• Headline News

    Tuesday, July 4, 2017

    Membangun Dengan Basis Budaya Siwa Lima

    Amril Buamona
    Alumni School of Development Studies, University of East Anglia, United Kingdom  


    Jakarta, Kompastimur.com
    Dalam disuksi publik tentang perkembangan pembangunan di Maluku, terdapat setidaknya 3 (tiga) hal yang terus menjadi sorotan, yakni: 1) keprihatinan soal rangking kemiskinan daerah; 2) kemajuan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat; dan, 3) peran putra Maluku dalam fora kebijakan publik di tingkat nasional. Ketiga isyu ini terus menjadi soal krusial karena hingga kini belum menemukan resep kebijakan penyelesaian yang tepat. 

    Publikasi tingkat kemiskinan Maluku menghentakkan kesadaran stakeholders pembangunan tentang ketertinggalan Maluku. Disisi lain, Pemerintah Daerah Provinsi sejak satu setengah dekade terakhir menggarisbawahi minimya keberpihakan Pusat terhadap karakteristik kepulauan Maluku. Pemerintah Daerah menyuguhkan kritik terhadap formulasi penghitungan anggaran Pemerintah yang tidak menyertakan variabel luas laut dalam perhitungan dukungan pendanaan kepada daerah. Terkait dua hal ini, tidak sedikit diskusi publik yang mengaitkan efektivitas penyelesaiannya dengan minimnya peran putra Maluku dalam perumusan kebijakan publik di tingkat nasional.

    Adakah tawaran jalan keluar terhadap ketiga isyu diatas? Nampaknya, upaya menempuh langkah-langkah meningkatkan kesejahteraan secara mandiri dengan mendayagunakan segenap potensi lokal yang tersedia kini menjadi pilihan yang perlu dikedepankan. Langkah ini perlu dimulai dengan membenahi sisi yang selama ini terbukti telah menjadi soal pelik, yakni membenahi tata nilai kultural orang Maluku sebagai basis untuk melakukan pembangunan. 

    Sistem Nilai Asali
    Dalam periode nation-state building Indonesia, orang Maluku terbelah dalam dua poros, yakni kaum terdidik-nasionalis yang pro kemerdekaan, dan orang Maluku yang terlibat membantu Belanda kembali menguasai Hindia-Timur. Pembelahan dan polarisasi sosial di Maluku terjadi sejak era VOC, dan berimplikasi berantai pada transformasi sosial era pascakolonial. Kohesi dan solidaritas sosial masyarakat Maluku cenderung lemah. Rapuhnya nilai-nilai sosial ini mencapai titik nadir kerusakannya pada awal 1999 ketika terjadi tabrakan sosial antar sesama kelompok masyarakat Maluku.

    Sistem nilai masyarakat Maluku saat ini merupakan campuran dari nilai-nilai komunal-asali Maluku dengan nilai-nilai yang dibawa bersamaan dengan kegiatan perdagangan dari Timur Tengah dan Eropa. Tahapan perkembangan masyarakat pra-feodal Maluku diinterupsi oleh kepentingan kolonialisme membuat lompatan tahapan sosial dan adopsi sistem nilai yang dipersepsikan lebih maju dan mapan dari belahan dunia lain. Tata nilai yang ada saat itu digantikan oleh suatu imagined society milik rezim pemilik modal sebagai sesuatu citra yang dianggap ideal dan superior.

    Masyarakat Maluku terdiri negeri-negeri kecil yang formasinya sejak awal terbelah kedalam dua afiliasi yang menginduk ke monarki Ternate dan Tidore.  Hampir diseluruh pulau utama di Maluku terjadi pembelahan masyarakat kedalam afiliasi kelompok siwa dan lima. Afiliasi ini merupakan kesadaran proto tribe yang secara alami --jika tidak dinterupsi oleh kolonialisme-- kan membentuk entitas sosial yang lebih maju. Sadar akan potensi ini, kolonial Belanda menghapuskan konsorsium negeri-negeri (uli) siwa dan lima, dan membentuk struktur sosial fungsional masyarakat Maluku untuk mendukung administrasi kolonialnya.

    Sebelum bersentuhan dengan pedagang Arab dan Eropa, masyarakat pra feodal Maluku adalah kelompok pemburu dan pengumpul (hunter and gatherer) yang interaksi sosialnya cenderung diwarnai dengan dengan tradisi-tradisi maskulin. Tradisi perburuan kepala (head hunting) dan pelayaran antar pulau untuk kontrol kepemilikan tanaman dan pohon mendorong terbentuknya aliansi-aliansi sosial antar negeri (pela) guna mencegah terjadinya peperangan sekaligus menguatkan ikatan antarkelompok negeri.

    Proses sosial yang berkembang secara alami di Maluku cenderung lambat mendorong inovasi, karena lingkungan alam yang menyediakan hampir semua kebutuhan konsumsi. Kemajuan-kemajuan yang dialami dalam perkembangan pengetahuan praktis yang terbangun dalam masyarakat merupakan dampak dari perdagangan dan kolonialisme. Pada titik ini, perlu disadari bahwa masa keemasan masyarakat Maluku dalam aktualisasi peran politiknya merupakan implikasi dari kemajuan bidang pendidikan yang dihasilkan dari praktek kolonialisme. Peran putra-putri Maluku pada bidang politik kenegaraan pasca 1945 merupakan sejarah yang dibimbing oleh kolonialisme Eropa. Peran-peran tersebut bukan lahir dari konstruksi dan struktur sosial dan nilai-nilai tradisi asali yang kokoh melahirkan individu-individu yang kompetitif berperan dalam arus perkembangan jaman.     

    Penurunan peran orang Maluku terjadi secara signifikan pada era Orde Baru. Pada masa tersebut, akses terhadap sektor pengembangan sumberdaya manusia terutama terpusat di kota-kota besar di Jawa sebagai par excellence pendidikan. Akibatnya, sumberdaya manusia terdidik Maluku semakin merosot jumlah dan mutunya. Ibukota Jakarta dianggap merupakan tempat yang menyediakan kesempatan terbaik untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Sehingga pada era 70-an dan 80-an banyak pemuda Maluku yang hijrah mencari penghidupan di Jakarta. Hingga di masa reformasi, Maluku mencuat sebagai salah satu daerah dengan ranking kemiskinan tinggi. 

    Mengelola Ethnonasionalisme
    Secara konseptual, ethnonasionalisme dapat dipahami sebagai suatu pernyataan identitas sosial yang bersumber pada asal-usul yang sama, bahasa, kesamaan ras dan terbentuk menjadi perekat ikatan solidaritas dalam suatu kelompok masyarakat. Sentimen ethnonasionalisme dapat menguat ketika muncul rasa ketidakadilan, ketidakpercayaan, serta ketimpangan sosial yang terjadi secara berlebihan dalam kehidupan kolektif berbangsa.

    Nation-state building dan paham nasionalisme Indonesia berdiri diatas agregat ethnonasionalisme yang berbeda-beda tetapi satu (Bhineka Tunggal Ika). Agregat dari berbagai ethnonasionalisme di Indonesia kemudian terwadahi dan berhimpun menjadi Negara Kesatuan Indonesia. Ethnonasionalisme Maluku pernah mengambil bentuk radikal-separatis pada era pasca kemerdekaan. Richard Chauvel (2008) menenggarainya sebagai gerakan yang ‘bikin dulu baru pikir'. Solidaritas Maluku terbelah  antara kaum nasionalis yang pro Indonesia berhadap-hadapan dengan kaum royalis yang pro Belanda. Sejak masa itu, keterlibatan Orang Maluku dalam dinamika politik cenderung mendapat label sebagai ‘pemberontak' dan ‘susah diatur'. Walaupun konteks ini tentu menjadi alasan totem pro parte, yang sesungguhnya tidak dapat dipukul rata kepada seluruh warga Maluku.

    Pada era perjuangan kemerdekaan, kelompok-kelompok nasionalis di Maluku secara taktis mengambil posisi melawan kekuatan penjajah Belanda dan Jepang. Bahkan, di Namlea, Pulau Buru, aksi bersenjata mengusir kekuatan Belanda pertama kali meletus di Maluku pada April 1946. Walaupun gerakan saat itu mudah dipatahkan, namun telah memantik api nasionalisme dan dukungan kemerdekaan.

    Secara sosio-antroplogis masyarakat Maluku mengandung keunikan dimana ethnonasionalisme dicirikan dengan adanya dualitas (siwa dan lima). Penguasaan sistem monarki masa lampau tidak menghadirkan suatu tata nilai hegemonik yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Ketika kekuatan dagang Eropa hadir, nilai-nilai dan identitas otentik ethnonasionalisme Maluku banyak mengalami erosi dan kepunahan.

    Perjalanan masyarakat Maluku menuju tata masyarakat feodal tidak terbangun sempurna. Tata nilai masyarakat berkembang tanpa melalui fase dimana masyarakat menerima dan menerapkan suatu hegemoni sistem nilai feodalistik. Dominasi Kerajaan Ternate relatif tidak menularkan nilai-nilai dan sistem feodal yang umumnya melekat dalam pemerintahan monarki. Sebaliknya, Maluku terbangun atas penguasa-penguasa pulau (lokal) yang teritorinya terfragmentasi.

    Proses-proses aliansi sosial-budaya (pela) terbagun sebagai relasi mengikat yang setara, namun tidak menciptakan sistem sosial baru yang dominan. Masing-masing kelompok masyarakat cenderung berproses secara alamiah dengan tata nilai lokal yang dimilikinya. Dapat dikatakan bahwa, memori sejarah di Maluku belum pernah memberikan acuan bahwa solidaritas ethnonasionalisme Maluku terbangun sebagai suatu kesatuan.

    Keseluruhan gambaran tentang konteks perkembangan sosial, budaya dan politik Maluku diatas menyumbang pada kondisi Maluku dewasa ini yang dipandang tidak optimal mencapai kesejahteraan dan kemajuan pembangunannya. Sudah sewajarnya, untuk mengejar ketertinggalan Maluku dilakukan dengan terlebih dahulu menata basis kultural dan menguatkan solidaritas ethnonasionalisme Maluku. 

    Pemahaman Baru
    Bagai ilmuwan sosial, perkembangan masyarakat dapat diprediksikan, dan olehnya itu dapat direkayasa sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Menggagas masa depan Maluku perlu dimulai dengan terlebih dahulu membenahi sistem sosial budaya daerah sebagai pondasi rancang-bangun pembangunan.

    Kemajemukan tentu saja adalah hal yang lumrah dalam masyarakat. Namun, advokasi untuk peningkatan kesejahteraan bersama dan mensyaratkan adanya solidaritas dan kohesi sosial sebagai basis untuk mengambil langkah dan tindakan untuk kemajuan. Dalam konteks ini, menemu-kenali dan mereproduksi sistem makna dan tata nilai masyarakat yang telah banyak tergerus seyogyanya menjadi pilihan awal dalam merancang-bangun kebijakan percepatan pembangunan di Maluku dengan memanfaatkan modal sosial yang dimiliki.

    Upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai sosial-budaya perlu menjadi muatan kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah sebagai muatan lokal. Demikian juga halnya tentang kepunahan bahasa, maka daerah-daerah yang masih terdapat bahasa lokal pelestariannya perlu digalakkan melalui kajian-kajian sosio-linguistiknya, penyusunan kamus-kamus bahasa daerah, serta mempraktekkannya dalam pendidikan formal di masing-masing kabupaten.   

    Basis produksi nilai masyarakat yang bersumber dari perjalanan sejarah masyarakat Maluku  berhadapan dengan persoalan minimnya -jika tidak ada sama sekali- catatan tentang masyarakat Maluku sebelum abad 13, serta minimnya kajian artefak sosial masyarakat Maluku. Hal ini mengakibatkan analisa prasejarah dan catatan etnografi masyarakat Maluku relatif mendapat porsi perhatian yang sedikit.  Padahal pendefinisian dan justifikasi kuat dalam laporan-laporan ilmiah tentang basis sistem nilai yang akan direproduksi secara luas dan terus menerus akan mengalami diskusi kritis oleh generasi berikutnya.

    Untuk itu, penting kiranya untuk meningkatkan kajian-kajian ilmiah tentang berbagai aspek sub-budaya Maluku. Dalam hal ini Pemerintah daerah perlu secara serius memberikan dukungan penganggaran yang memadai untuk penyelenggaran kegiatan-kegiatan. Hasil-hasil kajian akademis tersebut selanjutnya akan menjadi basis bagi desain kebijakan pembangunan sosial di Maluku. Langkah-langkah terencana ini dapat terprogram sebagai suatu tindakan kontinyu, terevaluasi secara kritis, dan dapat berlangsung secara berkelanjutan.

    Agenda mengentaskan kemiskinan tentu harus terus menjadi ikhtiar prioritas. Dorongan yang berarti bagi Pemerintah Maluku dirasakan ketika Pemerintah menggelontorkan pendanaan melalui kebijakan Inpres Nomor 6/2003 untuk pemulihan pembangunan pascakonflik Maluku dan Maluku Utara. Namun, kebijakan dan tindakan pemulihan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan upaya-upaya percepatan. Sehingga, Maluku terus terjebak di rangking kemiskinan yang termasuk tinggi. Berkaca dari pengalaman, dimana berbagai fragmentasi sosial di Maluku menyumbang pada munculnya situasi disharmonik-konfliktual maka pembacaan, rekayasa sosial dan penguatan nilai-nilai budaya Maluku menjadi pilihan yang tak dapat dihindari. (x)
    Jangan Lewatkan...

    Baca Juga

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Membangun Dengan Basis Budaya Siwa Lima Rating: 5 Reviewed By: Kompas Timur
    Scroll to Top