Namrole,
Kompastimur.com
Kantor Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kabupaten Buru Selatan (Bursel), Senin (14/8) sekitar pukul 11.30
WIT dirusaki 50-AN orang pengungsi dari tiga Desa yakni Desa Siwar, Desa Elara
dan Desa Selasih, Kecamatan Ambalau.
Mengamuknya puluhan pengungsi korban
politik 2015 lalu ini, bukan tanpa sebab. Setelah mengunggsi hampir dua tahun
dan tiba-tiba mendengar akan segera dipulangkan ke Desa asal hanya dengan
diberikan uang pemulangan senilai Rp. 950.000, membuat puluan pengungsi ngamuk
lantaran tak dapat merima perlakuan tersebut.
Akibat dari amukan puluhan pengungsi,
jendela kaca pada Sembilan ruangan di Kantor BPBD Bursel pecah berhamburan dan
satu buah meja tenis pun ikut rusak.
Kondisi ini membuat Kantor BPBD Bursel
seketika ditutup dan para staf maupun Kepala BPBD Bursel terpaksa menutup
kantor, sebelum berakhirnya jam kantor.
Puluhan masa yang tak puas, akhirnya berbodong-bondong
mendatangi Kantor Bupati Bursel, untuk meminta penjelasan Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) setempat.
Setelah tiba di Kantor Bupati, mereka
kemudian ditemui Sekretaris Daerah (Sekda) Bursel Syahroel Pawa, Kepala BPBD
Bursel Awat Mahulauw, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol) PP Kabupaten
Bursel Asnawi Gay, Kepala Dinas (Kadis) Sosial Bursel Rivai Bantam dan Kepala
Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Bursel Abdul
Muthalib Laitupa, di ruang rapat Bupati dan Wakil Bupati Bursel.
Tanpa banyak basa-basi, Sekda selaku
pimpinan rapat langsung berusaha menjelaskan permasalahan yang membuat puluhan
pengungsi tersebut mengamuk. Pertama,
anggaran pemerintah yang disediakan untuk membangun kembali rumah pengungsi ini
dalam perjalanan waktu tak sesuai, disebabkan saat pendataan paska konflik
politik kondisi rumah korban masih ada yang dalam kondisi rusak ringan, sedang
dan berat.
“Ternyata saat ini kondisinya berubah,
dimana sejumlah rumah yang awalnya hanya mengalami kerusakan ringan hingga
sedang kini malah menjadi rusak berat, padahal angaran yang kita usulkan sejak
awal itu berdasarkan kondisi awal. Jadi, ketika dilaksanakan pekerjaan di
lapangan anggaran tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang ada saat ini,” kata
Pawa.
Menurut Pawa, ini bukan kemauan pihaknya
sendiri, dimana bisa merubah data, karena pada saat pemeriksaan akan menjadi
masalah. Kedua, terkait ongkos pulang
itu sudah dihitung sedemikian rupa, ketika dibagi untuk 125 KK, maka tiap KK
hanya menerima Rp 950.000.
“Sebetulnya nilai ini pun setelah
selesai pembahasan dengan DPRD dan telah diketuk palu pun nilainya tidak
begitu, tapi terakhir Pa Awat mencari jalan keluar bersama, saat itu saya masih
menjabat Kepala Bappeda dan akhirnya jadilah demikian untuk 125 KK untuk pemulangan,”
tutur pria yang akrab disapa Uli ini.
Ketiga,
Peralatan dan perlengkapan sudah disiapkan sesuai jumlah 125 KK, bahkan keamanan
juga telah kita siapkan. Namun dengan adanya berbagai masukan. Akhirnya, Pemkab
berkesimpulan bahwa aka nada keamanan yang turun mengawal pemulangan pengungsi tapi
dalam jumlah yang terbatas, untuk menyikapi kondisi yang ada saat itu. Sebab
tidak mungkin aparat keamanan yang di turunkan sangat banyak sehingga memicuh
pertanyaan dari warga di Kecamatan Ambalau, ada apa sebenarnya. Tetapi Pemkab
tidak bisa mengambil resiko untuk tidak menyediakan aparat keamanan.
“Jadi sampai hari ini, belum ada aparat
yang diturunkan karena itu harus melalui proses permintaan ke Kapolda. Selain itu,
karena ada berbagai alasan baik itu, puasa, lebaran dan kondisi alam.
Sedangkan, pekerjaan rumah itu karena jumlahnya besar tidak bisa pakai
penunjukkan langsung, sehingga baru saja selesai proses tendernya dan tinggal
kerja,” ujar Syahroel.
Selain itu, biaya kos 125 pengungsi telah
dibayarkan sembilan bulan, tapi ternyata itu berlarut hingga 11 bulan.
Sesudah Sekda memberikan penjelasan dan
ditambahi oleh Kepala BPBD untuk menjelaskan terkait uang pemulangan, puluhan
warga korban bencana diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya pada rapat
yang berlangsung sekitar 1 jam itu.
Jen Loilatu salah satu tokoh masyarakat
Desa Selasih pada kesempatan pertama mengakui bila selama di tempat pengungsian
ratusan KK ini tidak mendapatkan perhatian pemerintah sebagaimana yang mereka
korbankan untuk mempertahankan harga dirinya.
Hal itu terbukti makan, minum dan
kesejahteraan pengungsi terabaikan. Sedangkan pihaknya mendengar sudah beberapa
kali DPRD mengetuk palu untuk menyetujui anggaran untuk pemulangan pengungsi
ini.
“Pada ketuk palu sebelumnya telah
diketuk anggaran senilai Rp 1 M dan ketuk palu kedua disetujui anggaran 3 M,
lalu dikemanakan saja. Kami minta kejelasan, sehingga jangan sampai apa yang
kami dengar ini hanya sebuah kabar angin saja. Apalagi menurut kami, bangunan
rumah yang dikerjakan juga sangat tidak sesuai dengan rumah kami,” ujar
Loilatu.
Selain mempertanyakan kejelasan
penggunaan anggaran, Jen juga mempertanyakan bagaimana tanggungjawab pemerintah
untuk menjamin kelangsungan hidup pengungsi, pasca pemulangan nanti, sehingga
ketika pengungsi dipulangkan itu tidak memunculkan rasa kekecewaan, karena saat
di Kabupaten pengungsi tidak diperhatikan
Sedangkan Saiful Loilatu pada kesempatan
itu juga meminta Pemkab Bursel untuk segera mengkordinasikan pembangunan pos
Brimob untuk memberikan rasa keamanan kepada pengungsi, tanpa harus mendengar
pendapat siapa pun dan mengupayakan pemulangan pengungsi sebelum Idul Adha
mendatang. Selain itu Polres Buru diminta untuk segera mengaktifkan Polsek
Ambalau mengingat masalah berkepanjangan yang akan ditimbulkan bila masalah ini
dibiarkan berlarut-larut.
Disaat yang sama Saleh Soulisa juga
mempertanyakan kesiapan Pemkab dalam menyiapkan rumah tinggal mereka yang saat
ini masih dalam tahap dikerjakan, sebab tidak mungkin ketika dipulangkan lalu
tinggal di luar rumah saja
Sementara, Alwi Souwakil juga meminta
Pemkab dapat mempertimbangan uang pemulangan bagi pengungsi yang dinilai
terlalu kecil serta memertimbangkan kesejahteraan pengungsi pasca pemulangan. Sebab
harga sewa johnson itu itu tidak murah, sebabmencapai Rp. 2,5 juta.
“Kalau bisa nilai uang transportnya
disesuaikan dengan harga sewa johnson saja. Selain itu pengungsi juga meminta
selain biaya transport yang akan ditanggulangi, dapat mempertimbangkan uang
saku mengingat tidak mungkin dalam waktu sebulan pengungsi dapat menikmati
hasil kebunnya,” kata Souwakil.
Mendengar keluhan pengungsi, Sekda
berkesimpulan, untuk masalah pengungsi ini tak bisa ditunda-tunda, karena kalau
semakin ditunda akan semakin memberatkan keuangan daerah, sementara kemampuan
keuangan hanya segitu saja.
“Kalau mau meminta penambahan lagi itu
harus kita bicarakan di 2018, di perubahan 2017, kita tidak bisa menjanjikan
banyak, sebab DAU kita mengalami pemotongan dari pusat senilai Rp. 4 Miliar
akibat tidak tercapainya target penerimaan negara,” ujar mantan Kepala Badan
Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Bursel ini.
Meski demikian, untuk menanggani biaya
kos 11 bulan ini pihaknya harus mencarikan solusi dan solusinya akan dibicarakan
dengan pemilik kos dan itu kalau misalnya itu hutang, maka itu akan diambil
alih oleh Pemkab untuk diselesaikan. Soal kapan menyelesaikan itu akan segera
dicari waktu untuk menyelesaikan, tetapi Pemkab telah berkomitmen untuk
menyelesaikan, tapi belum bisa memastikan kapan bisa menyelesaikannya.
Sedangkan untuk ongkos pulang itu tidak
bisa diupayakan dalam bentuk apapun. Dirinya mengakui di daerah ada dana tak
terduga yang diperuntukan untuk bencana, tapi selama musim hujan beberapa bulan
lalu dana tersebut telah terpakai habis sehingga tidak bisa disiasati dari pos
mana pun lagi.
“Jadi kalau bapak menuntut tambah untuk
transport itu sama sekali tidak bisa. Pemkab tetap bertanggungjawab terhadap
korban konflik sosial, tetapi mungkin kelemahan selama ini di kordinasi. Untuk
keamanan, Pemkab tidak bisa memerintah Brimob disini, karena jalur komandonya
di Polda. Semua pengungsi menginginkan keamanan tetap ada. Kita juga berharap
dengan segala upaya pengungsi ini bisa dipulangkan sebelum hari raya Haji.
Terkait kesejahteraan pengungsi setelah pemulangan itu harus kita hitung dan
pertimbangkan kembali,” kata Pawa.
Setelah Sekda selaku Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) melalui berbagai pertimbangan akhirnya hanya mampu memberi
keputusan untuk memberikan tanggung jawab Pemkab dalam bentuk membayar biaya
kos per KK senilai Rp. 350.000/bulan dikalikan 11 bulan menjadi 3.850.000/KK,
memberikan uang transport senilai Rp 950.000 dan uang saku senilaiRp. 2,5 juta
Rupiah. Totalnya Rp. 7.300.000 per KK.
Ternyata nilai yang ditawarkan Sekda
tidak mudah diterima begitu saja oleh puluhan pengungsi, dimana puluhan
pengungsi diberikan kesempatan untuk mengusulkan nilai yang wajar. Setelah
melalui perdebatan yang alot antas sesama pengungsi ternyata pengungsi
mengajukan 25 juta/KK. Nilai ini cukup membuat kaget Sekda, bahkan sejumlah
pimpinan SKPD yang hadir saat itu.
Beberapa saat sebelum rapat tersebut
berakhir, anggota DPRD dari Dapil Waesama-Ambalau Ahmad Umasangadji turut hadir
dan mengikuti rapat tersebut. Dimana, setelah Sekda menjelaskan singkat apa
yang diminta pihak pengungsi, maka Sekda pun mengambil kebijakan untuk bersedia
membulatkan total biaya dari Rp. 7.300.000 menjadi Rp. 8.000.000 per KK.
Namun, para pengungsi masih ngotot bahwa
angka itu masih kurang dan berharap bisa dibulatkan hingga Rp. 10.000.000 per
KK.
Hanya saja, setelah Sekda menjelaskan
secara bijaksana. Akhirnya disepakati bersama bahwa Pemkab akan
bertanggungjawab memberikan uang pemulangan senilai Rp. 8.000.000/KK.
Walau begitu, Pemkab belum mampu
menjanjikan waktu tepat untuk memberikan uang tersebut, namun Pemkab tetap
berupaya dalam waktu dekat sebelum perayaan Idul Adha dilaksanakan.
Tak ingin ketinggalan Kepala BPBD Bursel
mengunakan kesempatan tersebut untuk meluruskan kesalahpahaman terkait uang
pemulangan yang meresahkan pengungsi ini.
“Jumlah biaya pemulangan yang ada pada
kita itu seharusnya diperuntukan untuk mobilisasi umum seluruhnya bukan orang
per orang, tetapi karena ada permintaan basudara untuk ada yang pulang lebih
dahulu, maka kita bagi menjadi per KK, itu pun disiapkan pernyataannya, untuk menerima
apa yang disampaikan, semuanya konsepnya sudah siap tinggal mau berangkat kesana
lalu diambil dengan uang transport sekaligus juga ditambah dengan barang-barang
yang sudah disediakan lebih awal,” kata Awat Mahulauw.
Sementara Syahroel mengaku, untuk dana Rp.
1 M lebih dan Rp. 3 M semuanya itu ada pertanggungjawabannya, nanti bisa
dibuktikan. Saat konflik politik 2015, karena tak dianggarkan maka digunakan
dari dana tak terduga. Dimana, pengandaan bahan bangunan seperti seng dan papan
dilakukan lewat pihak ketiga yakni Bib Alkatiri senilai 250 juta dan itu
diperuntukan untuk pembangunan sekitar 46 rumah atau 64 rumah.
“Tetapi dalam pelaksanaan tentara sudah
siap untuk mengerjakan tetapi barang tidak lengkap, akhirnya sampai dengan
aparat pulang ada rumah yang sudah jadi dan ada rumah yang belum jadi. Pada
2017 setelah bersamaan dengan Bencana Alam, maka disatukan penangganannya di
BPBD dengan jumlah 37 rumah dananya bisa dilihat di data DPRD,” tutur Uli.
Untuk pembangunan rumah tersebut setelah
selesai dilelangkan dan dikerjakan ternyata belum selesai semuanya. Alhasil, pihaknya
mengambil kebijakan untuk tampung semua rumah yang belum selesai dan saat ini
telah ditenderkan dan Hanafi Mony yang telah memenangkan tender tersebut untuk
dikerjakan.
“Kita berencana untuk pekerjaan dan
pemulangan pegungsi berjalan sejalan, akhirnya untuk kordinasi anggota Brimob
dengan Polda jadi tertunda lagi. Dana Rp. 3 M itu untuk aparat keamanan,
sembako dan lain-lain. untuk data 2016 itu sudah di periksa dan di BPBD tidak
ada masalah,” kata mantan kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Bursel ini.
Pada kesempatan itu puluhan pengungsi
dari tiga desa menunjukan wakil masing-masing Desa untuk nanti berurusan dengan
Pemkab terkait hal-hal pemulangan. Ketiga warga itu yakni Desa Siwar Latif
Elly, Desa Elara Alwi Sowakil dan Desa Selasih Jen Loilatu yang akan menjadi
kordinator ke tiga desa dengan pemerintah. (KT-01)
0 komentar:
Post a Comment