Oleh:
IMANUEL RISTO MASELA
Mahasiswa
Universitas Pattimura
Fakultas
Hukum
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) merupakan organ Negara yang ada setelah Amandemen UUDNRI 1945. Kehadiran
organ ini merupakan Konsekuensi dari perubahan
Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 yang berbunyi “ Kedaulatan Berada di tangan Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Sebelum Amandemen UUDNRI 1945 yang ketiga ketentuan Pasal 1 ayat (2)
ini adalah “Kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” artinya bahwa kedaulatan rakyat
Indonesia dijelmakan dalam tubuh MPR sebagai pelaku utama dan pelaksana
sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Legitimasi DPD diatur secara Eksplisit dalam
UUDNRI 1945 Pasal 22C ayat (1), (2), (3) dan (4) dan Pasal 22D ayat (1), (2),
(3) dan (4). Berkaitan dengan fungsi DPD yang ada pada UUDNRI 1945 Pasal 22C dan
Pasal 22D, Pengaturannya Lebih lanjut dalam Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014
Sebagaimana Telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2014 Tentang
MPR,DPR,DPD,DPRD. Selanjutnya disingkat (MD3). Pasal 248 dan Pasal 249 yang
berkaitan dengan Fungsi,Wewenag dan Tugas dari pada DPD di kaitkan dengan Pasal
22C dan 22D UUDNRI 1945, jelas bahwa Wewenang DPD di Amputasikan Secara
Normatif maupun oleh kelembagaan yaitu DPR.
Fungsi,wewenang
dan tugas dari pada DPD yang di atur oleh UUDNRI 1945 dan Pengaturannya di atur
lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana Telah diubah
dengan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2014, hanya sebatas (Limitatif) pada Fungsi Legislasi, memberikan Pertimbangan dan
pengawasan terhadap Undang-Undang. Namum sama sekali DPD tidak di berikan
Kesempatan yang sama oleh DPR untuk turut serta dalam pengambilan keputusan.
Padahal DPD merupakan perwakilan Daerah (Regional
Representation), yang di pilih melalui jalur Independen (tidak di usung
atau terikat pada Partai Politik), berbeda dengan DPR yang merupakan perwakilan Politik (Political Representation), yang bisa saja dalam pengambilan
keputusan ada penekanan dari pihak lain yang megakibatkan aspirasi daerah tidak terakomodir/tidak memotret
kondisi kedaerahan secara utuh.
MAJELIS PERMUSAWARATAN RAKYAT
Sebelum perubahan UUD
1945, MPR atau Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kedudukan sebagai
lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga MPR inilah Presiden, sebagai kepala
negara dan sekaligus kepala pemerintahan, bertunduk dan bertanggungjawab. dan
lembaga ini pula yang dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itu.
Dari lembaga tertinggi MPR ini, mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagikan
kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, yang kedudukannya berada di
bawahnya sesuai prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal (distribution of power).
Dalam UUDNRI 1945
setelah Perubahan Keempat, organ MPR tidak dapat lagi dipahami sebagai lembaga
yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang
biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. namun MPR sebagai
lembaga negara sederajat levelnya dengan lembaga-lembaga negara yang lain
seperti DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung,
dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam hubungan dengan fungsinya, organ MPR
dapat dikatakan bukanlah organ yang pekerjaannya bersifat rutin. Meskipun di
atas kertas, MPR itu sebagai lembaga negara memang terus ada, tetapi dalam arti
yang aktual atau nyata, organ MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan
ada (actual existence) pada saat
kewenangan atau ‘functie’nya sedang
dilaksanakan. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ketentuan mengenai MPR,
dirumuskan, yaitu “MPR terdiri atas
anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang”. MPR tidak dikatakan terdiri atas DPR dan DPD,
melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian disini
penulis beranggapan bahwa, MPR itu merupakan lembaga yang tidak terpisah dari
institusi DPR dan DPD,akan tetapi haruslah dilihat apakah kewenangan MPR
merupakan kewenangan yang bagian dari kewenangan DPR dan DPD sebagaimana di
Amanatkan oleh Konstitusi inilah yang merupakan point-point yang harus di
pertimbangkan sebelum di lakukan Amandemen UUDNRI 1945 yang ke V (Lima).
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 8 ayat (2) dan
(3), MPR mempunyai kewenangan untuk (1) mengubah dan menetapkan undang-undang
dasar; (2) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut undang-undang dasar; (3) memilih Presiden dan/atau Wakil
Presiden untuk mengisi kekosongan dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut undang-undang dasar; dan (4) mengadakan sidang MPR untuk
pelantikan atau pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Tegas sekali lagi penulis mengatakan bahwa, Keempat kewenangan
tersebut sama sekali tidak tercakup dan terkait dengan kewenangan DPR ataupun
DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil keputusan mengenai keempat hal
tersebut sama sekali bukanlah sidang gabungan antara DPR dan DPD, melainkan
sidang MPR sebagai lembaga tersendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
keberadaan lembaga MPR itu merupakan institusi ketiga dalam struktur parlemen
Indonesia, sehingga pemahamannya terarah pada sistem tiga kamar (trikameralisme).
Dengan demikian juga jika dilihat dari perspektif
Fungsinya, MPR itu sendiri tidaklah bersifat tetap, melainkan bersifat adhoc.
Sebagai organ negara, lembaga MPR itu baru dapat dikatakan ada, apabila
fungsinya sedang bekerja (in action).
Dalam hal ini kita dapat membedakan antara pengertian “MPR in book” dengan “MPR in
action”. Dari keempat kewenangan di atas, tidak satupun yang bersifat
tetap. Perubahan dan penetapan undang-undang dasar tentunya hanya akan
dilakukan sewaktu-waktu. Setelah perubahan 4 (empat) kali berturut-turut pada
tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, Demikian pula dengan agenda pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden serta agenda pemilihan presiden dan/atau wakil
presiden untuk mengisi lowongan jabatan. Karena itu, satu-satunya kewenangan
MPR yang bersifat rutin dan dapat direncanakan adalah kegiatan persidangan
untuk pelantikan presiden dan wakil presiden setiap lima tahunan. Akan tetapi,
menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945, sidang MPR itu sendiri
bersifat fakultatif. Pengucapan sumpah atau janji Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat dilakukan di hadapan atau di dalam sidang MPR atau sidang DPR.
Jika MPR tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah/janji itu dapat dilakukan
dalam sidang atau rapat paripurna DPR. Jika rapat paripurna DPR juga tidak
dapat diselenggarakan, maka pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau
Wakil Presiden itu cukup dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan
oleh Pimpinan Mahkamah Agung.
Oleh karena itu dengan perkataan lain,
tidak satupun dari keempat kewenangan MPR itu yang bersifat tetap, sehingga
memerlukan alat-alat perlengkapan organisasi yang juga bersifat tetap. MPR itu
baru ada jika fungsinya memang sedang berjalan atau bekerja (in action). Oleh karena itu, keharusan bagi MPR untuk diadakan kewenagan
yang merupakan kewenagan rutin, seperti sekarang ini ada wacana bahwa akan di
kembalikan GBHN sebagai fungsi MPR tanpa mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tinggi
Negara. (*)
0 komentar:
Post a Comment