Oleh :
Komarudin
Watubun
Anggota DPR RI,
Ketua Bidang Kehormatan DPP PDI
Perjuangan
Sudah terbukti
bahwa Pancasila yang saya gali dan saya persembahkan kepada rakyat Indonesia,
bahwa Pancasila itu adalah benar-benar satu dasar yang dinamis, satu dasar yang
benar-benar dapat meghimpun segenap tenaga rakyat Indonesia, satu dasar yang
benar-benar dapat memper-satukan rakyat Indonesia itu untuk bukan saja
mencetuskan revolusi, tetapi juga menegakkan revolusi ini dengan hasil yang
baik.
(Presiden RI Ir.
Soekarno)
Petikan
diatas bagian dari pesan yang disampaikan Bung Karno 72 tahun silam. Kalimat
Pancasila adalah benar-benar satu dasar yang dinamis menjadi sebuah kekuatan
dahsyat yang membuktikan bahwa dasar negara yang diciptakan oleh pendiri bangsa
ini terbukti tidak lekang oleh waktu, tidak tergerus oleh zaman. Ketika paham
liberal yang mengabaikan keadilan dan paham komunisme yang mengabaikan
ketuhanan ditentang, Pancasila telah
dirancang oleh pendiri bangsa ini mengadopsi nilai Ketuhanan, Kemanusian,
Keadilan, Kemasyaraktan dan persatuan.
Kalimat
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila
pertama Pancasila dapat digambarkan sebagai sebuah rumusan jenial yang dapat
mengatasi perbedaan berlandaskan ciri khas budaya bangsa sendiri. Jika mau ‘berdebat’ soal Ketuhanan dan
keyakinan, maka tak akan pernah ujung pangkalnya. Kaum Muslim menyebut Tuhan
sebagai Allah. Ketika diucapkan dengan cara Arab. Sementara kaum Nasrani, juga
menyebut Allah dengan gaya lain. Belum lagi kawan-kawan yang beragama Hindu dan
Budha. Para pendiri bangsa ini merumuskannya menjadi Ketuhanan
Yang Maha Esa, bahwa Tuhan itu hanya satu, walaupun kita menyembah dengan
cara masing-masing.
Demikian
juga dengan sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab. Para pendiri bangsa ini dengan sadar menghayati bahwa
setelah kita ber-Tuhan,
kita juga harus beradab. Binatang saja beradab, apalagi manusia. Sebagai manusia harus
memiliki dua
sifat, harus adil dan harus beradab.
Pada sila Persatuan
Indonesia, Indonesia yang terdiri
dari ribuan pulau dan etnis, memerlukan persatuan. Tanpa persatuan tidak
mungkin negara ini bisa membangun.
Karena
adanya perbedaan itu, para pendiri bangsa ini merumuskan bahwa sistemnya harus
berasaskan musyawarah dan mufakat. Untuk
itu, kelompok minoritas dan
mayoritas harus sadar diri menempatkan diri secara proporsional. Dengan
demikian akan tercapai sebuah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan yang dimaksud adalah keadilan Tuhan yang bersifat absolut, sesuai
dengan sila pertama.
Itu
sebabnya melihat Pancasila harus menjadi satu kesatuan, keterkaitan antara sila
satu dengan sila yang lain sangat erat. Sayangnya, Pancasila oleh banyak pihak,
khususnya para sebagian elit politik dan birokrat di republik ini, tidak dipahami,
tidak dijiwai dan tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan secara de facto menodai dan mengkhianati
Pancasila.
Sebagian
elit yang notabene menjadi pimpinan
di sejumlah institusi negara dan daerah justru memberikan contoh penghkianatan
terhadap Pancasila dengan tidak malu melakukan korupsi, penindasan, penodaan
terhadap demokrasi, dan lainnya yang kemudian menjadi contoh bagi masyarakat.
Ketika
sebagian elit politik dan birokrat di Pusat dan di Daerah dengan berbagai
bentuknya mempertontonkan pengkhianatan kepada Pancasila, sebagian pihak dengan
mudah menyalahkan demokrasi Pancasila karena dianggap bukan sistem yang ideal.
Kondisi inilah yang secara terus menerus, mengkristal sehingga muncul dorongan
untuk mengganti dan merobah Pancasila, atau bahkan ingin melakukan upaya
berpisah dari NKRI melalui aksi separatisme. Pancasila dianggap tidak dapat
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Pelaksanaan
Hari Lahir Pancasila 1 Juni yang ditandai dengan kewajiban upcara hanya akan
menjadi seremoni belaka, ketika harapan pendiri bangsa pada 72 tahun silam, meminta
kita melakukan revolusi. Begitupun lahirnya Unit Kerja Presiden Pembinaan
Ideologi Pancasila (UKP-PIP), maupun sejumlah aksi lainnya sejak jaman Orde
baru, hanya menjadi pemanis dan pemboros anggaran, jika kemudian elit bangsa
ini secara terus menerus, turun temurun melakukan penghkianatan.
Rakyat
tidak perlu diberikan ceramah tentang nilai Pancasila. Rakyat butuh
ketauladanan dari para elit tentang nilai Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan,
Demokrasi dan Keadilan. Rakyat secara mengakar budaya telah mengamalkan nilai
Pancasila dalam kehidupan sehari hari. Contoh sederhana, di Papua dengan budaya
bakar batu, semua berkumpul, memberi bahan makanan, dimasak bersama, dihidangkan,
dan makan bersama. Ada nilai kegotongroyongan, persamaan, keadilan, kemanusiaan,
dan lain-lain. Dan tentunya, di berbagai daerah lain, ada banyak contoh baik
dari leluhur dalam aksi nyata yang sebenarnya terkandung dalam nilai Pancasila.
Namun,
seiring dengan berjalannya waktu, lambat laun, para sebagian Elit berhasil
merobah budaya baik ini dengan tanpa malu mempertontonkan kekejian,
kesombongan, kebohongan, kesemena-menaan, kekerasan, kecurangan, pencurian,
aib, ketidakadilan, dan lainnya yang kemudian ditiru oleh masyarakat. Sadarkan
engkau wahai para elit ? (***)
0 komentar:
Post a Comment