Oleh:
BOBHY LEWIER
AKTIVIS
PMKRI CABANG MAKASSAR
St.
ALBERTHUS MAGNUS
Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Pepatah itu yang
mungkin layak disematkan pada permasalahan yang menjadi buah dari pemekaran
wilayah yang diatur oleh UU No 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di
satu sisi, masyarakat yang merasa daerahnya tidak cukup tersentuh oleh
pemerintah pusat terus menuntut daerahnya untuk dimekarkan. Sementara itu,
Kementerian Dalam Negeri melalui moratorium (penangguhan sementara) berusaha menekan
laju pemekaran wilayah karena peningkatan kualitas yang tidak sebanding dengan
peningkatan kuantitas daerah yang terjadi. Evaluasi Kemdagri bahkan menunjukkan
hanya dua daerah baru dari total 200 lebih daerah otonom baru yang memperoleh
skor di atas 60 dari nilai maksimal 100 Mencermati fenomena pemekaran wilayah di Indonesia pasca
pemerintahan Orde Baru hingga memasuki pemerintahan sekarang tampaknya cukup
menarik untuk ditelaah secara mendalam. Secara teoritik, harus diakui bahwa
kebijakan pemerintahan untuk memekarkan beberapa daerah di Indonesia telah
menambah angka permasalahan baru terutama dalam proses penyusunan Undang undang
dan sistem ketatanegaran kita saat ini. Kebijakan untuk melakukan pemekaran
daerah memang harus dilihat dalam perspektif multidimensional. Disertai wawasan
cinta tanah air yang tergambarkan dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika, Pancasila,
UUD 1945 dan GBHN.
1. KOMITMEN
RAKYAT MBD DALAM BINGKAI NKRI
Komitmen rakyat Maluku Barat Daya tersirat dalam budaya
Kalwedo yang merupakan akar budaya masyarakat di serambi perbatasan Maluku –
Australia dan Timor Leste, terkandung nilai Pancasila. Jauh sebelum Negara ini
terbentuk, masyarakat ujung selatan Maluku ini telah mengenal filosofi
Pancasila dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam ajaran Kalwedo yang
dianut para leluhur.
Untuk membentuk bangsa yang besar dan bersatu sebagai bangsa
Indonesia yang dilandasi kebhinekaan telah dirintis dan dicetuskan kaum pemuda
pada 28 Oktober 1928, melalui Ikrar Sumpah Pemuda yang berisi tekad 'satu nusa,
satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia'. Dalam mengelola bangsa Indonesia yang
multikultur dan plural, negara bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika. Cita-cita
membentuk bangsa yang besar dan maju serta bersatu tidaklah mudah untuk
diwujudkan.
Isu separatisme, radikalisme dan disintegrasi bangsa selalu
menjadi sebuah virus yang kapan saja menyebar dan terus menyerang rakyat
Indonesia yang hidup di tapal batas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rapat paripurna istimewah DPRD kabupaten Maluku Barat
Daya tanggal 16 Februari 2016, rakyat MBD pun menetapkan surat keputusan Nomor
3 Tahun 2016 tentang pemekaran propinsi perbatasan kepulauan Maluku Barat Daya.
Dengan mempertimbangkan aspek rentang kendali, letak geografis dan geopolotik.
Maka sudah pastinya MBD kembali menempatkan posisinya sebagai daerah strategis
yang berbatasan dengan Australia dan Timor Leste. Dimana sudah seharusnya
dimekarkan menjadi sebuah propinsi dengan cakupan wilayah, 3 Kabupaten/ kota;
Kotamadya Kepulauan Tiakur, Kabupaten Maluku Barat Daya, dan Kabupaten
Kepulauan Terselatan dan menyatakan menolak bergabung sebagai daerah otonom
baru bersama propinsi tenggara raya.
Propinsi Perbatasan Kepulauan Maluku Barat Daya adalah upaya
konkrit Rakyat perbatasan Maluku Barat Daya untuk menyelamatkan Bangsa
Indonesia. Perjuangan menuju sebuah propinsi di daerah perbatasan Indonesia
adalah suatu seruan rakyat Maluku Barat Daya untuk mengingatkan semua komponen bangsa agar tetap menjaga dan konsisten pada
kesepakatan luhur Bangsa Indonesia yang dicantumkan dalam UUD 1945 sebagai
keputusan cerdas dan monumental yang dibuat oleh para Leluhur Bangsa ini.
Dengan adanya propinsi perbatasan di selatan bumi Maluku, semakin
menunjukan suatu interupsi sosial anak- anak negeri perbatasan bagi dinamika
perjalanan kemakmuran Bangsa yang berawal dari daerah perbatasan kita, yang
terus hidup dan menghadirkan ide positif tentang sebuah komitmen dan
konsistensi Rakyat MBD diujung perbatasan Indonesia dalam menjaga bangunan Kebangsaan NKRI. Untuk
itulah, Propinsi Perbatasan Kepulauan Maluku Barat Daya dapat melahirkan
berbagai inspirasi dari semua komponen bangsa dalam membangun Ibu Pertiwi.
Dalam menegaskan komitmen rakyat Maluku Barat Daya dalam
sayap burung garuda. Propinsi Perbatasan Kepulauan Maluku Barat Daya hadir di
bumi “ Ina Nara Amasyali” dalam mengedepankan kembali nilai- nilai Kalwedo
dalam semangat Ke- Indonesia-an. Mengingat Maluku Barat Daya yang juga adalah
merupakan suku bangsa yang berbudaya tinggi patut dihormati dan dihargai dalam
tingkat yang setara dengan suku bangsa dan agama lainnya di Indonesia. Maka
sudah sepatutnya harkat dan martabat serta kehormatan yang dimiliki Maluku
Barat Daya harus dibela dan dipertahankan dalam Ke Indonesia-an sampai akhir
hayat kita.
Rakyat Maluku Barat Daya sebagai warga perbatasan yang berada
di ujung selatan Maluku. Selalu berkomitmen dalam upaya menjaga semangat UUD
1945 dan Pancasila sebagai motor pengerak kehidupan dan kemajuan Indonesia
dalam semangat Kalwedo. Selain itu, dalam menjaga komitmen dimaksud, kehadiran
propinsi perbatasan kepulauan Maluku Barat Daya hadir sebagai ajang bagi
seluruh rakyat Maluku Barat Daya dalam mempertegas nilai- nilai kemanusiannya,
yang diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas pulau dan negeri,
yaitu: inanara ama yali (saudara perempuan dan laki-laki). Inanara ama yali
menggambarkan keutamaan hidup dan pusaka kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang
meliputi totalitas hati, jiwa, pikiran dan perilaku. sebagai wujud tali
persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta
(hidup berdampingan dengan baik). Tradisi hidup masyarakat MBD dibentuk untuk
saling berbagi dan saling membantu dalam hal potensi alam, sosial, budaya, dan
ekonomi yang diwariskan oleh alam kepulauan Maluku Barat Daya. Dalam ketulusan
cinta terhadap sesama manusia ciptaan Tuhan, selalu siap bergotong – royong
sebagai ajaran Kalwedo yang selalu dikumandang para leluhur di Negeri Penuh susu
dan Madu ini.
2. PANDANGAN
TENTANG PEMEKARAN PROPINSI PERBATASAN KEPULAUAN MBD
Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai wilayah yang
sangat luas dibandingkan dengan Negara – Negara lain , yang terbentang mulai
dari sabang sampai marauke . Diapit oleh dua benua dan dua samudera yang
memiliki 2 musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau ini memang Negara yang
akan kekayaan daerahnya , lebih dari 300 suku tinggal di Indonesia mulai dari
pelosok daerah hingga perkotaan yang sekarang mulai tertinggal oleh zaman dan
digantikan dengan budaya barat .
Hal ini juga memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia itu
terdiri dari banyak suku bangsa yang Multikultural (memiliki banyak suku) ,
mempunyai bahasa yang berbeda-beda, kebiasaan dan adat istiadat yang
berbeda, kepercayaan yang berbeda, kesenian, ilmu pengetahuan, mata pencaharian
dan cara berpikir yang berbeda-beda . Pada zaman dahulu Negara Indonesia untuk
menjadi sebuah negara yang merdeka dari semua penjajahan yang terjadi ,
Indonesia harus mempunyai wilayah, penduduk dan pemerintah. Karena cara
pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara
kepulauan yang berdasarkan Pancasila dengan semua aspek kehidupan yang beragam
mulai dari cara pandang bahasa , berpikir yang berbeda-beda.
Permasalahan pemekaran daerah sudah dijelaskan secara khusus
dalam UU No.23 Tahun 2014pada Pasal 32 sampai Pasal 43, dalam aturan ini dengan
jelas telah mempersyaratkan sejumlah persyaratan dasar dan persyaratan
administratif yang harus dipenuhi. Bila dikaji dari segi secara khusus dalam
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka sudah tentu Pemekaran Propinsi
Perbatasan Kepulauan Maluku Barat Daya, bisa dianggap belum mampu memenuhi
persyaratan perundang- undangan tentang Pemerintah Daerah. Anggapan segelintir
orang yang masih ragu akan perjuangan ini.
Namun marilah kita meneropong kondisi rakyat di ujung tapal
batas NKRI. Dimana sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih
merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang
masih sangat terbatas. Pandangan di masa lalu bahwa daerah perbatasan merupakan
wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena merupakan daerah yang rawan
keamanan telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan
pada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan. Hal ini menyebabkan wilayah
perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh oleh dinamika
pembangunan.
Lalu bagaimana dengan kondisi Maluku Barat Daya sebagai
daerah perbatasan?, mari kita renungkan sejenak tentang ulasan peristiwa baru –
baru ini, dalam headline Koran Kompas, 14 April 2016 berjudul “ Sakit di
Indonesia, Mereka Terpaksa Berobat ke Timor Leste”. Dimana mengkisahkan
perjuangan ditengah gelombang tinggi dan angin kencang, seorang Hamis
Dolimotong (65) diangkut dengan perahu motor menuju Pulau Atauro, Timor- Leste.
Akibat menderita penyakit kanker anus yang dideritanya tak bisa ditolong di
puskesmas ustutun, Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku. Lambat
ditangani, Hamis akhirnya meninggal.
Dimana Kala itu, Hamis didampingi istrinya, Djadia Masura
(64), serta anaknya, Irianti Dolimotong (27). Cuaca buruk membuat waktu
perjalanan yang biasanya 30 menit menjadi hampir 1 jam. Padahal, jarak di
antara dua pulau itu hanya 4,6 mil laut atau sekitar 7,4 kilometer. Setelah
tiba di Pulau Atauro, Hamis dibawa ke rumah sakit setempat. Namun, karena
minimnya fasilitas, tim dokter memutuskan merujuk Hamis ke Dili, ibu kota
Timor-Leste yang berada di Pulau Timor. Tak lama, sebuah helikopter milik
Pemerintah Timor-Leste datang dari Dili ke Atauro khusus menjemput Hamis. Di
Dili, Hamis dirawat selama lebih dari dua bulan. Namun, karena kanker anus yang
diderita sudah stadium tinggi, nyawanya tidak tertolong. "Selama di sana,
pengobatan almarhum bapak saya gratis," kata Irianti.
Ketika Kompas mendatangi rumah almarhum pada 2 April lalu,
suasana duka masih menyelimuti keluarga mereka. Terpal tenda duka yang
terpasang di halaman rumah belum diturunkan. Banyak kerabat masih berkumpul di
rumah itu. Kanker anus yang menyerang Hamis baru diketahui dari hasil diagnosis
dokter di Dili. Kata dokter kepada keluarga, kanker yang diderita Hamis sudah
menahun. Kanker tidak terdeteksi di Puskesmas Lirang sebab tidak ada tenaga
medis khusus menangani penyakit semacam itu. Belum lagi minimnya peralatan
kesehatan.
Kesan terhadap pelayanan kesehatan di Dili, kata Irianti dan
Djadia, sangat memuaskan. Pihak rumah sakit tidak melihat dari mana asal
pasien. "Banyak dokter pernah studi di Indonesia sehingga mereka bisa
berbahasa Indonesia. Mereka tanya, kenapa tidak ke Jakarta, Ambon, atau Kupang?
Lalu saya jawab, terlalu jauh. Keluarga kami tidak punya uang yang cukup,"
kenang Irianti. Thomas Tena (53), warga Pulau Lirang, juga mempunyai pengalaman
mengantar keluarganya berobat ke Dili. Ketika anaknya, Meske Tena (30), hendak
melahirkan pada 2012, mereka membawanya ke Dili karena tidak bisa dibantu di
Puskesmas Lirang. Meske tidak bisa melahirkan normal dan harus melalui operasi,
tetapi di puskesmas setempat tidak ada alat operasi dan dokter ahli. Keluarga
membawa Meske menggunakan perahu motor dari Lirang langsung ke Dili dengan
waktu tempuh sekitar 4 jam. Kendati ditangani dokter dengan baik, cucu Thomas
tidak selamat. Lagi-lagi karena lambatnya penanganan. "Air ketuban sudah
keluar sejak kami masih di Lirang dan waktu itu sudah malam. Ini risiko tinggal
di daerah yang jauh dari rumah sakit," ujarnya. Ada juga kisah Rulan Malau
(39) yang membawa dua anaknya, Rahel Kristian (8) dan Lasarus Agustinus (6), ke
Dili pada Desember 2015 menggunakan perahu motor. Keduanya menderita penyakit
paru-paru dan dirawat di Dili hingga benar-benar sembuh. Seperti warga Lirang
lain, selama hampir tiga minggu di sana, dua anak Rulan mendapat pelayanan
gratis.
Mari kita renungkan kembali dan sejenak, dengan melihat
kondisi riil dilapangan. Dimana masih ada gubuk dan tangisan pilu menyayat
hati. Saat Indonesia belum mampu memberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan
pada rakyat diujung tapal batas. Pertanyaan yang sangat mendasar dalam terbesit
dalam pemikiran penulis. Dimanakah wujud pemekaran daerah yang lebih difokuskan
di daerah perbatasan merupakan seberapa urgensinya memprioritaskan pemekaran
daerah di wilayah perbatasan dan pulau terluar Indonesia.
Pertama; memperkecil ketergantungan dengan wilayah di
perbatasan dengan negara tetangga. Kedua; mempercepat pembangunan di wilayah
tersebut dengan tidak lagi tergantung dengan wilayah induk yang memiliki banyak
kendala salah satunya rentang kendali yaitu jarak dan waktu tempuh ke Propinsi
Induk. Ketiga; memperkuat jiwa nasionalisme di daerah yang berbatasan dengan
negara tetangga khususnya dengan wilayah di Australia dan Timor Leste. Semangat
NKRI harus terus diperkuat diwilayah perbatasan yang sangat rentan terhadap
terkikisnya rasa nasionalisme bagi masyarakat di wilayah perbatasan.
Dimana selama ini, pemerintah masih kurang fokus dan kurang
serius untuk memerhatikan wilayah-wilayah perbatasan, seperti Maluku Barat
Daya. Momen adanya pemekaran daerah khususnya di Maluku Barat Daya menjadi
sebuah propinsi perbatasan haruslah menjadi prioritas utama yang harus
didahulukan, sebab wilayah tersebut merupakan wilayah yang terdepan untuk
dipengaruhi dan diperebutkan.
Oleh karenanya, pemekaran Propinsi Perbatasan Kepulauan
Maluku Barat Daya harus menjadi prioritas, agar kekhawatiran selama ini dapat
dihilangkan akan pengaruh-pengaruh dari luar. Sangat ironis memang, jiwa
daerah-daerah di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara-negara
tetangga kurang diperhatikan oleh pemerintah, dan masyarakat di perbatasan
lebih memilih untuk berobat, bertransaksi, berdagang dan menerima tawaran
fasilitas yang lebih baik dengan wilayah di negara tetangga tersebut.
Sudah lama kita menyaksikan dan merasakan bahwa, masyarakat
di wilayah perbatasan lebih senang berhubungan dengan wilayah seberang,
daripada berhubungan dengan daerah induknya. Kemudahan jarak dan kedekatan
wilayah merupakan salah satu faktor pendukung masyarakat melakukan hal yang
demikian. Tidak pula bisa kita salahkan kepada masyarakan akan hal yang
demikian. Kurangnya infrastruktur yang layak dan langkanya keperluan pokok
masyarakat di wilayah perbatasan menyebabkan masyarakat di wilayah tersebut
lebih senang dan mudah berhubungan dengan wilayah tetangga. Olehnya Propinsi
Perbatasan Kepulauan Maluku Barat Daya, harus menjadi perhatian Pemerintah
Indonesia, DPR dan DPD untuk selalu dan
fokus dalam memperjuang aspirasi Rakyat Maluku Barat Daya sebagai propinsi
perbatasan kepulauan Maluku Barat Daya yang menjadi prioritas untuk
didahulukan.
3. DEKLARASI
MENUJU INDONESIA HEBAT
Kedatangan ribuan rakyat yang berbondong – bondong ke Kota
Ambon. Guna mendeklarasi sebuah Propinsi Perbatasan Kepulauan Maluku Barat
Daya. Semakin mencerminkan semangat baru rakyat Maluku Barat Daya dalam
mewujudkan mimpi bersama sebagai daerah otonom baru, berpisah dengan Propinsi
Maluku, merupakan suatu komitmen anak bangsa di bumi Kalwedo yang berbatasan
dengan Australia dan Timor Leste. Dalam mempertegas komitmen setiap orang
Maluku Barat Daya dalam memajukan dan mensejahterakan bumi Kalwedo. Untuk berdiri
sama tinggi, berdiri diatas kaki sendiri dengan sumber daya yang ada dalam
memajukan Bidang pendidikan, Kesehatan dan segala lini kehidupan berbangsa dan
bertanah air.
Kehadiran rakyat Maluku Barat Daya yang berbondong- bondong
menuju Ibukota Maluku dengan mendeklrasikan diri sebagai daerah otonom baru,
memberi seruan dan harapan anak- anak negeri diujung perbatasan Indonesia
kepada DPR RI, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Maluku tentang harapan
untuk memajukan Indonesia menjadi Indonesia hebat dengan segala sumber daya
alamnya dan sumber daya manusianya. Dengan menjadikan Indonesia Hebat, dimulai
dari daerah perbatasan. Indonesia hebat dalam menghadirkan anak- anak
perbatasan yang beriptek, Indonesia hebat dengan semangat wawasan dan visi
kebangsaan ditengah disintegrasi bangsa di ujung perbatasan, dan Indonesia
Hebat dalam mensejahterakan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dimana Pembangunan Maluku Barat Daya berpisah dari Maluku,
guna menjadi Propinsi perbatasan
kepulauan Maluku Barat Daya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan misi
pembangunan nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah,
pertahanan keamanan nasional, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat di
wilayah perbatasan. Paradigma baru, pengembangan wilayah-wilayah perbatasan
adalah dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung
berorientasi “inward looking”, menjadi “outward looking” sehingga wilayah
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan
dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan wilayah Perbatasan Negara saat
ini adalah dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach)
dengan tidak meninggalkan pendekatan keamanan (security approach). Tujuan dari
pengembangan wilayah-wilayah perbatasan adalah untuk:
a) Menjaga
keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh
Hukum Internasional;
b) Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan
budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk
berhubungan dengan negara tetangga.
4. MALUKU DAN
MBD DALAM SEMANGAT KALWEDO
Budaya Maluku adalah aspek kehidupan yang mencakup adat
istiadat, kepercayaan, seni dan kebiasaan lainnya yang dijalani dan
diberlakukan oleh masyarakat Maluku. Maluku adalah sekelompok pulau yang
merupakan bagian dari Nusantara. Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah
Kalwedo. Sebagai kepemilikan sah masyarakat adat di Maluku Barat Daya
(MBD). Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan
bersama orang bersaudara. Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan baik budaya
maupun bahasa masyarakat adat di kepulauan Babar dan MBD. Pewarisan budaya
Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon sehari-hari, adat
istiadat, dan pewacanaan.
Kalwedo merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai sosial
keseharian, dan juga nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan
abadi, kedamaian, dan kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara.
Budaya Kalwedo mempersatukan masyarakat di kepulauan Babar maupun di Maluku
Barat Daya dalam sebuah kekerabatan adat, dimana mempersatukan masyarakat
menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama. Nilai Kalwedo
diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas pulau dan negeri,
yaitu: inanara ama yali (saudara perempuan dan laki-laki). Inanara ama yali
menggambarkan keutamaan hidup dan pusaka kemanusiaan hidup masyarakat Maluku
Barat Daya, yang meliputi totalitas hati, jiwa, pikiran dan perilaku.Nilai-nilai
Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup
Niolilieta/hiolilieta/siolilieta (hidup berdampingan dengan baik). Tradisi
hidup masyarakat Maluku Barat Daya dibentuk untuk saling berbagi dan saling
membantu dalam hal potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang diwariskan
oleh alam kepulauan Maluku Barat Daya.
Membentuk ruang logis dan ruang social, untuk membangun
komunitas, kerjasama guna menyingkap misteri- misteri baru dalam hidup.
Berpihak pada perdamaian, kemajuan, kebahagian hidup dengan inovasi yang
tinggi. Untuk sama – sama bergandengan tangan berjuang untuk menyongsong Maluku
Baru, dengan hadirnya Propinsi Perbatasan Kepulauan Maluku Barat Daya. Dengan
dukungan segalai pihak yang mau turut berpartisipasi dalam sebuah Fraternitas.
Sebab perjuangan Pembentukan Propinsi Perbatasan Kepulauan Maluku Barat Daya
bukanlah perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan belaka, tetapi sebuah
perjuangan bagaimana mengayomi dan mensejahterakan mereka yang diperjuangkan di
tapal batas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Propinsi Perbatasan Kepulauan
Maluku Barat Daya tanpa Maluku, bukanlah Indonesia namanya. Berpisah untuk
bersama- sama menjadikan Indonesia hebat dimulai dari Bumi Seribu Pulau. (*)
0 komentar:
Post a Comment