(Catatan
untuk guru-guru SMK N. Lumoy)
Oleh:
Rahmat Souwakil
Almuni
SMK N. Lumoy, sedang di Maluku Utara
“Guru
bukan dewa dan selalu benar
dan
murid bukanlah kerbau”
(Soe
Hok Gie)
Sabtu 10 desember 2016 pukul 23:15 wit, henphone saya berdering lagi, ada satu pesan.
Pesan datang dari seorang teman yang ada di kota Ambon “ ente ada urusan kepsek
smk? Bls. Sepintas saya membaca pesan itu, dan lama berpikir apa urusan saya
sama kepsek SMK, namun setelah itu saya ingat. Pasti tentang tulisan saya di
harian ini yang tak diterima kepala sekolah. Setelah itu saya membalas pesan
teman saya “urusan apa”? Saya coba mencari tahu apa dugaan saya benar atau
meleset. Dan ternyata dugaan saya tak meleset.
“Sg tau, tumben bliau brusan tlpn bt minta ente
no......”balas teman saya.
Beberapa menit setelah balasan teman, henphone saya berdering
lagi tapi kali ini bukan dari teman saya, kali ini datang dari kepala sekolah
SMK N. Lumoy. Saya tak menjawab panggilannya. Beliau telepon lagi dan saya tak
jawab lagi. Saya punya dua alasan mengapa saya tak menjawab panggilan beliau,
pertama beliau menelpon pada waktu yang tak pas, sebab sudah larut malam, saya
takut menggangu waktu istirahat orang rumah saya, kedua, saya tahu beliau
sedang emosi, maka saya tak bisa melayani emosi beliau kalau seandainya saya
jawab panggilannya maka adu mulut tak terhindarkan.
Minggu dini hari pukul 00:09 wit, henphone saya berdering
lagi tapi bukan panggilan masuk. Tapi sebuah pesan dari kepala sekolah “ ini
deng jonh k?manusia yg biasa tdk tw berterima kasih pada orang yang menetes
ilmu pdax... itu orang2 bejat yg tdk bermoral karna sesungguhnya guru adalah
guru wlau ilmu yg diteteskan cuma sedikit... jang berotorika... SMK Lumoy tdk
ada guru asal asalan tp anda yg asa asalan” saya emosi membaca pesan dari orang
yang mengaku bermoral ini. Pesanya bak belati menusuk tubuh; Bejat, tidak
Bermoral. Kedua kata itu telah merebut kesadaran saya. Saya pun membalas pesan
kepala sekolah yang bermoral itu “ sebenarnya siapa yang tdk berterima kasih?
Saya atau bapak? Sebenarnya bapak harus bersyukur masih ada orang yang mau
menyoal tentang SMK. Siapa yang tak bermoral saya atau bapak? Retorika? Guru
SMK tak asal asalan itu kata bapak? Coba sebutkan berapa guru yang bergelar
S.ip. Kalau memang guru berkualitas mengapa ujian nasional kemarin mata
pelajaran produktif mendapatkan nilai tak memuaskan. Jam begini saya tak bisa
angkat tlp bapak. Saya takut menggangu waktu istirahat orang rumah saya”.
Pada minggu siang ada beberapa pesan yang saya terima, satu
nomor saya kenal dan satunya lagi tak
kenal, namun pada akhirnya dia mau memberitahu namanya. Tulisan ini akumulasi
kekecewaan saya pada sikap orang-orang yang konon disebut pahlawan tanpa jasa itu,
iya mereka adalah guru-guru di SMK N. Lumoy. Lembaga dimana saya mulai
melangkah sejauh ini di dunia pendidikan sekaligus lembaga yang telah membuat
saya prihatin dengan orang-orang yang tak mau ‘diganggu’ zona amannya.
**
Penghuni lembaga pendidikan (baca: guru) bukalah orang-orang
suci yang lolos dari kesalahan. Tapi sebaliknya guru adalah manusia yang pasti
terpeleset jika melangkah. Artinya bahwa
pasti ada kesalahan dan ketakberesan di lembaga pendidikan, kesalahan dan
ketakberesan yang ada tak harus menjadi bahan tontotan terus menerus tapi
sebaliknya harus bisa diperbaiki agar lebih baik. Peran untuk memperbaiki
kesalahan itu bisa datang dari dalam penghuni lembaga pendidikan dan juga
datang dari orang di luar lembaga pendidikan. Para penghuni lembaga pendidikan
bisa memainkan peran signifikan untuk merubah kesalahan dan ketakberesan itu
dengan caranya sendiri. Dan juga sebaliknya orang-orang yang ada di luar
lembaga pendidikan juga menjadi ‘alarm’ untuk mengingatkan mereka bahwa ada
kesalahan dan ketakberesan yang harus segera diselesaikan, dan bukan sebaliknya
kritik sebagai alarm yang datang dari luar dianggap sebagai penyakit yang harus
dilawan. Tulisan ini dibuat bukan untuk
menyoal tentang kesalahan dan ketakberesan yang ada di SMK N. Lumoy, tapi
sebaliknya tulisan ini dibuat untuk menyoal tingka guru-guru yang tak mau
disebut asal-asalan itu, tapi dalam kenyataannya tingka mereka agak
mencerminkan sifat asal-asalan.
Para guru yang terhormat? Apakah mereka pantas disebut
terhormat setelah melihat sifat yang rame-rame menghukum saya lewat opini saya
“ Untuk Apa Sekolah”? saya punya label sendiri untuk mereka, bagi saya mereka
“guru” pakai tanda petik. Sebab guru yang terhormat itu guru yang bisa melihat
dengan hati yang besar mau menerima masukan dan bukan sebaliknya menghukum rame-rame.
Bagi saya kepala sekolah dan bawahanya tidak membaca tulisan saya secara
rame-rame. Mereka hanya bisa menghukum secara rame-rame, itu tipekal guru
asal-asalan. Sabagai guru yang baik sudah seharusnya membuka diri untuk
dikritisi dan bukan sebaliknya bak kucing “kebekarang jenggot” ketika menerima
kritik.
Seperti kata Paulo Freire tokoh pendidikan dari Brazil, bahwa
pendidikan itu harus membebaskan manusia. Pendidikan itu harus bisa membuat
orang bebas mengatakan kebenaran dan bukan sebaliknya menyuruh orang diam untuk
meneriakan kebenaran. Kalau tujuan pendidikan hanya membuat orang diam seribu
bahasa maka itu bukan lagi pendidikan yang mencerdaskan tapi sebaliknya
pendidikan yang membodohi. Saya harap sistem pendidikan seperiti ini tak
ditemukan di SMK N. Lumoy, dan kalaupum ada saya harap segara ditiadakan.
Dengan lahirnya kebebasan di dalam lingkungan pendidikan maka
akan melahirkan lingkungan pendidikan yang nyaman ditempati, dan bukan
sebaliknya lingkungan pendidikan yang hanya bisa menghukum orang sepihak, oleh
guru yang tak cerdas. Kritik jangan dianggap sebagai hukuman yang mematikan
untuk melakukan perubahan, tapi sebaliknya kritik harus jauh dimaknai sebagai
bentuk cinta seseorang, sebab pengkritik memberi tahu bahwa telah terjadi kepincangan
di dalam diri kita atau di lembaga yang kita pimpin.
Jangan mengkambing
hitamkan orang
Minggu siang saya
dihubungi dua orang “guru” dari kejahuan sana. Yang satu gaya berpikirnya lebih
memilih jabatan daripada kebenaran dan yang satu lagi lewat gaya bahasnya
mencoba memainkan peran ganda, peran pertama sebagai teman dan peran kedua
sebagai “guru”. Orang kedua berbicara
dengan gaya khas orang yang menghukum. Bahkan dari mulutnya saya mendengar
bahwa mereka akan menemui orang tua saya untuk meminta klarifikasi tulisan
saya. “ Neama deng inisamu guru2 smk mau pi iko ale pun orang tua mereka mau
mempertanyaakan buat orang tua ale buru ni da guru2 pindahan lai ni” ini sms
dari seorang guru yang tak mau disebut asal-asalan itu. Inilah alasanya mengapa kata guru di atas
saya memakai tanda kutip, sebab sikap mereka tak baik sebagai guru. Pertanyaan
saya sederhana mengapa harus meminta
klarifikasi orang tua saya? Kepala sekolah dan bawahannya ayo jawab. Jujur saya menyesali langkah “guru” untuk meminta
klarifikasi orang tua saya, kalaupun itu terjadi atau tak terjadi pun saya
menyesal kalian mau melakukan langkah itu. Bila kalian masih bersikuku untuk
melakukan langkah bodoh itu maka saya bisa menyebut kali benar-benar guru
asal-asalan, dan guru yang ‘bodoh’. Sebab tak bisa membedakan siapa saya dan
siapa orang tua saya. Guru itu pembawa cahaya, sudah seharusnya memancarkan
cahaya untuk menyinari perbedaan ini, dan bukan sebaliknya malah sibuk
mengkambing hitamkan orang lain.
Saya rasa sudah saatnya “guru” bisa membuka hatinya seluas
samudra untuk menerima segala pujian dan kritikan yang datang darimana pun.
Sebab guru tak selamanya benar dan juga sebaliknya murid tak selamanya benar,
dengan kondisi inilah maka lahir yang namanya proses belajar. Murid belajar
dari gurunya dan gurunya belajar dari muridnya.
Jika masih ada
“guru”yang tak mau menerima kritik untuk membangun saya sarankan “guru”
bersangkutan melepaskan labelnya sebagai guru. Sebab profesi guru profesi mulia
yang hanya bisa ditempati orang-orang yang hatinya seluas samudra dan
kesabarannya melebihi kesabaran murid-muridnya. Dengan keluasan hati dan dan
kesabaran yang lebih maka guru bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Dan juga
sebalik bila guru yang tak punya hati yang luas maka guru bersangkutan hanya
suka menghukum rame-rame dan gagal dalam mendidik.
Closing Steatmen
Membumikan cara pikir yang masuk akal di dunia pendidikan
termasuk di SMK N. Lumoy, sudah harus dihidupkan. Sebab dengan membumikan cara
pikir rasional kita akan menemukan kebenaran. Guru bukanlah dewa dan murid
bukan kerbau begitu kata Soe Hok Gie, artinya bahwa semua kebenaran tentang
keilmuan itu tidak semuanya berada dalam diri seoarang guru, apalagi guru
asal-asalan, tapi sebaliknya kebenaran itu ada di siapa saja. Kita butuh orang lain untuk mengingatkan kita
secara objektif sebab kita tak selalu objektif menilai diri kita.
Kritik jangan dimaknai sebagai sebuah bentuk penghinaan tapi
bentuk cinta seseorang. Cara membumikan
pemikiran rasional; kita harus menanggapi kritikan dengan kritikan yang
tak menyudutkan orang. Sudah saatnya prilaku yang cuma sibuk mencari nomor
orang untuk ‘meneror’ dihapus, dalam pikiran guru-guru di SMK N. Lumoy, sebab semua orang tak mau hidupnya ‘diteror’dengan
kata-kata kotor. Ditangan guru-guru profesional-lah roh dari lembaga pendidikan
SMK N. Lumoy di Kecamatan Ambalau Kabupaten Buru Selatan dikembalikan. Dan
bukan “guru-guru” yang lebih bersemangat membangun gedung-gedung banyak yang
hanya dihuni kambing saat musim hujan-panas dan tidur ketika malam tiba.
Jangan-jangan? Ah saya belum yakin dengan dugaan saya. Semoga dugaan saya tak
benar. ®
0 komentar:
Post a Comment