• Headline News

    Tuesday, December 13, 2016

    Sekolah Sekali Lagi

    (Catatan untuk  guru-guru SMK N. Lumoy)
    Oleh: Rahmat Souwakil
    Almuni SMK N. Lumoy, sedang di Maluku Utara

    “Guru bukan dewa dan selalu benar
    dan murid bukanlah kerbau”
    (Soe Hok Gie)

    Sabtu 10 desember 2016 pukul 23:15 wit,  henphone saya berdering lagi, ada satu pesan. Pesan datang dari seorang teman yang ada di kota Ambon “ ente ada urusan kepsek smk? Bls. Sepintas saya membaca pesan itu, dan lama berpikir apa urusan saya sama kepsek SMK, namun setelah itu saya ingat. Pasti tentang tulisan saya di harian ini yang tak diterima kepala sekolah. Setelah itu saya membalas pesan teman saya “urusan apa”? Saya coba mencari tahu apa dugaan saya benar atau meleset. Dan ternyata dugaan saya tak meleset.
    “Sg tau, tumben bliau brusan tlpn bt minta ente no......”balas teman saya.

    Beberapa menit setelah balasan teman, henphone saya berdering lagi tapi kali ini bukan dari teman saya, kali ini datang dari kepala sekolah SMK N. Lumoy. Saya tak menjawab panggilannya. Beliau telepon lagi dan saya tak jawab lagi. Saya punya dua alasan mengapa saya tak menjawab panggilan beliau, pertama beliau menelpon pada waktu yang tak pas, sebab sudah larut malam, saya takut menggangu waktu istirahat orang rumah saya, kedua, saya tahu beliau sedang emosi, maka saya tak bisa melayani emosi beliau kalau seandainya saya jawab panggilannya maka adu mulut tak terhindarkan.

    Minggu dini hari pukul 00:09 wit, henphone saya berdering lagi tapi bukan panggilan masuk. Tapi sebuah pesan dari kepala sekolah “ ini deng jonh k?manusia yg biasa tdk tw berterima kasih pada orang yang menetes ilmu pdax... itu orang2 bejat yg tdk bermoral karna sesungguhnya guru adalah guru wlau ilmu yg diteteskan cuma sedikit... jang berotorika... SMK Lumoy tdk ada guru asal asalan tp anda yg asa asalan” saya emosi membaca pesan dari orang yang mengaku bermoral ini. Pesanya bak belati menusuk tubuh; Bejat, tidak Bermoral. Kedua kata itu telah merebut kesadaran saya. Saya pun membalas pesan kepala sekolah yang bermoral itu “ sebenarnya siapa yang tdk berterima kasih? Saya atau bapak? Sebenarnya bapak harus bersyukur masih ada orang yang mau menyoal tentang SMK. Siapa yang tak bermoral saya atau bapak? Retorika? Guru SMK tak asal asalan itu kata bapak? Coba sebutkan berapa guru yang bergelar S.ip. Kalau memang guru berkualitas mengapa ujian nasional kemarin mata pelajaran produktif mendapatkan nilai tak memuaskan. Jam begini saya tak bisa angkat tlp bapak. Saya takut menggangu waktu istirahat orang rumah saya”.

    Pada minggu siang ada beberapa pesan yang saya terima, satu nomor saya kenal dan satunya lagi  tak kenal, namun pada akhirnya dia mau memberitahu namanya. Tulisan ini akumulasi kekecewaan saya pada sikap orang-orang yang konon disebut pahlawan tanpa jasa itu, iya mereka adalah guru-guru di SMK N. Lumoy. Lembaga dimana saya mulai melangkah sejauh ini di dunia pendidikan sekaligus lembaga yang telah membuat saya prihatin dengan orang-orang yang tak mau ‘diganggu’ zona amannya.
    **
    Penghuni lembaga pendidikan (baca: guru) bukalah orang-orang suci yang lolos dari kesalahan. Tapi sebaliknya guru adalah manusia yang pasti terpeleset jika  melangkah. Artinya bahwa pasti ada kesalahan dan ketakberesan di lembaga pendidikan, kesalahan dan ketakberesan yang ada tak harus menjadi bahan tontotan terus menerus tapi sebaliknya harus bisa diperbaiki agar lebih baik. Peran untuk memperbaiki kesalahan itu bisa datang dari dalam penghuni lembaga pendidikan dan juga datang dari orang di luar lembaga pendidikan. Para penghuni lembaga pendidikan bisa memainkan peran signifikan untuk merubah kesalahan dan ketakberesan itu dengan caranya sendiri. Dan juga sebaliknya orang-orang yang ada di luar lembaga pendidikan juga menjadi ‘alarm’ untuk mengingatkan mereka bahwa ada kesalahan dan ketakberesan yang harus segera diselesaikan, dan bukan sebaliknya kritik sebagai alarm yang datang dari luar dianggap sebagai penyakit yang harus dilawan.  Tulisan ini dibuat bukan untuk menyoal tentang kesalahan dan ketakberesan yang ada di SMK N. Lumoy, tapi sebaliknya tulisan ini dibuat untuk menyoal tingka guru-guru yang tak mau disebut asal-asalan itu, tapi dalam kenyataannya tingka mereka agak mencerminkan sifat  asal-asalan. 

    Para guru yang terhormat? Apakah mereka pantas disebut terhormat setelah melihat sifat yang rame-rame menghukum saya lewat opini saya “ Untuk Apa Sekolah”? saya punya label sendiri untuk mereka, bagi saya mereka “guru” pakai tanda petik. Sebab guru yang terhormat itu guru yang bisa melihat dengan hati yang besar mau menerima masukan dan bukan sebaliknya menghukum rame-rame. Bagi saya kepala sekolah dan bawahanya tidak membaca tulisan saya secara rame-rame. Mereka hanya bisa menghukum secara rame-rame, itu tipekal guru asal-asalan. Sabagai guru yang baik sudah seharusnya membuka diri untuk dikritisi dan bukan sebaliknya bak kucing “kebekarang jenggot” ketika menerima kritik.

    Seperti kata Paulo Freire tokoh pendidikan dari Brazil, bahwa pendidikan itu harus membebaskan manusia. Pendidikan itu harus bisa membuat orang bebas mengatakan kebenaran dan bukan sebaliknya menyuruh orang diam untuk meneriakan kebenaran. Kalau tujuan pendidikan hanya membuat orang diam seribu bahasa maka itu bukan lagi pendidikan yang mencerdaskan tapi sebaliknya pendidikan yang membodohi. Saya harap sistem pendidikan seperiti ini tak ditemukan di SMK N. Lumoy, dan kalaupum ada saya harap segara ditiadakan.

    Dengan lahirnya kebebasan di dalam lingkungan pendidikan maka akan melahirkan lingkungan pendidikan yang nyaman ditempati, dan bukan sebaliknya lingkungan pendidikan yang hanya bisa menghukum orang sepihak, oleh guru yang tak cerdas. Kritik jangan dianggap sebagai hukuman yang mematikan untuk melakukan perubahan, tapi sebaliknya kritik harus jauh dimaknai sebagai bentuk cinta seseorang, sebab pengkritik memberi tahu bahwa telah terjadi kepincangan di dalam diri kita atau di lembaga yang kita pimpin. 
     
    Jangan mengkambing hitamkan orang
    Minggu  siang saya dihubungi dua orang “guru” dari kejahuan sana. Yang satu gaya berpikirnya lebih memilih jabatan daripada kebenaran dan yang satu lagi lewat gaya bahasnya mencoba memainkan peran ganda, peran pertama sebagai teman dan peran kedua sebagai “guru”.  Orang kedua berbicara dengan gaya khas orang yang menghukum. Bahkan dari mulutnya saya mendengar bahwa mereka akan menemui orang tua saya untuk meminta klarifikasi tulisan saya. “ Neama deng inisamu guru2 smk mau pi iko ale pun orang tua mereka mau mempertanyaakan buat orang tua ale buru ni da guru2 pindahan lai ni” ini sms dari seorang guru yang tak mau disebut asal-asalan itu.  Inilah alasanya mengapa kata guru di atas saya memakai tanda kutip, sebab sikap mereka tak baik sebagai guru. Pertanyaan saya sederhana  mengapa harus meminta klarifikasi orang tua saya? Kepala sekolah dan bawahannya ayo jawab. Jujur  saya menyesali langkah “guru” untuk meminta klarifikasi orang tua saya, kalaupun itu terjadi atau tak terjadi pun saya menyesal kalian mau melakukan langkah itu. Bila kalian masih bersikuku untuk melakukan langkah bodoh itu maka saya bisa menyebut kali benar-benar guru asal-asalan, dan guru yang ‘bodoh’. Sebab tak bisa membedakan siapa saya dan siapa orang tua saya. Guru itu pembawa cahaya, sudah seharusnya memancarkan cahaya untuk menyinari perbedaan ini, dan bukan sebaliknya malah sibuk mengkambing hitamkan orang lain.

    Saya rasa sudah saatnya “guru” bisa membuka hatinya seluas samudra untuk menerima segala pujian dan kritikan yang datang darimana pun. Sebab guru tak selamanya benar dan juga sebaliknya murid tak selamanya benar, dengan kondisi inilah maka lahir yang namanya proses belajar. Murid belajar dari gurunya dan gurunya belajar dari muridnya.
     Jika masih ada “guru”yang tak mau menerima kritik untuk membangun saya sarankan “guru” bersangkutan melepaskan labelnya sebagai guru. Sebab profesi guru profesi mulia yang hanya bisa ditempati orang-orang yang hatinya seluas samudra dan kesabarannya melebihi kesabaran murid-muridnya. Dengan keluasan hati dan dan kesabaran yang lebih maka guru bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Dan juga sebalik bila guru yang tak punya hati yang luas maka guru bersangkutan hanya suka menghukum rame-rame dan gagal dalam mendidik.

    Closing Steatmen
    Membumikan cara pikir yang masuk akal di dunia pendidikan termasuk di SMK N. Lumoy, sudah harus dihidupkan. Sebab dengan membumikan cara pikir rasional kita akan menemukan kebenaran. Guru bukanlah dewa dan murid bukan kerbau begitu kata Soe Hok Gie, artinya bahwa semua kebenaran tentang keilmuan itu tidak semuanya berada dalam diri seoarang guru, apalagi guru asal-asalan, tapi sebaliknya kebenaran itu ada di siapa saja.  Kita butuh orang lain untuk mengingatkan kita secara objektif sebab kita tak selalu objektif menilai diri kita.

    Kritik jangan dimaknai sebagai sebuah bentuk penghinaan tapi bentuk cinta seseorang. Cara membumikan  pemikiran rasional; kita harus menanggapi kritikan dengan kritikan yang tak menyudutkan orang. Sudah saatnya prilaku yang cuma sibuk mencari nomor orang untuk ‘meneror’ dihapus, dalam pikiran guru-guru di SMK N. Lumoy,  sebab semua orang tak mau hidupnya ‘diteror’dengan kata-kata kotor. Ditangan guru-guru profesional-lah roh dari lembaga pendidikan SMK N. Lumoy di Kecamatan Ambalau Kabupaten Buru Selatan dikembalikan. Dan bukan “guru-guru” yang lebih bersemangat membangun gedung-gedung banyak yang hanya dihuni kambing saat musim hujan-panas dan tidur ketika malam tiba. Jangan-jangan? Ah saya belum yakin dengan dugaan saya. Semoga dugaan saya tak benar. ®
    Jangan Lewatkan...

    Baca Juga

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Sekolah Sekali Lagi Rating: 5 Reviewed By: Kompas Timur
    Scroll to Top