Warga Halong, Kecamatan Baguala, Kota Ambon, Provinsi Maluku,
kian mengalami keresahan panjang setelah pelantikkan raja definitif pada Tahun 2008
hingga saat ini menyusul penjualan-penjualan tanah negeri yang tidak terkontrol
dan sepihak oleh penguasa Kantor Negeri Halong.
Celakanya, anak cucu penduduk asli Halong, terancam
meninggalkan negeri mereka sendiri di kemudian hari karena tanah-tanah petuanan
(dati) mereka nyaris telah dijual habis Raja untuk kepentingan pribadi,
keluarga raja maupun untuk membayar biaya pengacara yang tidak terkontrol
dengan baik.
Bayangkan saja, penduduk asli Halong kini relatif
sulit memperoleh pelepasan hak karena biaya pelepasan hak dipatok raja dengan harga
tinggi. Sebagai perbandingan, untuk penduduk Halong dikenakan biaya pelepasan
hak atas tanah dengan kisaran Rp. 10 ribu per meter, sementara untuk penduduk
dari luar Halong, misalnya Lateri, Latta, Passo dan lainnya, dikenakan Rp 500
per meter.
Bambe, salah satu warga Halong menyesalkan perilaku
raja yang mengunakan jabatannya atau melakukan perbuatan melawan hukum dalam
jabatannya dengan menjual tanah-tanah negeri tanpa diketahui Saniri Negeri Halong
maupun Lembaga Musyawarah Desa (LMD) Halong.
“Boleh dibilang saat ini tanah-tanah di Halong sudah
mulai habis dikuasai orang-orang berduit, karena Raja menjualnya tanpa
diketahui Saniri Negeri, LMD maupun unsur pemerintah negeri Halong lainnya.
Tentunya hal ini merupakan ancaman bagi anak cucu Negeri Halong di kemudian
hari,” kesal Bambe kepada pers di Ambon, Senin (5/6).
Bambe membeberkan Raja diduga memperkaya diri dengan
hasil melakukan spekulasi penjualan tanah-tanah negeri.
“Rumah raja dibangun bagaikan istana, memiliki tiga
unit mobil diduga hasil penjualan tanah, dan aset tanah negeri dijadikan milik
pribadi untuk diperjual-belikan. Sejak menjadi Raja, dia melepaskan tanah-tanah
negeri tanpa adanya saksi-saksi terkait penjualan tanah-tanah tersebut. Praktik
ini sudah dilakukan Raja sejak Tahun 2009 sampai dengan saat ini,” beber Bambe
prihatin.
Raja pernah melakukan spekulasi penggusuran lapangan
depan bangunan sekolah Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 dan SDN 2 di Halong Baru
yang katanya untuk sarana olahraga, namun tiba-tiba sebagian tanah di lapangan
tersebut diberikan untuk salah satu keluarga Raja untuk membangun rumah.
Di kesempatan yang sama, Theis, warga Halong lainnya,
menuturkan, sejak dilantik Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy, Raja Halong
menyalahgunakan kewenangannya dengan tidak mengakui surat keterangan maupun
surat hak tanah yang pernah dikeluarkan atau diterbitkan para penjabat Raja Halong
yang terdahulu.
“Raja mengharuskan pembuatan atau penerbitan surat
pelepasan hak yang baru dan pembayaran yang baru, dimana akibat hal tersebut,
masyarakat sangat dirugikan,’’ kecam Theis.
Theis mencontohkan, dalam perkara tanah negeri di
Halong Baru, Buang Belo dan sekitarnya, seluas lebih kurang 35 hektar, proses
penjualannya dilakukan raja secara sepihak.
“Maksudnya administrasi pelepasan haknya dilakukan
secara sepihak. Yang ditanyakan masyarakat dimana atau kemana sisa hasil jual
beli sebesar Rp. 2,5 miliar dan kompensasi lain bagi negeri. Faktanya sebagian
besar tanah-tanah tersebut diperuntukkan bagi keluarga raja,” imbuh Theis.
Theis juga mengecam sikap raja yang mengeluarkan
uang-uang hasil penjualan tanah negeri secara sepihak untuk biaya pengacara,
namun proses penanganan perkaranya tidak pernah membuahkan hasil sehingga
sangat merugikan negeri.
“Uang hasil penjualan tanah-tanah negeri tidak pernah
dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi,
kesejahteraan dan lainnya. Raja tidak becus dalam mengatur sistem administrasi dalam
Kantor Negeri. Pola kepemimpinan raja sangat otoriter di dalam pengambilan
keputusan,” kecam Theis.
Theis melanjutkan dalam perkara tanah erfpacht
verponding (hak sewa) di Kelurahan Lateri antara Raja dengan empat pengembang,
PT 8BMC, PT MM, PT BV dan CLA, diduga raja pernah berupaya menyogok mantan
Kepala Kepolisian Daerah Maluku dan pejabat-pejabat di Mahkamah Agung RI dengan
uang Rp 1 miliar melalui jasa salah satu pengacara yang pernah mencalonkan diri
sebagai calon anggota DPR RI daerah pemilihan Maluku.
Dana negeri tersebut sudah dikeluarkan, namun
perkaranya tak pernah tuntas karena diduga pengacara dimaksud hanya mencatut
nama mantan Kapolda Maluku dan pejabat di MA. Ketika didesak untuk pengembalian
Dana Negeri, Raja hanya membiarkan dan berdalih biarkan saja, itu mungkin
membuang sial.
“Dalam perkara tanah erfapacht verponding di Lateri, Raja
memerintahkan unsur pemerintah negeri untuk memasang papan larangan, tapi pihak
pengembang melaporkan Raja melakukan penyerobotan. Karena takut, Raja menggunakan
pengacara dan terjadilah transaksi menyogok mantan Kapolda Maluku dan pejabat
di MA,” jelas Theis.
Sayangnya, Raja Halong, SGT yang dikonfirmasi koran
ini melalui dua nomor ponselnya, 0815100076662 dan 081240018936, belum
memberikan keterangan resmi meski sudah dikirimkan konfirmasi per pesan singkat
kedua nomor ponsel tersebut. (KT-ROS)
0 komentar:
Post a Comment