Alumni School of Development Studies, University of
East Anglia, United Kingdom
Jakarta, Kompastimur.com
Dalam disuksi publik tentang perkembangan pembangunan di Maluku, terdapat setidaknya 3 (tiga) hal yang terus menjadi sorotan, yakni: 1) keprihatinan soal rangking kemiskinan daerah; 2) kemajuan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat; dan, 3) peran putra Maluku dalam fora kebijakan publik di tingkat nasional. Ketiga isyu ini terus menjadi soal krusial karena hingga kini belum menemukan resep kebijakan penyelesaian yang tepat.
Dalam disuksi publik tentang perkembangan pembangunan di Maluku, terdapat setidaknya 3 (tiga) hal yang terus menjadi sorotan, yakni: 1) keprihatinan soal rangking kemiskinan daerah; 2) kemajuan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat; dan, 3) peran putra Maluku dalam fora kebijakan publik di tingkat nasional. Ketiga isyu ini terus menjadi soal krusial karena hingga kini belum menemukan resep kebijakan penyelesaian yang tepat.
Publikasi tingkat kemiskinan Maluku menghentakkan
kesadaran stakeholders pembangunan tentang ketertinggalan Maluku. Disisi lain,
Pemerintah Daerah Provinsi sejak satu setengah dekade terakhir menggarisbawahi
minimya keberpihakan Pusat terhadap karakteristik kepulauan Maluku. Pemerintah
Daerah menyuguhkan kritik terhadap formulasi penghitungan anggaran Pemerintah
yang tidak menyertakan variabel luas laut dalam perhitungan dukungan pendanaan
kepada daerah. Terkait dua hal ini, tidak sedikit diskusi publik yang mengaitkan
efektivitas penyelesaiannya dengan minimnya peran putra Maluku dalam perumusan
kebijakan publik di tingkat nasional.
Adakah tawaran jalan keluar terhadap ketiga isyu
diatas? Nampaknya, upaya menempuh langkah-langkah meningkatkan kesejahteraan
secara mandiri dengan mendayagunakan segenap potensi lokal yang tersedia kini
menjadi pilihan yang perlu dikedepankan. Langkah ini perlu dimulai dengan
membenahi sisi yang selama ini terbukti telah menjadi soal pelik, yakni
membenahi tata nilai kultural orang Maluku sebagai basis untuk melakukan
pembangunan.
Sistem
Nilai Asali
Dalam periode nation-state building Indonesia, orang
Maluku terbelah dalam dua poros, yakni kaum terdidik-nasionalis yang pro
kemerdekaan, dan orang Maluku yang terlibat membantu Belanda kembali menguasai
Hindia-Timur. Pembelahan dan polarisasi sosial di Maluku terjadi sejak era VOC,
dan berimplikasi berantai pada transformasi sosial era pascakolonial. Kohesi
dan solidaritas sosial masyarakat Maluku cenderung lemah. Rapuhnya nilai-nilai
sosial ini mencapai titik nadir kerusakannya pada awal 1999 ketika terjadi
tabrakan sosial antar sesama kelompok masyarakat Maluku.
Sistem nilai masyarakat Maluku saat ini merupakan
campuran dari nilai-nilai komunal-asali Maluku dengan nilai-nilai yang dibawa
bersamaan dengan kegiatan perdagangan dari Timur Tengah dan Eropa. Tahapan
perkembangan masyarakat pra-feodal Maluku diinterupsi oleh kepentingan
kolonialisme membuat lompatan tahapan sosial dan adopsi sistem nilai yang
dipersepsikan lebih maju dan mapan dari belahan dunia lain. Tata nilai yang ada
saat itu digantikan oleh suatu imagined society milik rezim pemilik modal
sebagai sesuatu citra yang dianggap ideal dan superior.
Masyarakat Maluku terdiri negeri-negeri kecil yang
formasinya sejak awal terbelah kedalam dua afiliasi yang menginduk ke monarki
Ternate dan Tidore. Hampir diseluruh
pulau utama di Maluku terjadi pembelahan masyarakat kedalam afiliasi kelompok
siwa dan lima. Afiliasi ini merupakan kesadaran proto tribe yang secara alami
--jika tidak dinterupsi oleh kolonialisme-- kan membentuk entitas sosial yang
lebih maju. Sadar akan potensi ini, kolonial Belanda menghapuskan konsorsium
negeri-negeri (uli) siwa dan lima, dan membentuk struktur sosial fungsional
masyarakat Maluku untuk mendukung administrasi kolonialnya.
Sebelum bersentuhan dengan pedagang Arab dan Eropa,
masyarakat pra feodal Maluku adalah kelompok pemburu dan pengumpul (hunter and
gatherer) yang interaksi sosialnya cenderung diwarnai dengan dengan
tradisi-tradisi maskulin. Tradisi perburuan kepala (head hunting) dan pelayaran
antar pulau untuk kontrol kepemilikan tanaman dan pohon mendorong terbentuknya
aliansi-aliansi sosial antar negeri (pela) guna mencegah terjadinya peperangan
sekaligus menguatkan ikatan antarkelompok negeri.
Proses sosial yang berkembang secara alami di Maluku
cenderung lambat mendorong inovasi, karena lingkungan alam yang menyediakan
hampir semua kebutuhan konsumsi. Kemajuan-kemajuan yang dialami dalam
perkembangan pengetahuan praktis yang terbangun dalam masyarakat merupakan
dampak dari perdagangan dan kolonialisme. Pada titik ini, perlu disadari bahwa
masa keemasan masyarakat Maluku dalam aktualisasi peran politiknya merupakan
implikasi dari kemajuan bidang pendidikan yang dihasilkan dari praktek
kolonialisme. Peran putra-putri Maluku pada bidang politik kenegaraan pasca
1945 merupakan sejarah yang dibimbing oleh kolonialisme Eropa. Peran-peran
tersebut bukan lahir dari konstruksi dan struktur sosial dan nilai-nilai
tradisi asali yang kokoh melahirkan individu-individu yang kompetitif berperan
dalam arus perkembangan jaman.
Penurunan peran orang Maluku terjadi secara signifikan
pada era Orde Baru. Pada masa tersebut, akses terhadap sektor pengembangan
sumberdaya manusia terutama terpusat di kota-kota besar di Jawa sebagai par
excellence pendidikan. Akibatnya, sumberdaya manusia terdidik Maluku semakin
merosot jumlah dan mutunya. Ibukota Jakarta dianggap merupakan tempat yang
menyediakan kesempatan terbaik untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang
layak. Sehingga pada era 70-an dan 80-an banyak pemuda Maluku yang hijrah
mencari penghidupan di Jakarta. Hingga di masa reformasi, Maluku mencuat
sebagai salah satu daerah dengan ranking kemiskinan tinggi.
Mengelola
Ethnonasionalisme
Secara konseptual, ethnonasionalisme dapat dipahami
sebagai suatu pernyataan identitas sosial yang bersumber pada asal-usul yang
sama, bahasa, kesamaan ras dan terbentuk menjadi perekat ikatan solidaritas
dalam suatu kelompok masyarakat. Sentimen ethnonasionalisme dapat menguat ketika
muncul rasa ketidakadilan, ketidakpercayaan, serta ketimpangan sosial yang
terjadi secara berlebihan dalam kehidupan kolektif berbangsa.
Nation-state building dan paham nasionalisme Indonesia
berdiri diatas agregat ethnonasionalisme yang berbeda-beda tetapi satu (Bhineka
Tunggal Ika). Agregat dari berbagai ethnonasionalisme di Indonesia kemudian
terwadahi dan berhimpun menjadi Negara Kesatuan Indonesia. Ethnonasionalisme
Maluku pernah mengambil bentuk radikal-separatis pada era pasca kemerdekaan.
Richard Chauvel (2008) menenggarainya sebagai gerakan yang ‘bikin dulu baru
pikir'. Solidaritas Maluku terbelah
antara kaum nasionalis yang pro Indonesia berhadap-hadapan dengan kaum
royalis yang pro Belanda. Sejak masa itu, keterlibatan Orang Maluku dalam dinamika
politik cenderung mendapat label sebagai ‘pemberontak' dan ‘susah diatur'.
Walaupun konteks ini tentu menjadi alasan totem pro parte, yang sesungguhnya
tidak dapat dipukul rata kepada seluruh warga Maluku.
Pada era perjuangan kemerdekaan, kelompok-kelompok
nasionalis di Maluku secara taktis mengambil posisi melawan kekuatan penjajah
Belanda dan Jepang. Bahkan, di Namlea, Pulau Buru, aksi bersenjata mengusir
kekuatan Belanda pertama kali meletus di Maluku pada April 1946. Walaupun
gerakan saat itu mudah dipatahkan, namun telah memantik api nasionalisme dan
dukungan kemerdekaan.
Secara sosio-antroplogis masyarakat Maluku mengandung
keunikan dimana ethnonasionalisme dicirikan dengan adanya dualitas (siwa dan
lima). Penguasaan sistem monarki masa lampau tidak menghadirkan suatu tata
nilai hegemonik yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Ketika kekuatan dagang
Eropa hadir, nilai-nilai dan identitas otentik ethnonasionalisme Maluku banyak
mengalami erosi dan kepunahan.
Perjalanan masyarakat Maluku menuju tata masyarakat
feodal tidak terbangun sempurna. Tata nilai masyarakat berkembang tanpa melalui
fase dimana masyarakat menerima dan menerapkan suatu hegemoni sistem nilai
feodalistik. Dominasi Kerajaan Ternate relatif tidak menularkan nilai-nilai dan
sistem feodal yang umumnya melekat dalam pemerintahan monarki. Sebaliknya,
Maluku terbangun atas penguasa-penguasa pulau (lokal) yang teritorinya
terfragmentasi.
Proses-proses aliansi sosial-budaya (pela) terbagun
sebagai relasi mengikat yang setara, namun tidak menciptakan sistem sosial baru
yang dominan. Masing-masing kelompok masyarakat cenderung berproses secara
alamiah dengan tata nilai lokal yang dimilikinya. Dapat dikatakan bahwa, memori
sejarah di Maluku belum pernah memberikan acuan bahwa solidaritas ethnonasionalisme
Maluku terbangun sebagai suatu kesatuan.
Keseluruhan gambaran tentang konteks perkembangan
sosial, budaya dan politik Maluku diatas menyumbang pada kondisi Maluku dewasa
ini yang dipandang tidak optimal mencapai kesejahteraan dan kemajuan pembangunannya.
Sudah sewajarnya, untuk mengejar ketertinggalan Maluku dilakukan dengan
terlebih dahulu menata basis kultural dan menguatkan solidaritas
ethnonasionalisme Maluku.
Pemahaman
Baru
Bagai ilmuwan sosial, perkembangan masyarakat dapat
diprediksikan, dan olehnya itu dapat direkayasa sesuai dengan kondisi yang
diinginkan. Menggagas masa depan Maluku perlu dimulai dengan terlebih dahulu
membenahi sistem sosial budaya daerah sebagai pondasi rancang-bangun
pembangunan.
Kemajemukan tentu saja adalah hal yang lumrah dalam
masyarakat. Namun, advokasi untuk peningkatan kesejahteraan bersama dan
mensyaratkan adanya solidaritas dan kohesi sosial sebagai basis untuk mengambil
langkah dan tindakan untuk kemajuan. Dalam konteks ini, menemu-kenali dan
mereproduksi sistem makna dan tata nilai masyarakat yang telah banyak tergerus
seyogyanya menjadi pilihan awal dalam merancang-bangun kebijakan percepatan
pembangunan di Maluku dengan memanfaatkan modal sosial yang dimiliki.
Upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai
sosial-budaya perlu menjadi muatan kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah
tingkat dasar dan menengah sebagai muatan lokal. Demikian juga halnya tentang
kepunahan bahasa, maka daerah-daerah yang masih terdapat bahasa lokal
pelestariannya perlu digalakkan melalui kajian-kajian sosio-linguistiknya,
penyusunan kamus-kamus bahasa daerah, serta mempraktekkannya dalam pendidikan
formal di masing-masing kabupaten.
Basis produksi nilai masyarakat yang bersumber dari
perjalanan sejarah masyarakat Maluku
berhadapan dengan persoalan minimnya -jika tidak ada sama sekali-
catatan tentang masyarakat Maluku sebelum abad 13, serta minimnya kajian
artefak sosial masyarakat Maluku. Hal ini mengakibatkan analisa prasejarah dan
catatan etnografi masyarakat Maluku relatif mendapat porsi perhatian yang
sedikit. Padahal pendefinisian dan
justifikasi kuat dalam laporan-laporan ilmiah tentang basis sistem nilai yang
akan direproduksi secara luas dan terus menerus akan mengalami diskusi kritis
oleh generasi berikutnya.
Untuk itu, penting kiranya untuk meningkatkan
kajian-kajian ilmiah tentang berbagai aspek sub-budaya Maluku. Dalam hal ini
Pemerintah daerah perlu secara serius memberikan dukungan penganggaran yang
memadai untuk penyelenggaran kegiatan-kegiatan. Hasil-hasil kajian akademis
tersebut selanjutnya akan menjadi basis bagi desain kebijakan pembangunan
sosial di Maluku. Langkah-langkah terencana ini dapat terprogram sebagai suatu
tindakan kontinyu, terevaluasi secara kritis, dan dapat berlangsung secara berkelanjutan.
Agenda mengentaskan kemiskinan tentu harus terus
menjadi ikhtiar prioritas. Dorongan yang berarti bagi Pemerintah Maluku
dirasakan ketika Pemerintah menggelontorkan pendanaan melalui kebijakan Inpres
Nomor 6/2003 untuk pemulihan pembangunan pascakonflik Maluku dan Maluku Utara.
Namun, kebijakan dan tindakan pemulihan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan
upaya-upaya percepatan. Sehingga, Maluku terus terjebak di rangking kemiskinan
yang termasuk tinggi. Berkaca dari pengalaman, dimana berbagai fragmentasi
sosial di Maluku menyumbang pada munculnya situasi disharmonik-konfliktual maka
pembacaan, rekayasa sosial dan penguatan nilai-nilai budaya Maluku menjadi pilihan
yang tak dapat dihindari. (x)
0 komentar:
Post a Comment