Peristiwa pembakaran hidup-hidup di
Bekasi menarik perhatian Pengurus DPP Himpunan Mahasiswa Pascasarjana.
Peristiwa tersebut diiringi jeritan
tangis istri korban pembakaran hidup-hidup. Peristiwa tersebut berkaitan erat
dengan dugaan pencurian amplifier Masjid.
Andi Fajar Asti, Ketua DPP Himpunan
Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) kepada Kompastimur.com disela kesibukannya menyiapkan kegiatan
Kongres Nasional Maritim di Makassar (4/8/2017) mengatakan bahwa tindakan main
hakim sendiri yang disertai dengan perilaku psikopat berjama’ah adalah tindakan
yang tidak patut ditiru di Indonesia sebagai negara hukum.
Fajar juga menambahkan bahwa pelaku
tindakan pembakaran hidup-hidup harus diusut tuntas dan dihukum
seberat-beratnya oleh pihak yang berwenang.
Fajar mengatakan bahwa tindakan ini
tindakan yang tidak sesuai dengan UUD 1945, dimana warga Indonesia mempunya hak
hidup, bahkan hak untuk menikmati proses hukum yang berlaku di Indonesia.
Fadhly Azhar, Kabid Keagamaan DPP HMPI
sekaligus Sekretaris Yayasan Institut Parahikmah Indonesia (IPI) juga
menyatakan bahwa tidak ada satupun dalam kaidah Islam (Baca: Ushul Fiqh) dan
agama lainnya yang membenarkan tindakan pengeroyokan dan pembakaran tanpa
proses hukum yang berlaku dalam suatu negara.
Fadhly menambahkan bahwa kajian hukum
Islam dalam kitab Kanzul Raghibin Juz Hal 109, Nihayatul Muhtaj Ila Syarhi
Minhaj Juz 7 Hal. 316, dan Syarah Ibnu Qasim Izzi Juz 2 hal.206 menyatakan
bahwa pelaku pengeroyokan tanpa proses hukum yang sedang berlaku adalah hukuman
Qishash.
Namun, karena Indonesia adalah negara
Pancasila, dimana Negara ini adalah moderasi di antara negara nasionalis dan
agama, Indonesia sepertinya tidak perlu memberlakukan hukuman Qishash. Seluruh
Pelaku pengeroyakan dan pembakaran hidup-hidup sejatinya perlu diusut dan
dihukum seberat-beratnya sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini. (KT-H)
0 komentar:
Post a Comment