan leluasa menerobosnya.
David Shaw
seorang kritikus media menulis kisah menarik yang terjadi pada 'The Los Angeles Times'. Tulisan
tersebut barangkali bisa menjadi
pengingat para pekerja media. Pada
tahun 1999 penerbit 'The Times' mengadakan kesepakatan dengan pengembang Staples Center yang sedang membangun
arena hoki dan basket.
'The Times' setuju majalah edisi mingguan mereka membuat liputan khusus tentang pembukaan
arena baru tersebut. Sebagai kompensasinya, pengembang dan 'The Times' akan
berbagai keuntungan dari perolehan penjualan iklannya.
Sangat sedikit
pekerja, terutama wartawan yang tahu tentang kesepakatan penerbit dan kantor penjualan Staples Center.
Para reporter dan editor yang bekerja di majalah tersebut menganggap semua itu
bisnis seperti biasa.
Saat rincian
kesepakatan muncul ke publik,
mereka kaget dan menjadi sangat marah. Hal ini berkaitan
dengan kredibilitas mereka sebagai media yang independen dan mempunyai
reputasi sangat baik. Bagaimana mungkin pembaca mempercayai 'TheTimes' bisa
bersikap independen pada pengembang yang
mempunyai kerjasama bisnis dengan mereka?
Lebih dari 300 wartawan dan editor 'The
Times' menandatangani petisi menuntut agar penerbit meminta maaf dan berjanji untuk tidak pernah
melakukannya lagi. Penerbit 'The Times' yang kebetulan seorang wanita, akhirnya meminta maaf dengan menuliskan 30.000 kata yang disebut
dalam bahasa latin disebut sebagai 'mea culpa' (kesalahan saya). Sebuah
pengakuan dosa dari penerbit. David Shaw menyebut kesalahan itu telah melewati
batas (crossing the line).
Agak sulit
membayangkan wartawan ataupun redaktur media di Indonesia melakukan hal itu.
Apalagi hampir semua pemilik media _mainstream_ terkait dengan partai politik
ataupun kelompok konglomerasi. teori “tembok api,” tampaknya hanya sebuah ilusi.
Bila karena
guyuran iklan, atau kepentingan bisnis
para pemiliknya, media membiarkan nyala
“tembok api” itu padam, maka masyarakat
madani (civil society) harus mengingatkan dan bersuara keras. Kalau perlu,
ambil-alih peran. Jaga “tembok api” independensi itu agar tetap
menyala. (*)
0 komentar:
Post a Comment