• Headline News

    Saturday, January 7, 2017

    AMANDEMEN UUD 1945 KE V (LIMA) PENGUATAN DPD ATAU MPR?



    Oleh:
    IMANUEL RISTO MASELA
    Mahasiswa Universitas Pattimura
    Fakultas Hukum


    DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
    Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan organ Negara yang ada setelah Amandemen UUDNRI 1945. Kehadiran organ ini merupakan Konsekuensi dari perubahan  Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 yang berbunyi “ Kedaulatan Berada di tangan Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebelum Amandemen UUDNRI 1945 yang ketiga ketentuan Pasal 1 ayat (2) ini adalah “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” artinya bahwa kedaulatan rakyat Indonesia dijelmakan dalam tubuh MPR sebagai pelaku utama dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Legitimasi DPD diatur secara Eksplisit dalam UUDNRI 1945 Pasal 22C ayat (1), (2), (3) dan (4) dan Pasal 22D ayat (1), (2), (3) dan (4). Berkaitan dengan fungsi DPD yang ada pada UUDNRI 1945 Pasal 22C dan Pasal 22D, Pengaturannya Lebih lanjut dalam Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 Sebagaimana Telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2014 Tentang MPR,DPR,DPD,DPRD. Selanjutnya disingkat (MD3). Pasal 248 dan Pasal 249 yang berkaitan dengan Fungsi,Wewenag dan Tugas dari pada DPD di kaitkan dengan Pasal 22C dan 22D UUDNRI 1945, jelas bahwa Wewenang DPD di Amputasikan Secara Normatif maupun oleh kelembagaan yaitu DPR.

    Fungsi,wewenang dan tugas dari pada DPD yang di atur oleh UUDNRI 1945 dan Pengaturannya di atur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana Telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2014, hanya sebatas (Limitatif) pada Fungsi Legislasi, memberikan Pertimbangan dan pengawasan terhadap Undang-Undang. Namum sama sekali DPD tidak di berikan Kesempatan yang sama oleh DPR untuk turut serta dalam pengambilan keputusan. Padahal DPD merupakan perwakilan Daerah (Regional Representation), yang di pilih melalui jalur Independen (tidak di usung atau terikat pada Partai Politik), berbeda dengan DPR yang merupakan  perwakilan Politik (Political Representation), yang bisa saja dalam pengambilan keputusan ada penekanan dari pihak lain yang megakibatkan aspirasi  daerah tidak terakomodir/tidak memotret kondisi kedaerahan secara utuh.

    MAJELIS PERMUSAWARATAN RAKYAT
    Sebelum perubahan UUD 1945, MPR atau Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga MPR inilah Presiden, sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, bertunduk dan bertanggungjawab. dan lembaga ini pula yang dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Dari lembaga tertinggi MPR ini, mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, yang kedudukannya berada di bawahnya sesuai prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal (distribution of power).

    Dalam UUDNRI 1945 setelah Perubahan Keempat, organ MPR tidak dapat lagi dipahami sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. namun MPR sebagai lembaga negara sederajat levelnya dengan lembaga-lembaga negara yang lain seperti DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam hubungan dengan fungsinya, organ MPR dapat dikatakan bukanlah organ yang pekerjaannya bersifat rutin. Meskipun di atas kertas, MPR itu sebagai lembaga negara memang terus ada, tetapi dalam arti yang aktual atau nyata, organ MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau ‘functie’nya sedang dilaksanakan. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ketentuan mengenai MPR, dirumuskan, yaitu “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. MPR tidak dikatakan terdiri atas DPR dan DPD, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian disini penulis beranggapan bahwa, MPR itu merupakan lembaga yang tidak terpisah dari institusi DPR dan DPD,akan tetapi haruslah dilihat apakah kewenangan MPR merupakan kewenangan yang bagian dari kewenangan DPR dan DPD sebagaimana di Amanatkan oleh Konstitusi inilah yang merupakan point-point yang harus di pertimbangkan sebelum di lakukan Amandemen UUDNRI 1945 yang ke V (Lima).

             Berdasarkan ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 8 ayat (2) dan (3), MPR mempunyai kewenangan untuk (1) mengubah dan menetapkan undang-undang dasar; (2) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar; (3) memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar; dan (4) mengadakan sidang MPR untuk pelantikan atau pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tegas sekali lagi penulis mengatakan bahwa, Keempat kewenangan tersebut sama sekali tidak tercakup dan terkait dengan kewenangan DPR ataupun DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil keputusan mengenai keempat hal tersebut sama sekali bukanlah sidang gabungan antara DPR dan DPD, melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga MPR itu merupakan institusi ketiga dalam struktur parlemen Indonesia, sehingga pemahamannya terarah pada sistem tiga kamar (trikameralisme).

                Dengan demikian juga jika dilihat dari perspektif Fungsinya, MPR itu sendiri tidaklah bersifat tetap, melainkan bersifat adhoc. Sebagai organ negara, lembaga MPR itu baru dapat dikatakan ada, apabila fungsinya sedang bekerja (in action). Dalam hal ini kita dapat membedakan antara pengertian “MPR in book” dengan “MPR in action”. Dari keempat kewenangan di atas, tidak satupun yang bersifat tetap. Perubahan dan penetapan undang-undang dasar tentunya hanya akan dilakukan sewaktu-waktu. Setelah perubahan 4 (empat) kali berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, Demikian pula dengan agenda pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden serta agenda pemilihan presiden dan/atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan. Karena itu, satu-satunya kewenangan MPR yang bersifat rutin dan dapat direncanakan adalah kegiatan persidangan untuk pelantikan presiden dan wakil presiden setiap lima tahunan. Akan tetapi, menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945, sidang MPR itu sendiri bersifat fakultatif. Pengucapan sumpah atau janji Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan di hadapan atau di dalam sidang MPR atau sidang DPR. Jika MPR tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah/janji itu dapat dilakukan dalam sidang atau rapat paripurna DPR. Jika rapat paripurna DPR juga tidak dapat diselenggarakan, maka pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden itu cukup dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.


             Oleh karena itu dengan perkataan lain, tidak satupun dari keempat kewenangan MPR itu yang bersifat tetap, sehingga memerlukan alat-alat perlengkapan organisasi yang juga bersifat tetap. MPR itu baru ada jika fungsinya memang sedang berjalan atau bekerja (in action). Oleh karena itu,  keharusan bagi MPR untuk diadakan kewenagan yang merupakan kewenagan rutin, seperti sekarang ini ada wacana bahwa akan di kembalikan GBHN sebagai fungsi MPR tanpa mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tinggi Negara. (*)
    Jangan Lewatkan...

    Baca Juga

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: AMANDEMEN UUD 1945 KE V (LIMA) PENGUATAN DPD ATAU MPR? Rating: 5 Reviewed By: Kompas Timur
    Scroll to Top