Program Corporate Social
Responcibility (CSR) dari perusahan pertambangan biji besi ,PT. Adidaya
Tangguh yang beroperasi di Desa Tolong, Kecamatan Lede, Kabupaten Pulau Taliabu
dikabarkan kembali membuat ulah terkait pembangunan bak penampung air bersih asal asalan yang runtuh, sehingga menimpa dua
orang anak di Dusun Fango , pada tanggal, 25 Maret 2016 lalu.
Informasi yang dihimpun KompasTimur.com menyebutkan, pembangunan bak air bersih di
Dusun Fango, Desa Tolong merupakan
program CSR dari PT. Adidaya Tangguh yang dipercayakan
kepada oleh La Panampo , warga Desa Lede
untuk dikerjakan pada awal bulan Maret 2016 lalu tidak sesuai dengan bestek.
Pasalnya, bangunan beton tersebut tidak menggunakan
tiang penahan besi guna menahan batako yang disusun sehingga pada tanggal 25 Maret 2016, bak penampung
air setinggi 3 meter itu dilakukan uji coba tanpa memberikan pemberitahuan
kepada masyarakat.
Alhasilnya, bak tersebut lansung
terbongkar sambil mengeluarkan bunyi ledakan yang cukup keras. Bahkan, kepingan bangunan itu menimpa dua orang anak yakni Rifan Tama (10)
dan Ajidan Tama (2) yang lansung meninggal
dunia ditempat.
Direktur CSR PT.Adidaya Tangguh,
Sutrisno yang dikonfimasi terkait kejadian tersebut mengaku telah memberikan
santunan kepada orang tua kedua korban melalui pekerja Bak Air Besrsih, La
Panampo tersebut sehingga dianggap persoalan itu telah
diselesaikan.
“Sudah selesai dengan kontraktor, karena
itukan pekerjaan kontraktor dan bukti penyelesaiannya ada di kita,” ujarnya
belum lama ini.
Ketika disinggung belum ada
penyelesaian, Sutrisno mengkalaim, santunan telah diberikan serta
proses penyelesaian berupa nota kesepakatan sudah ditandatangani bersama antara
pekerja dengan orang tua kedua korban.
“Mungkin korban menolak dengan kesepakatan
yang sudah ditandatangan atau gimana , saya tidak monitor,” tangkisnya.
Sementara itu, orang tua kedua
korban, Bido Tama mengaku kesal dengan langkah dari pihak PT. Adidaya Tangguh yang bersedia memberikan
santunan berupa uang kepada dua korban sebesar Rp. 5 juta
rupiah dengan perincian seorang korban dikenakan Rp. 2,5 juta Namun, dirinya
menolak untuk menerima santunan tersebut.
Pasalnya, nyawa kedua anaknya disamakan dengan harga
ayam di pasar. Bahkan, sampai saat ini tidak pernah ada langkah-langkah dari pihak kepolisian untuk memproses
kejadian tersebut.
“Kurang ajar, masa nyawa kedua anak saya
disamakan dengan harga ayam,” kesalnya.
Menyangkut nota kesepakatan, lanjut
Bido Tama, selaku pihak korban, dirinya tidak pernah menandatangi
nota atau surat yang pernah diajukan oleh pihak PT. Adidaya Tangguh melalui pekerja Bak Air
Bersih tersebut. Sehingga, jika terdapat tandangan maupun cap jempol
seperti yang tertera pada nota kesepatakan itu, maka
merupakan suatu langkah pembohongan yang dilakukan oleh pihak perusahan serta
pekerja.
“Saya tidak pernah tanda tangan maupun cap
jempol, serta saya menolak tawaran itu semua, karena
saya ingin masalah ini diambil secara hukum di indonesia,” tukasnya.
Bido berharap, pihak penegak
hukum yang telah melakukan pemeriksaan pada saat kejadian itu dapat menindaklanjutinya agar pelaku segera di proses hukum serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
dapat mengambil langkah untuk memproses kasus tersebut sampai tuntas.
“Saya berharap pihak kepolisian dan
perlindungan anak dapat menindaklanjuti kasus ini sampai tuntas,” harapnya. (KT-ET)
0 komentar:
Post a Comment